Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Jalan Terjal Regenerasi NU
Pentingnya regenerasi dalam suatu organisasi untuk melihat hasil pengkaderan anggota secara berkualitas.
Editor: Husein Sanusi
Jalan Terjal Regenerasi NU
Oleh Dr. H. Ahmad Fahrur Rozi*
TRIBUNNEWS.COM - Mendekati pelaksanaan muktamar NU ke-34 di Lampung, mulai bermunculan nama kandidat meramaikan bursa caketum PBNU. Dua nama baru mencuat senagai arus baru regenerasi yakni Gus Yahya Staquf dan KH Marzuki Mustamar mendampingi KH Said Aqil kandidat petahana yang sudah bertengger 11 tahun dalam dua periode dan perpanjangan setahun lebih di kursi kepemimpinan PBNU.
Adalah wajar jika setelah dua periode kepemimpinan muncul desakan regenerasi. Proses pergantian dan penyegaran kepengurusan suatu organisasi atau pergantian pemimpin adalah sesuatu yang mutlak dan wajib untuk dilakukan. Hal ini sangat berkaitan erat dengan sistem kaderisasi. Dari sebuah proses regenerasi dan pembentukan generasi baru inilah akan terlihat seperti apa penerus sebuah organisasi di masa depan. Pada generasi baru masa depan sebuah organisasi diletakkan. Proses muktamar diharapkan akan menghasilkan kepemimpinan baru yang ideal dan lebih segar yaitu generasi penerus perjuangan yang sesuai dengan garis yang dicita-citakan para pendahulunya sesuai dengan tuntutan zaman.
Organisasi hidup karena kepedulian mereka terhadap regenerasi. Pentingnya regenerasi dalam suatu organisasi untuk melihat hasil pengkaderan anggota secara berkualitas. Organisasi tidak akan berjalan maju tanpa adanya regenerasi. Pada saat ini banyak sekali generasi muda kader NU yang bagus dan berkualitas namun masih belum terjun atau muncul ke permukaan. Faktor salah satunya adalah belum adanya ruang dan kesempatan yang dibuka dari generasi sekarang meski telah menjabat dua periode masih banyak yang ingin tetap bertahan ibarat keenakan duduk dan lupa berdiri.
Para Kyai muda atau Gus sudah saatnya diberi panggung agar tampil kedepan, mereka adalah faktor penggerak roda kehidupan NU dan pesantren di masa depan. Mereka adalah anak-anak muda yang tumbuh dari keluarga pejuang agama di rahim pesantren yang sederhana, berpendidikan tinggi dan penuh talenta, yang telah mengitari punggung bumi untuk mencari ilmu, menuntutnya dan mengamalkannya.
Para kyai muda dan Gus adalah modal utama kemajuan NU . Mereka yang akan merangkai sejuta perspektif mengenai rancang bangun pesantren dan kaum nahdliyyin masa depan. Di tempurung kepala mereka tersimpan sketsa dan gambar kehidupan ummat akhir zaman yang penuh dinamika dan gejolak.
Sebagai sunnatullah secara pasti roda kehidupan akan selalu berputar, akan tiba saat musim gugur berganti musim semi, nama-nama besar masa kini akan menjadi masa lalu dengan nilai kebaikan dan warisannya digantikan nama-nama baru dengan tantangan zamannya untuk membangun masa depan gemilang dengan landasan nilai masa lalu yang cemerlang.
Sejumlah figur tokoh NU yang menjulang hari ini mewakili generasinya pada saatnya kelak harus rela bersiap meninggalkan gelanggang menyaksikan para Gus the golden generation memimpin regenerasi Nahdlatul Ulama. Kelak akan bertaburan para Gus bintang baru yang melesat di orbitnya. Gagasan mengenai kemajuan organisasi dan keummatan akan datang dari nama-nama besar selanjutnya seperti Gus Yahya, Gus Baha, Gus Ipul, Gus Atho Anwar, Gus Kautsar, Gus Ghofur Maimoen, Gus Awis Njoso, Gus Salam, Gus Reza, Gus Ayus Kedoya, Gus Imam Jazuli Cirebon dan masih banyak nama lainnya.
Generasi kyai muda pesantren yang santun, pintar dan progresif dengan gagasan-gagasan besar mesti diberi kesempatan untuk tampil kedepan dan dijaga dengan pagar ilmu, moral dan keimanan yang kuat, dengan tetap berakar pada kedalaman jati diri tradisi pesantren dan budaya luhur aswaja. Para sesepuh saat ini harus legowo menyiapkan landasan, memberi arah, dan mengembalikan ke rel jika roda akidah dan keilmuan mereka berubah ke arah liberal dan radikal.
Nama Gus Yahya Cholil Staquf diharapkan tampil memimpin gerbong panjang regenerasi para Gus Nahdlatul Ulama (NU) yang penuh sesak. Dari sisi kepemimpinan ia telah matang dalam organisasi. Mulai dari IPNU hingga Pengurus Besar Nahdlatul Ulama. Dikader langsung oleh Gus Dur dan telah mewarnai diskursus nasional. Punya pengalaman internasional bolak-balik ke luar negeri, mengenalkan nilai-nilai wasathiyah Islam dengan pendekatan Aswaja Annahdliyah.
Selain mantan juru bicara Presiden keempat RI KH Abdurrahman Wahid, Gus Yahya Cholil Staquf juga mantan anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) Joko Widodo, juga salah seorang komisioner pertama sejak Komisi Pemilihan Umum (KPU) berdiri. Terlahir pada tanggal 16 Februari 1966 di Rembang Jawa Tengah, ia adalah cucu seorang tokoh besar NU, KH Bisri Mustofa penyusun Kitab Tafsir Al Ibris yang masyhur dan saat ini Gus Yahya menjabat Katib Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama. Gus Yahya Cholil Staquf juga merupakan keponakan dari Pengasuh Pondok Raudlatut Thalibin, KH Mustofa Bisri atau Gus Mus, sang kyai penyair mantan Rois Am PBNU.
Pendidikan dasar Gus Yahya didapatkan di madrasah Almunawwir. Ia murid KH Ali Maksum di Pondok Pesantren Krapyak, Yogyakarta. Kemudian melanjutkan srata S1 ke Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Universitas Gadjah Mada dan dilanjutkan mukim ngaji di Makkah selama setahun. Semua itu membentuk sosok Gus Yahya menjadi matang, alim , well educated, berfikiran modern terbuka, egaliter dan siap membuka ruang dialog dengan siapapun untuk menjaga keharmonisan dalam kehidupan berbangsa .
Tidak diragukan bahwa Gus Yahya akan membawa misi Islam Aswaja NU yang ramah sebagai rahmatan lil alamin. Memuliakan manusia sebagai sederajat, memiliki hak-hak yang sama dan harus dihargai dan dihormati, baik yang menganut Islam dan atau yang tidak.
Katib Aam PBNU itu juga telah menawarkan strategi perdamaian global model NU di International Religious Freedom (IRF) Summit di Washington DC, Amerika Serikat, Kamis (15/7/2021) dalam pidato berjudul "The Rising Tide of Religious Nationalism” (Pasang Naik Nasionalisme Religius). Gus Yahya menegaskan pemikiran damai dengan semua golongan, bahwa dunia harus membangun konsensus atas nilai-nilai yang perlu disepakati agar semua pihak yang berbeda-beda dapat hidup berdampingan secara damai. Bahkan bila diperlukan, nilai-nilai tradisional yang menghambat koeksistensi damai pun layak untuk disesuaikan.
Gus Yahya mewarisi ide Gus Dur mencintai kemanusiaan. Kacamata Gus Dur adalah kemanusiaan. Bukan lagi golongan, kelompok atau agama. Kacamata kemanusiaan yang dipakai Gus Dur itu menurut Gus Mus yang membuat dia tak anti terhadap perbedaan melainkan mengedepankan sikap toleran, lantaran kacamata kemanusiaan memungkinkan Gus Dur melihat manusia lain sebagai manusia seutuhnya yang masing-masing tercipta berbeda.
"Kalau orang yang masih menggunakan kacamata golongan, apalagi politik, yang dilihat ini PKB, itu PDIP, jadinya tidak kelihatan kalau sama-sama NU-nya," kata Gus Mus dalam haul Gus Dur tahun lalu di Jombang.
Penulis berharap, Gus Yahya menjadi sosok perekat dan pemersatu umat, agar PBNU menjadi rumah besar yang nyaman bagi semua warganya tanpa membedakan suku, latar belakang dan pilihan parpolnya, salah satu ide Gus Yahya adalah "The Governing NU" alias menjadikan pola kerja PBNU seperti sebuah pemerintahan. Seorang Ketua Umum, mesti berfungsi seperti seorang presiden melayani seluruh lapisan rakyatnya . Dia memimpin rapat, seperti seorang presiden memimpin sidang kabinet bersama para menterinya dan membagi rata program kebawah bukan hanya sibuk di jakarta.
Mantan Jubir Gus Dur itu tentu akan lebih terbuka untuk bertemu , merangkul dan berdialog dengan siapa saja, termasuk dengan pihak yang selama ini terkesan berseberangan dengan PBNU semisal NU GL, NU Khittah, FPI dan lainnya , dia telah terbiasa diskusi dengan perbedaan dalam berbagai sudut pandang pemahaman agama, asalkan tidak mengganggu NKRI, Pancasila, UUD 45 dan Bhineka Tunggal Ika untuk menjaga keharmonisan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara , termasuk dengan mantan Imam Besar Front Pembela Islam (FPI), Habib Rizieq Shihab. " Ketemu Yahudi Saja Bisa, Masa Habib Rizieq Tidak ?" sebagaimana dikutip VIVA news 11/11/ 2021 .
* Penulis adalah Pengasuh Pondok pesantren Annur 1 Bululawang Malang, Wakil Ketua PWNU Jatim, Wakil sekjen DP MUI bidang Fatwa, Ketua Himasal Jatim 2015-2019, Wakil Ketua RMI PBNU 2004-2015.