Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
The Real "Pendekar Bahtsul Masail NU"
Sebagai penulis, tentu saja Gus Mukti kutu buku. Mustahil menjadi penulis dan peneliti jika tanpa ada minat baca yang kuat.
Editor: Husein Sanusi
The Real "Pendekar Bahtsul Masail NU"
Oleh. KH. Imam Jazuli, Lc. MA.
TRIBUNNEWS.COM - Saya punya banyak junior alias adik kelas di Lirboyo maupun Al-Azhar Mesir yang sudah tampak kiprah intelektualitas dan aktivismenya ke publik. Di antaranya Mukti Ali Qusyairi—biasa saya sebut Gus Mukti. Saya mengamati dari jarak jauh dan sesekali berdiskusi via telphon atau pun kopdar, Gus Mukti dalam konteks NU banyak berkiprah di bahtsul masail, dan bahkan dipercaya menjadi ketua Lembaga Bahtsul Masail Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (LBM PWNU) DKI Jakarta.
Dalam konteks nasional, Gus Mukti cukup dikenal sebagai peneliti dan penulis buku-buku keislaman dan kolumnis di beberapa media nasional yaitu; Republika, Tempo, dan yang lain. Di antara buku karyanya yaitu; “Islam Mazhab Cinta” (Mizan); “Jalinan Keislaman, Keumatan, dan Kebangsaan; Ulama Bertutur tentang Jokowi” (Republika), “Kisah-Kisah Ajaib Imam al-Ghazali” (Melvana), dan yang lain.
Sebagai penulis, tentu saja Gus Mukti kutu buku. Mustahil menjadi penulis dan peneliti jika tanpa ada minat baca yang kuat. Karena minat baca Gus Mukti sangat kuat, dan menurut sahabat seangkatannya ketika di Mesir pun konon dikenal seorang pelajar yang hobinya berburu buku-buku bekas dan murah di pasar-pasar buku loak bernama Azbaciya, sehingga Gus Mukti berproses menjadi penulis dan peneliti.
Yang menarik adalah bahwa Gus Mukti tergolong santri lulusan pesantren Lirboyo Kediri dan Azhariyyin yang open mind (berpikir terbuka), sehingga semua jenis buku dan kitab dilahapnya tanpa ada kendala mental pengkotak-kotakan bahan bacaan. Menguasai khazanah klasik Islam berbasis kitab kuning, menguasai wacana pemikiran Islam progresif berbasis kitab-kitab kontemporer dari kalangan ulama dan pemikir muslim seperti al-Syekh Ali Gom’ah, al-Syekh Ali Abdurraziq, al-Syekh Musthafa Abdurraziq, al-Syekh Wahbah al-Zukhaili, al-Syekh Ahmad Thayyib, al-Syekh Abd al-Mu’thy Bayumi, Hassan Hanafi, Abd al-Jabiri, Burhan Ghulyon, al-Shadeq al-Naihom, Tayyib Tizini, Husein Marwah, dan yang lain, serta menguasai manhaj (metodologi) dan teori-teori penelitian teks dan lapangan.
Ketika menghadiri Muktamar Ke-34 PBNU di Lampung, saya bertemu dan kopdar dengan Gus Mukti cukup lama. Saya menyimak pembicaraannya seputar gagasan dan pemikirannya tentang memajukan bahtsul masail yang sedang direalisasikan di LBM PWNU DKI Jakarta.
Pertama, maraji’ (referensi) yang absah digunakan dalam bahtsul masail menurut Gus Mukti tidak bisa dibatasi hanya kitab kuning yang dikarang ulama kuno abad pertengahan an sich, akan tetapi harus juga memasukkan kitab-kitab kontemporer karya ulama masa kini atau ulama yang hidup tidak jauh dengan masa sekarang. Sebab, boleh jadi ada banyak persoalan baru yang belum terbahas oleh ulama kuno di kitab kuning dan terbahas oleh ulama kontemporer. Sehingga relevan mengakomodir kitab kontemporer dalam al-kutub al-mu’tabarah (kitab-kitab yang kredibel) yang dapat dijadikan rujukan bahtsul masail.
Hal itu tercermin dalam buku hasil bahtsul masail LBM PWNU DKI Jakarta yang dipimpinnya yang berjudul “Moderasi Paham Keagamaan: Respons atas Masalah-Masalah Keumatan dan Kebangsaan”. Di buku ini terlihat betapa canggihnya arumentasi dan rumusan keagamaan yang berbasis rujukan kitab kuning dan kitab kontemporer dengan dijahit dan dinarasikan sedemikian akurat, selaras, seirama, kokoh, dan sulit untuk mencari celah kelemahan argumentasinya. Bahkan mengutip ayat-ayat Al-Quran dan hadits yang relevan dengan tema sembari mengulik syarah (penjelasan) dari para ulama.
Kedua, manhaj (metodologi) bahtsul masail. Menurut Gus Mukti, bahwa tahap pertama merujuk aqwal al-‘ulama (pendapat para ulama) selagi tersedia di kitab-kitab kuning atau kitab kontemporer, dan jika tidak ditemukan aqwal al-‘ulama maka penyelesaiannya adalah dengan pendekatan manhaji, metodologi. Pada level perumusan keagamaan berbasis metodologi ushul fikih, maqashid al-syariah, al-mashalih al-mursalah, dan al-qawa’id al-fiqhiyah. Dan pada level deskripsi dan memahami persoalan yang dibahas berbasis metodologi modern, seperti pendekatan sosiologis, feminisme, heurmeneutika, Gerakan sosial, dll.
Ketiga, Gus Mukti membagi divisi-divisi LBM PWNU DKI yaitu; (1). Waqi’iyah, divisi yang bertanggungjawab menginventarisir masalah-masalah yang riil keseharian dan kekinian lalu membahasnya dalam forum; (2). Maudhu’iyah, divisi yang bertanggungjawab membahas masalah-masalah yang butuh pembahasan yang lebih komprehensif dan konseptual dalam bentuk tematis; (3). Al-Manhajiyah, divisi yang bertanggungjawab membahas seputar metodologi dan teori; (4). Qanuniyah, divisi yang membahas terkat dengan undang-undang dan hukum negara; (5). Al-kharijiyah wa al-dauliyah, divisi yang bertanggungjawab membahas isu-isu luar negeri dan dunia internasional; (6). Naqdhu al-irhabiy wa al-‘unuf bi al-ismi al-din, divisi kontra narasi terorisme dan kekerasan atasnama agama.
Ada dua divisi yang menurut saya relatif baru dan di LBM PBNU sendiri belum atau tidak ada, yaitu divisi luar negeri dan internasional dan divisi kontra terorisme. Lebih menakjubkan lagi, divisi luar negeri dan internasional LBM PWNU DKI Jakarta sudah merealisasikan bahtsul masail perdamaian dunia untuk Palestina dan Israel serta isu hubungan Indonesia-Israel pada 29 Januari 2021 dengan melibatkan pembicara dari Palestina, Israel, USA, dan Indonesia. Sedangkan pesertanya dari beberapa negara, yaitu Palestina, Israel, USA, Australia, Singapura, dan Indonesia. Menurut saya, cara pandang Gus Mukti ini satu tarikan nafas dengan Gus Yahya Ketum PBNU yang baru.
Pada 8 Desember 2021 divisi kontra terorisme LBM PWNU DKI Jakarta membahas tentang kotak donasi yang diselewengkan untuk pendanaan terorisme yang terbongkar dan para pelakunya berhasil ditangkap Densus 88. Bahtsul masail ini saya lihat viral diberitakan di bahyak media, di antaranya Tempo, Republika, Channel9.id, Tagar.id, dan yang lainnya. Kecepatan merespons isu menjadikan pemberitaannya viral.
Keempat, memasukan unsur perempuan. Gus Mukti memasukan secara structural dan terdapat di dalam SK LBM PWNU DKI Jakarta kalangan ibu nyai-ibu nyai yang secara keilmuan mumpuni dan layak. Menurutnya bahwa seorang mufti tidak disyaratkan harus laki-laki, sehingga perempuan pun jika kapasitas keilmuannya mumpuni absah menjadi seorang mufti.
Menurut saya, melibatkan secara resmi ibu nyai-ibu nyai ke dalam kepengurusan LBM baru pertama kali dipelopor oleh LBM PWNU DKI Jakarta yang digagasan Gus Mukti. Hebatnya lagi Pengurus PWNU DKI dari Suriyah maupun Tanfidziyah mengakomodir gagasan ini. Lagi-lagi saya katakan, keterlibat perempuan ini hanya ada di LBM PWNU DKI, dan belum ada di LBM PBNU dan LBM yang lain. Jika ada keterlibatan perempuan di LBM PBNU hanya bersifat aksidental dan momen seperti Muktamar, dan tidak ada di dalam SK kepengurusan yang terlibat langsung dalam setiap bahtsul masail.
Gus Mukti memoles bahtsul masail pun secara dinamis dan menghindari monoton dengan menyelipkan deklarasi singkat dan padat bersama pengurus LBM PWNU DKI Jakarta sebagai sikap dan keberpihakan yang jelas. Yaitu deklarasi “Resolusi Jihad Kemanusiaan Melawan Corona” dan “Resolusi Jihad Kemanusiaan Melawan Terorisme”.
Itulah penjelasan Gus Mukti yang dapat saya serap ketika kopdar di lokasi Muktamar ke-34 di Lampung. Akhirnya saya berfikir bahwa kiyai-kiyai yang ahli bahtsul masail banyak di NU. Akan tetapi keistimewaan Gus Mukti di banding yang lain adalah keberhasilannya dalam merealisasikan gagasan progresifnya ke dalam kerja-kerja bahtsul masail di LBM PWNU DKI Jakarta secara struktural, sistematis, dan bernas.
Menurut saya, selain Gus Mukti, Yunior saya dari al-azhar yang handal dan sangat di butuhkan PBNU adalah Gus Irwan Masduki dan Gus Anis Masduki, sudah saatnya ketiganya masuk ke pengurusan LBM PBNU periode 2021-2026. Jika ketiga kader terbaik NU ini terakomodir di PBNU, maka tajdid al-afkar al-diniy (pembaharuan pemikiran keagamaan) di kalangan Nahdliyyin bisa terwujud. Sebab ketiganya menguasai kitab kuning, kitab kontemporer, pemikiran progresif, dan menguasai metodologi. Sudah saatnya LBM NU di isi pengurus yang berkualitas super sesuai tuntutan zaman, bukan sekedar berdarah biru. Dan yang terpenting "Tajdidul afkar al diniy" bukan lagi isapan Jempol, tapi sebuah gerakan menuju kebangkitan NU menyongsong abad ke-2.
*Penulis adalah Alumni Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri; Alumni Universitas Al-Azhar, Mesir, Dept. Theology and Philosophy; Alumni Universiti Kebangsaan Malaysia, Dept. Politic and Strategy; Alumni Universiti Malaya, Dept. International Strategic and Defence Studies; Pengasuh Pondok Pesantren Bina Insan Mulia, Cirebon; Wakil Ketua Pimpinan Pusat Rabithah Ma’ahid Islamiyah (Asosiasi Pondok Pesantren se-Indonesia); Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Periode 2010-2015.*