Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Institusi Mana yang Punya Kewenangan Melakukan Restorative Justice, Polri atau Kejaksaan?
Pada sepekan terakhir dunia penegakan hukum Indonesia dihentak oleh pernyataan seorang Jaksa Agung ST Burhanuddin.
Editor: Theresia Felisiani
Oleh:
Abdul Rachman Thaha
Anggota DPD RI
TRIBUNNERS - Pada sepekan terakhir dunia penegakan hukum Indonesia dihentak oleh pernyataan seorang Jaksa Agung ST Burhanuddin, Dari mulai pelaksanaan pemberian keadilan restorative justice (RJ) di Kejari Cimahi, sampai dengan wacana perluasan penerapan RJ dan penyelesaian tipikor dengan kerugian keuangan negara paling banyak senilai 50 juta rupiah yang diwacanakan Jaksa Agung dalam kesempatan rapat kerja bersama Komisi III DPR RI pada tanggal 17 Januari 2022.
Menurut saya menarik wacana tersebut. Fenomena tersebut merupakan pergeseran permikiran hukum dari seorang praktisi hukum sekelas Jaksa Agung. Pantas mendapat apresiasi, menurut saya selaku Senator, karena itu menjelaskan pergeseran pemikiran praktisi hukum yang ingin lepas dari belenggu pemikiran legisme (positivisme) yang memandang hukum hanyalah sebagai aturan perundang-undangan.
Sementara nilai keadilan, kepastian dan kemanfaatan dari hukum hanya tercermin dari penegakan hukum tertulis sebagaimana bunyi Undang-undang. Pemikiran Jaksa Agung kini telah mengisyaratkan pergeseran dari legisme menuju pemikiran hukum realisme.
Pemikiran hukum realisme memandang bahwa hukum bekerja tidak sebagaimana bunyi peraturan perundang-undangan, hukum itu merupakan manifestasi simbolik para pelaku sosial. Pendekatan pemikiran ini adalah bersifat non doktrinal artinya berdasarkan penilaian atas prilaku masyarakat secara nyata.
Baca juga: Jaksa Agung Sebut Korupsi di Bawah Rp 50 Juta Diselesaikan Lewat Pengembalian, ICW: Tak Paham
Selain itu, pemikiran realisme lebih mengutamakan kemanfaatan dari hukum. Karena memang hukum itu diadakan adalah demi kemanfaatan bersama masyarakat. Keadilan restoratif (RJ) walaupun secara teoritis telah lama menjadi perbincangan para akademisi, namun secara aplikatifnya pada saat ini lah Jaksa Agung ST Burhanuddin mulai menggaungkan hukum yang berhati nurani.
Penyelesaian perkara pidana melalui instrumen Restorative Justice ini adalah berbeda konsepnya dengan mekanisme penghentian penyidikan atau penuntutan seperti konsep yang diatur dalam KUHAP, Namun penerapan Restorative Justice adalah untuk perkara pidana yang secara hukum positif (legisme/positivisme) telah lengkap dilakukan persidangan pidana dimana akan diambil keputusan oleh hakim.
Artinya berkas perkara pidana itu lengkap, baik formil maupun materiil, namum oleh Jaksa selaku pemegang kekuasaan negara di bidang penuntutan berdasarkan asas dominis litis (pemilik perkara) dan asas Oportunitas yang dimiliki Jaksa, maka perkara tesebut dihentikan penuntutannya karena lebih pada untuk pencapaian keadilan substantif dan kemanfaatan serta keputusan RJ, itulah cermin dari suatu kepastian hukum.
Baca juga: Program Kampung Restorative Justice Dapat Menyelesaikan Permasalahan Hukum di Masyarakat
Menurut hemat saya , secara teoritis Restorative Justice merupakan pelaksanaan tugas fungsi Jaksa yang dibenarkan atas asas-asas hukum universal yang berlaku, sebagaiamana dalam pasal 14 H, pasal 139 dan pasal 140 ayat 2 KUHAP.
Sedangkan untuk penyidik ( Polisi ) bukanlah Restorative Justice sebagai instrumen penghentian perkara, harus menjalankan yang namanya Asas Legalitas, akan tetapi menggunakan instrumen penghentian, penghentian penyidikan seperti diatur KUHAP yaitu jika perkara bukanlah perkara pidana, perkara tidak cukup bukti dan perkara ditutup demi hukum jika perkara tersebut terdakwanya meninggal dunia, atau karena perkara daluarsa atau ne bis in idem.
Diskresi penyidik dapat dilakukan sebagai upaya progresif untuk menghentikan penanganan kasus-kasus di masyarakat yang belum masuk tahap pro justicia yaitu penyelidikan/penyidikan.
Wacana Jaksa Agung terkait penyelesaian perkara tipikor dengan kerugian keuangan negara 50 juta rupiah ke bawah, merupakan pergulatan pemikiran positivisme dan pemikiran realisme hukum, sebagai thesa dan anti thesa dalam dialektika Hegelian maupun Kantianisme, belum lagi kita berbicara operasional anggaran penanganan perkara, satu perkara anggarannya itu ada dan kecil melihat situasi kondisi geografis dalam penanganan perkara setiap daerah jangkauan sangat jauh karena pengadilan tipikor itu adanya di ibu kota daerah, misalkan di dapil saya Kabupaten buol itu ke kota palu memakan waktu lewat darat sampai 13 jam, belum lagi seperti pulau natuna itukan melalui pulau jika mau bersidang, lanjut jika anggaran penanganan besar lantas yang di proses temuan kecil itukan tidak sebanding dengan pengeluaran negara, jangan samakan penanganan perkara di KPK, KPK kalau menangkap langsung dibawah ke ibu kota jakarta.
Baca juga: Setara Institute: Restorative Justice Kejaksaan Perkuat Sistem Peradilan Pidana
Jadi menurut hemat saya biarkan wacana tersebut berkembang di tengah masyarakat sehingga menemukam sinthesanya atau pemecahannya.
Namun terlepas dari pro kontra atas wacana Jaksa Agung baik terkait perluasan Retorative Justice maupun penyelesaian perkara tipikor 50 juta rupiah ke bawah, perlu saya garis bawahi, bahwa itu pemikiran maju kedepan karena secara umum pemikiran positivisme hukum masih membelenggu para praktisi hukum, Ke depannya saya kira pemikiran hukum akan lebih jauh lagi di era pemikiran postmodernis yang lebih bersifat individual, dimana kebenaran umum sebagai bentuk kesepakatan mulai ditinggalkan atau kehilangan legitimasinya.