Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribunners
Tribunners

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.


Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Tribunners / Citizen Journalism

Dari Kaum Elite hingga Warga Biasa, NU Pasti Berpolitik

KH.mam Jazuli sebenarnya lebih tepat sebagai pemikir/intelektual, karena dirinya bukan pengurus NU.

Editor: Husein Sanusi
zoom-in Dari Kaum Elite hingga Warga Biasa, NU Pasti Berpolitik
Dokumen Pribadi
KH. Anis Maftuhin, Pengasuh Pesantren WALI, Salatiga. 

Dari Kaum Elite hingga Warga Biasa, NU Pasti Berpolitik

*Oleh: KH. Anis Maftukhin, MA

TRIBUNNEWS.COM - Belakangan ini, wacana tentang NU semakin mudah didapat melalui media massa. Beberapa headline pemberitaan menggambarkan gerak cepat PBNU di bawah kepengurusan baru mereka. Ketua Umum KH. Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya) mampu membawa tokoh-tokoh penting di pemerintahan untuk berkomitmen bersinergi dengan PBNU.

Sebelumnya, Menteri BUMN Erich Thohir mengadakan pertemuan 'kultural' dengan Gus Yahya. Berikutnya disusul oleh berita tentang kerjasama dan sinergi antara PBNU dengan Kementerian Kelautan dan Perikanan, serta dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Semua ini adalah langkah progresif paska pelantikan pengurus baru PBNU.

Namun, gaya kepemimpinan Gus Yahya (GY) yang sedemikian rupa itu menuai banyak kritik. Salah satunya dari kyai NU Umar Hasibuan (Gus Umar). Menurut beliau, GY tidak cukup konsisten dalam mempertahankan prinsipnya untuk menjauhi politik praktis/kekuasaan. Pandangan Gus Umar ini bisa disaksikan langsung dengan mata telanjang kedekatan GY dengan lingkaran kekuasaan.

Mungkin ada benarnya pandangan Gus Umar tersebut di atas. Seandainya kita menganggap kerjasama PBNU dan berbagai kementerian sebagai sesuatu yang lumrah, karena setiap ormas apapun harus bersinergi dengan pemerintah, tak terkecuali NU dan GY, namun pandangan personal GY menunjukkan hal berbeda.

Misalnya, kemarin hari, Menteri Koordinator Maritim dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan (LBP) berkomentar positif tentang NU, seperti mendorong reformasi kurikulum pesantren yang menekankan pada Teknologi Informasi dan Komunikasi.

Berita Rekomendasi

Bagai gayung bersambut, tidak lama kemudian, dalam konteks berbeda, GY memuji LBP dengan baik, sebagai tokoh yang jatuh cinta pada NU sejak pandangan pertama. LBP adalah sahabat NU.

Tentu saja, ungkapan sederhana itu cocok bagi seorang pemimpin besar. Tetapi, dalam kacamata interpretasi publik, komunikasi antar pemimpin sarat nuansa politik dan kepentingan. Di titik inilah, Gus Umar cukup berhasil memotret inkonsistensi GY dengan prinsipnya sendiri.

Jauh hari sebelum Gus Umar berpikir kritis, ada tokoh NU lain, KH. Imam Jazuli, pengasuh pondok pesantren Bina Insan Mulia Cirebon.

Sosok yang satu ini sudah melayangkan pandangannya yang kritis, termasuk mengkritik pemikiran mustahilnya menjauhkan NU dari kekuasaan praktis maupun partai politik. Walaupun KH. Imam Jazuli tidak terang-terangan mengkritik tajam kepemimpinan GY di PBNU sebagaimana Gus Umar.

Pemikiran KH. Imam Jazuli cukup utuh dibanding Gus Umar dalam mengkritik NU yang dinilainya "irrasional".

Baginya, NU menjauh dari politik praktis dan kekuasaan tidak menemukan akar pijakan historisnya. Interpretasi tokoh-tokoh NU tentang Khittah juga salah paham.

Menurut KH. Imam Jazuli, politik kebangsaan untuk tidak terjun ke persaingan merebut kekuasaan sebagai tafsiran atas makna Khittah itu salah paham, karena rumusan Khittah adalah rumusan yang kontekstual.

Halaman
12
Tribunners merupakan jurnalisme warga, dimana warga bisa mengirimkan hasil dari aktivitas jurnalistiknya ke Tribunnews, dengan mendaftar terlebih dahulu atau dikirim ke email redaksi@tribunnews.com
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas