Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Samudra Tak Akan Basah karena Tetes Hujan
Kasus kerangkeng manusia di belakang rumah Bupati Langkat, misalnya. Di satu sisi ada yang menganggap apa yang dilakukan oleh Bupati melanggar HAM.
Editor: Sri Juliati
Oleh Xavier Quentin Pranata, Penulis Buku
TRIBUNNEWS.COM - Ucapan JC yang dipakai sebagai wallpaper ponsel Chan-Young, pemain drakor thriller dan horor anyar All of Us are Dead ini memiliki mozaik arti tergantung dari sudut pandang sang pengulik. Misalnya, di bulan ini kita disuguhi fenomena alam berupa angin dan hujan.
Angin di satu sisi bukan saja mengusir udara gerah, tetapi juga pemindahan serbuk sari sehingga tanaman bisa berbuah. Hujan disertai angin bisa saja membuat udara menjadi sejuk tetapi bisa membuat banyak pohon yang ambruk. Demikian juga setiap kasus yang viral di tanah air.
Karangkeng Rehabilitasi Bupati, Polemik Edy Mulyadi sampai Desa Wadas yang Memanas
Kasus kerangkeng manusia di belakang rumah Bupati Langkat, misalnya. Di satu sisi ada yang menganggap apa yang dilakukan oleh Bupati melanggar HAM karena 'memenjarakan manusia merdeka'. Di sisi lain ada yang berkata tindakan itu justru membuat Kabupaten Langkat dan sekitarnya aman dari ulah pecandu narkoba yang sering melakukan tindakan kriminal agar tetap bisa mengonsumsi barang haram. Jadi, kerangkeng itu tempat rehabilitasi atau justru bui untuk kerja rodi?
Kasus Edy Mulyadi pun bisa jadi polemik kalau tidak disidik dan ditilik dengan saksama dari berbagai aspek. Ada sejumlah pihak yang membela Edy Mulyadi. Misalnya saja Tifatul Sembiring. Politis dari PKS ini menyatakan, 'tempat jin buang anak' itu berarti tempatnya jauh. "Nggak ada kalimat menghina, nggak ada, yang menghina yang mana?" ujar Tifatul, dikutip dari sebuah media online nasional.
Beberapa saat kemudian mantan menteri di era SBY ini meminta maaf. "Kalau pernyataan saya tersebut disalahpahami, saya mohon maaf yang setulus-tulusnya," kata Tifatul. Di sisi lain banyak pihak—khususnya warga Kalimatan—yang tersinggung dan melaporkan Edy. Karena derasnya hujan laporan ke polisi, agar suasana cepat kondusif, maka kasus ini ditarik ke Bareskrim dan Edy ditahan untuk menjalani sidang-sidang selanjutnya.
Insiden di Desa Wadas yang melibatkan puluhan warga dengan aparat keamanan terkait pengukuran tanah untuk proyek nasional pembangunan Bendungan Bener juga perlu segera dibahas agar 'tetes hujan' itu tidak berubah jadi hujan deras. Berita yang nggak bener harus segera ditangani dengan bener agar tidak blunder, sehingga proyek yang seharusnya bermanfaat ini tidak muter-muter.
Tetes Hujan: Filosofis, Puitis atau Politis?
Demikian juga dengan tetes air hujan di samudra. Kita bisa saja mengartikan kutipan JC itu sebagaimana kita menggambarkan sikap naif Nemo yang bertanya, "Samudra itu seperti apa?" atau keingintahuan Simba yang terlalu besar sehingga mengejar ekornya sendiri.
Bisa juga kita maknai seperti kita mengartikan "nguyahi segara" (Jawa = memberi garam kepada lautan). Artinya terang benderang yaitu tidak ada artinya. Untuk apa kita menggarami lautan yang memang sudah asin?
Bisa jadi kita memberi makna yang politis. Memang rezim ini tuli sehingga perlu orang-orang seperti Edy Mulyadi untuk membuatnya mendengar. Gercep dari penegak hukum di satu kasus dan lambat bak keong di kasus lain bisa dimaknai sebagai tebang pilih, padahal hujan membasahi siapa pun.
Jika kita memilih memberi makna filosofis bisa saja kita mengartikan 'Samudra tak akan basah karena tetes hujan' sebagai sikap seorang yang sudah dewasa sehingga tetesan, kucuran atau bahkan guyuran kritik sebesar apa pun tidak lagi menggoyahkan keyakinannya. Meskipun begitu, tentu saja kita bisa berpikir sebaliknya bahwa orang-orang semacam ini sudah kebal terhadap masukan.
Kacamata mana yang kita pakai? Mana yang benar? Apakah yang dikritik sudah jenuh terhadap kritik yang asal bidik atau masih perlu lagi memperluas samudra hati agar lebih sabar? Apakah kritik terhadap pemerintah disampaikan lewat jalan-jalan ke lokasi venue dan terjeblos di tanah berlumpur yang dibalas dengan cek sound band ternama di stadion megah untuk mendongkrak citra? Apakah teguran disampaikan dengan lembut tanpa disambut atau tendangan Ganjar Pranowo ke dinding gedung sekolah yang dianggap dibangun asal-asalan?
Kalau kita teruskan, bisa jadi kita hanya sibuk adu gagasan, gagasan dan gagasan tanpa diimbangi dengan kerja, kerja dan kerja. Terus saja kita mengadu kinerja Mandalika dengan Formula E tanpa memberi masukan yang solutif dan konstruktif.
Saatnya orang awam butuh keamanan dan kenyamanan bekerja tanpa diganggu terus dengan dengungan lebah yang tak dapat meneteskan madu. Waktunya kita bersinergi dengan lebah yang sibuk menghasilkan madu meskipun tanpa dengungan. Ingat Omicron masih terus menyengat. (*)
Xavier Quentin Pranata, Penulis Buku