Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribunners
Tribunners

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.


Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Tribunners / Citizen Journalism

Antara Ankara dan Penajam

Kata Jokowi, Ibu Kota Negara (IKN) baru, merupakan transformasi besar-besaran yang akan dilakukan. Pemerintah ingin membangun sebuah lokomotif baru

Editor: Daryono
zoom-in Antara Ankara dan Penajam
TRIBUN/BIRO PERS
Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan (kanan) memberikan pesan solidaritas pada rakyat Indonesia saat ngevlog bareng Presiden Joko Widodo di Ankara, Turki, Kamis (6/7/2017). Jokowi mengunjungi Turki untuk melakukan kerjasama antar kedua negara, sebelum melanjutkan berangkat ke Jerman guna menghadiri Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20. TRIBUNNEWS/BIRO PERS 

Mustafa Kemal melihat bahwa masyarakat Ottoman pasca PD I, mengalami kemunduran, baik secara politik, sosial, maupun kultural. Untuk dapat menegaskan diri di antara negara-negara lain, terutama Eropa, perlu ada perubahan radikal. Bangsa Turki harus setara dengan bangsa Eropa secara sosial, pendidikan, dan kultural serta menjadikan Turki sebagai bagian komunitas internasional bangsa-bangsa moderen.

Bagi mereka, kaum Kemalis, Turki harus bertransformasi menjadi negara bangsa modern yang menurut Mustafa Kemal “hidup sebagai bangsa yang maju dan beradab di tengah peradaban kontemporer.” Bangsa seperti itu harus sekular dan rasional, menekankan sains dan pendidikan modern untuk menciptakan ekonomi industri modern (Feroz Ahmad, 1993).

Maka, Turki pun dibangun menjadi negara sekular, demokratik, dan moderen. Sekularisme, misalnya, diartikan bukan sekadar sebagai kebebasan tak beragama melainkan kebebasan menjalankan agama tanpa politisasi.

Foto udara ini diambil pada 28 Juni 2020 di Istanbul menunjukkan museum Hagia Sophia di Istanbul. Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan menolak kecaman internasional atas keputusannya pengubahan status Hagia Sophia dari museum menjadi masjid.
Foto udara ini diambil pada 28 Juni 2020 di Istanbul menunjukkan museum Hagia Sophia di Istanbul. Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan menolak kecaman internasional atas keputusannya pengubahan status Hagia Sophia dari museum menjadi masjid. (Ozan KOSE / AFP)

Lewat revolusi mereka perlu awal baru, babak baru, tempat baru tanpa tradisi lama. Dan, tempat itu adalah Ankara. Maka dilancarkan revolusi dengan ideologi revolusinya adalah Kemalisme. Kemalisme adalah sebuah gerakan pencerahan. Lewat pencerahan ini, Mustafa Kemal mengajak generasi muda Turki memiliki gagasan bebas, kesadaran bebas, dan pengetahuan bebas (Sina Akşin, 1999).

Kata Feroz Ahmad, Mustafa Kemal tidak ingin memerintah masyarakat Turki melalui tradisi, dan keyakinan sosial dan simbol-simbol, seperti yang nantinya dilakukan Franco di Spanyol dan Mussolini di Italia. Dia lebih suka menciptakan ideologi dan simbol baru yang memungkinkan Turki maju pesat di abad kedua puluh. Karena tidak konservatif, ia tidak takut akan modernisme sekuler maupun demokrasi liberal, meskipun ia memandang demokrasi liberal sebagai rem bagi radikalismenya sendiri.

Singkat kata, keputusan memilih Ankara sebagai ibu kota Turki, menjadi pemutus segala ikatan dengan masa lalu (John Freely, 1996). Mustafa Kemal ingin membawa Turki memasuki masa baru, zaman baru. Kesultanan Ottoman adalah masa lalu. Republik Turki adalah zaman baru.

III

Berita Rekomendasi

Maka Turki pun memasuki Zaman Baru. Sebuah zaman yang sangat berbeda dengan zaman sebelumnya. Seperti diucapkan Publius Ovidius Naso (43 SM – 17 M) seorang penyair Roma, Tempora permutas nec tu mutaris in illis, waktu berubah dan kita pun berubah karenanya. Perubahan adalah sebuah keniscayaan, jika tidak berubah akan ketinggalan zaman; tidak sekadar ketingggalan kereta.

Dan, ketika itu, Mustafa Kemal berkeyakinan bahwa Turki harus berubah. Ia melihat bahwa kekalahan Ottoman dalam PD I adalah momentum untuk melakukan perubahan. Dengan risiko dan tantangan tidak ringan, langkah perubahan itu dilakukan oleh Mustafa Kemal. Ia memulai jalan perubahan dengan menjadikan Ankara sebagai ibu kota negara.

“Ibu Kota Negara (IKN) baru ini bukan sekadar kota yang berisi kantor pemerintahan, tetapi kita ingin membangun sebuah new smart metropolis yang mampu menjadi magnet, menjadi global talent magnet, dan menjadi pusat inovasi, kata Presiden Jokowi saat memberikan sambutan pada acara Dies Natalis ke-76 Universitas Katolik Parahyangan, Bandung, Senin (17/1/2022), tentang calon ibu kota negara.

Kata Jokowi, Ibu Kota Negara (IKN) baru, merupakan transformasi besar-besaran yang akan dilakukan. Pemerintah ingin membangun sebuah lokomotif baru untuk transformasi negara menuju Indonesia yang berbasis inovasi, teknologi, dan ekonomi hijau.

“Karena dari sisi ini, kita akan memulai secara fisik pembangunan IKN baru di Kalimantan Timur. Ini harus menjadi momentum untuk membangun sebuah kota yang sehat, efisien, produktif, dirancang sejak awal, dan warganya ke mana-mana dekat, warganya ke mana-mana bisa naik sepeda, bisa jalan kaki, karena zero emision, yang menyediakan pelayanan keamanan dan kesehatan serta pendidikan berkelas dunia. Bayangan kita seperti itu,” kata Presiden.

Baca juga: Turki Sebut 12 Migran Mati Membeku Setelah Ditolak Yunani

Tetapi, kata Yuval Noah Harari (2018), orang-orang biasanya takut pada perubahan, karena mereka takut tidak tahu. Namun, satu hal yang konstan dalam sejarah adalah bahwa segalanya berubah. (*)

Sumber: https://triaskun.id/

Sumber: TribunSolo.com
Tribunners merupakan jurnalisme warga, dimana warga bisa mengirimkan hasil dari aktivitas jurnalistiknya ke Tribunnews, dengan mendaftar terlebih dahulu atau dikirim ke email redaksi@tribunnews.com
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas