Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribunners
Tribunners

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.


Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Tribunners / Citizen Journalism

Tradisi Leadership Pesantren

Tradisi leadership pesantren berarti sunnah atau kultur kepemimpinan yang telah berjalan lama di pesantren.

Editor: Husein Sanusi
zoom-in Tradisi Leadership Pesantren
Pesantren Bina Insan Mulia.
KH. Imam Jazuli 

Baik dalam memilih guru-guru dan santri untuk memainkan peranan tertentu, dasar metafisika dan fisika selalu diterapkan. Terkadang hasilnya bikin banyak orang kaget, tapi setelah dipraktikkan, terbukti tugas-tugas berjalan dengan baik.

Kerap saya memilih orang yang secara fisika tidak masuk kualifikasi. Bagaimana mungkin anak yang baru lulus Aliyah atau SMK diberi tugas untuk memimpin para pembimbing atau guru-guru? Tapi setelah dijalankan, tugas-tugas berjalan dengan baik.

Tradisi demikian ini jika dikaji dengan menelaah konsep leadership profesional ternyata memiliki kelebihan yang bagus. Riset terhadap sejumlah organisasi yang bisa tumbuh besar (from good to great) mengungkap bahwa rahasia kesuksesannya adalah karena mampu membesarkan orang-orang dalam.

Pertanyaannya, bagaimana cara organisasi tersebut membesarkan orang-orangnya? Pasti dengan memfasilitasi prosesnya. Caranya dengan penugasan, pengarahan, dan evaluasi. Hampir semua pesantren yang besar di Indonesia ini pasti dipenuhi oleh orang-orang yang dididik oleh kiai pesantren tersebut.

Seni Leadership Pesantren

Lazimnya di Indonesia ini, peranan seorang kiai dalam pesantren adalah pengasuh. Pengasuh berarti menjadi orangtua, wali, dan pihak yang diberi amanah untuk membesarkan anak secara jasmani dan rohani.

Dasar dari pengasuhan adalah kasih sayang atau rahmat. Namun karena pesantren merupakan lembaga pendidikan, maka bentuk kasih sayang yang diberikan seorang kiai kepada santrinya tidak selalu berupa perlakuan yang enak seperti di rumah.

BERITA REKOMENDASI

Justru di sinilah yang membedakan. Kasih sayang seorang kiai tetap dalam koridor leadership dan pendidikan. Tujuannya adalah agar para santri nanti menjadi orang yang bermanfaat dan berakhlak baik ketika menjadi pemimpin di masyarakat.

Tanpa pedoman pada nilai-nilai tersebut, maka kasih sayang yang diberikan orang dewasa kepada anak-anak adalah kasih sayang yang menjerumuskan, bahkan merusak. Misalnya, memberikan kemanjaan yang berlebihan kepada anak-anak. Pasti membahayakan pada anak itu, membahayakan orangtuanya, dan juga kepada lingkungannya.

Ketika Rasulullah SAW menyuruh orangtua supaya memberikan pukulan yang mendidik saat meninggalkan shalat di usia 7 tahun, bukan berarti itu kekejaman. Justru itu bentuk kasih sayang.

Kenapa? Ketika seorang anak tidak pernah mendapatkan warning keras, maka hati dan pikirannya dalam memahami kewajiban shalat akan berbeda. Memang, implementasinya tidak selalu berbentuk pukulan. Sebab intinya bukan di pukulan melainkan pada peringatan yang membekas.

Sebagai pengasuh, saya menerapkan tiga seni memimpin yang diajarkan oleh tradisi leadership para kiai.

Pertama, pengasuh sebagai pendidik. Peranan pendidik adalah mengeluarkan kehebatan para santri. Mulai dari kehebatan moralnya, mentalnya, intelektualnya, bakatnya, keterampilannya, spiritualnya sampai ke kehebatan fisiknya.

Semua santri pasti punya berbagai macam kehebatan, tapi masih berupa potensi yang terpendam. Tugas pendidiklah untuk mengeluarkannya agar menjadi prestasi atau bisa menjadi orang yang bermanfaat.

Selain mengeluarkan kehebatan, peranan pendidik adalah menanamkan nilai-nilai atau ajaran agar terbentuk akhlak mulia. Menanamkan nilai-nilai ini bermacam-macam pendekatannya. Ada yang melalui pengajaran dengan kitab, pengajaran dengan contoh, dan ada yang melalui riyadhoh ruhaniyah dengan menggunakan amalan-amalan tertentu.

Kedua, pengasuh sebagai penguasa. Peranan seorang penguasa adalah memberikan batasan, aturan, paksaan/pembiasaan, larangan, atau perintah. Hampir di setiap pesantren punya aturan yang sifatnya sangat lokal, meski tetap ada yang sifatnya jeneral (berlaku di semua pesantren).

Di Bina Insan Mulia 1 dan 2 terdapat banyak larangan dan perintah yang sifatnya sangat lokal dan itu saya terapkan karena alasan-alasan yang sangat spesifik. Dan pasti untuk kemaslatahan santri, guru, dan pesantren.

Misalnya saja, guru dan pembimbing dilarang untuk memberikan ide-ide program. Tapi mereka saya gerakkan untuk memunculkan ide-ide kreatif dalam pelaksanaan program. Protes atau debat jelas tidak punya tempat. Bahkan ada tradisi penghormatan yang mungkin bagi orang luar itu berlebihan, tapi saya terapkan di Pesantren Bina Insan Mulia untuk menumbuhkan kepercayaan (trust) dan penerimaan yang optimal.

Ketiga, pengasuh sebagai pelayan (khodim). Tradisi melayani ini sudah dihidupkan para kiai sejak pesantren hadir di Nusantara 400 tahun lalu. Para kiai melayani kebutuhan santri terhadap ilmu, terhadap papan (pondok), terhadap pangan, bahkan terhadap sandang santri. Sampai sekarang masih ada pesantren yang memberikan pelayanan demikian meski jumlahnya terbatas.

Seiring dengan kebutuhan dan perubahan masyarakat, para santri kemudian membayar untuk kebutuhan operasional pendidikan di pesantren. Meski demikian, peranan kiai sebagai pelayan bagi kebutuhan santri, kepentingan pesantren, dan masyarakat, bahkan pemerintah tetap tak bisa dilepaskan.

Seluruh kegiatan santri dan guru yang sifatnya non-reguler di Pesantren Bina Insan Mulia menjadi layanan kiai. Seluruh kebutuhan harian guru dan pembimbing juga menjadi bagian dari layanan Kiai. Hubungan santri dan kiai tidak sebatas antara tenaga pendidik dan peserta didik, tapi hubungan kasih sayang seumur hidup.

Dalam teori leadership akademik sering dijelaskan bahwa ada 3 gaya kepemimpinan yang menjadi induk berbagai gaya kepemimpinan yang terus berkembang. Ada situational leadership, participative leadership, collaborative leadership, servant leadership, dan lain-lain. Induknya adalah kepemimpinan demokratis, otokratis (otoriter), dan bebas (laissez faire).

Secara konsep, ketiga gaya tersebut tidak bertentangan dengan tradisi pesantren. Yang tidak bisa diterima di pesantren adalah penghakimannya. Seolah-olah yang paling bagus adalah demokratis. Atau seolah-olah yang paling buruk adalah otoriter.

Saya pikir semua orang yang telah memainkan peranan pemimpin akan paham bahwa penghakiman itu salah. Demokratis tidak selalu baik. Bahkan bisa menghancurkan apabila diterapakan dengan cara keliru atau pada keadaan yang keliru.

Otoriter pun belum tentu jelek semua. Bahkan sangat bagus apabila diterapkan di keadaan tertentu, orang tertentu, atau kebutuhan tertentu. Merujuk pada konsep Ushul Figh Pesantren, penghakiman itu haruslah disesuaikan dengan konteks (al-hukmu yaduuru bainal illah wujudan wa adaman).

Dalam al-Qur’an, Allah mengajari kita berbagai gaya dan cara berkomunikasi. Ini perlu diambil pelajaran oleh manusia yang diberi amanah untuk memimpin. Terkadang Allah memberikan pilihan yang demokratis mau A atau B. Jika manusia bersyukur akan diberi nikmat, tapi jika kufur akan disiksa. Ini tawaran untuk menguji kecerdasan.

Terkadang Allah memberikan motivasi untuk bersabar atau berbuat baik. Jika manusia bersabar untuk mencari ridho Allah, maka balasannya akan diberi pahala yang tak sanggup dihitung manusia (bighoiri hisab).

Terkadang Allah memberikan pertimbangan untuk melatih kematangan. Khamar dan judi itu ada manfaatnya bagi manusia, tapi dosanya lebih besar dari pada manfaatnya.

Terkadang Allah sangat super otoriter. Misalnya perintah shalat atau zakat yang menggunakan kata kerja perintah yang bersifat mutlak.

Terkadang Allah memberikan larangan yang mengerikan hingga mendapat ancaman dengan neraka selama-lamanya (kholidina fiiha).

Meski menggunakan berbagai cara, tapi icon Allah adalah ar-Rahman dan ar-Rahim.

Without the BoX Thinking adalah rubrik khusus di tribunnews.com di kanal Tribunner. berisi artikel tentang respon pendidikan Islam, khususnya pesantren terhadap perubahan zaman dan paparan best practices sebagai bahan sharing dan learning di Pesantren Bina Insan Mulia. Seluruh artikel ditulis oleh KH. Imam Jazuli, Lc, MA dan akan segera diterbitkan dalam bentuk buku. Selamat membaca.

*Penulis adalah Pengasuh Pesantren Bina Insan Mulia 1 dan Bina Insan Mulia 2 Cirebon. Pernah dipercaya sebagai Wakil Ketua Pimpinan Pusat Rabithah Ma’ahid Islamiyah dan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Periode 2010-2015. Penulis merupakan alumnus Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri; alumnus Universitas Al-Azhar, Mesir, Dept. Theology and Philosophy; juga alumnus Universiti Kebangsaan Malaysia, Dept. Politic and Strategy; dan alumnus Universiti Malaya, Dept. International Strategic and Defence Studies.*_

Tribunners merupakan jurnalisme warga, dimana warga bisa mengirimkan hasil dari aktivitas jurnalistiknya ke Tribunnews, dengan mendaftar terlebih dahulu atau dikirim ke email redaksi@tribunnews.com
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas