Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribunners
Tribunners

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.


Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Tribunners / Citizen Journalism

Masih Relevankah Jargon Cak Nur: Islam Yes, Partai Islam No di Pemilu 2024?

pemikiran Cak Nur "Islam Yes, Partai Islam No" sudah tidak relevan lagi. Kini saatnya menghidupkan pemikiran Cak Nun.

Editor: Husein Sanusi
zoom-in Masih Relevankah Jargon Cak Nur: Islam Yes, Partai Islam No di Pemilu 2024?
Istimewa
KH. Imam Jazuli, Lc. MA, alumni Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri; Alumni Universitas Al-Azhar, Mesir, Dept. Theology and Philosophy; Alumni Universiti Kebangsaan Malaysia, Dept. Politic and Strategy; Alumni Universiti Malaya, Dept. International Strategic and Defence Studies; Pengasuh Pondok Pesantren Bina Insan Mulia, Cirebon; Wakil Ketua Pimpinan Pusat Rabithah Ma’ahid Islamiyah (Asosiasi Pondok Pesantren se-Indonesia); Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Periode 2010-2015. 

Masih Relevankah Jargon Cak Nur: Islam Yes, Partai Islam No di Pemilu 2024?

*Oleh: KH. Imam Jazuli, Lc. MA

TRIBUNNEWS.COM - Belakangan ada kecenderungan untuk menjauhkan umat muslim dari partai politik, dan parahnya dimotori oleh salah satu ormas terbesar di Indonesia, seperti PBNU. Masalah sebenarnya bukan soal kebijakan dan visi politik pimpinan NU periode sekarang, melainkan problem epistemologis yang belum tuntas dibicarakan, yaitu hubungan Islam dan negara.

Pada tahun 1970, Frances Anne Leary mengkaji tahun-tahun kelam sejarah masyarakat Afrika, salah satu kasusnya negara Senegal yang dari 1850-1914 berada dalam cengkeraman kolonialisme. F.A. Leary mengangkat topik Islam sebagai kekuatan politik perlawanan terhadap kolonialisme. Sebelumnya, tahun 1955, Zafar-ul-Islam mengangkat pertumbuhan politik umat muslim di India yang sedang bergulat dengan identitas agama dan kebangsaan mereka.

Paro kedua abad 20 ini memang menjadi saksi mata sejarah kebangkitan politik umat Islam di dunia, sebagaimana dicatat oleh Friedrich Wilhelm Fernau (1955) dalam bukunya 'Moslems on March'. Dalam konteks sejarah Indonesia, tahun 1955 ini adalah ajang penyelenggaraan Pemilu pertama, dimana NU ikut berpartisipasi setelah sebelumnya pada 1952 memisahkan diri dari Masyumi.

Untuk mengikuti Pemilu ini, masyarakat harus membentuk partai politik (Parpol). Dalam Undang-undang Nomor 31 tahun 2002 tentang Partai Politik dikatakan bahwa parpol adalah organisasi politik yang dibentuk untuk memperjuangkan kepentingan anggota, masyarakat, bangsa, dan negara melalui pemilihan umum. Parpol sejatinya wujud partisipasi masyarakat yang penting dalam mewujudkan kehidupan demokrasi.

Hari ini tampak hakikat partai politik disalahpahami dengan mencampuradukkan antara substansi dan aksidennya; antara yang idealnya (das solen) dan yang terjadi (das sein). Fakta yang terjadi partai politik menjadi kendaraan yang banyak merugikan kepentingan masyarakat, bangsa, dan negara. Bahkan, sebagian partai politik tampak "memeras" anggotanya, terutama bagi mereka yang ingin maju berpartisipasi dalam pemilu.

Berita Rekomendasi

Fakta yang ada (das sein) ini memunculkan persepsi negatif di pikiran masyarakat dan citra buruk di ruang publik terkait partai politik. Di sinilah, Muhidin M. Dahlan (2019) menyajikan perdebatan epistemologis dua kubu yang berbeda, antara Nurcholish Madjid atau Cal Nur yang menulis sebuah jargon berbunyi "Islam Yes, Partai Islam No" dalam esainya yang berjudul "Keharusan Pembaharuan Pemikiran Islam dan Integrasi". Kubu lain dimotori oleh Emha Ainun Nadjib atau Cak Nun (1966) merespon essai Nurcholish dengan essai berjudul "Islam Yes, Partai Islam Yes", terbit dalam majalah Umat.

Sampai hari ini, perdebatan tersebut di atas belum juga tuntas. Dalam kasus PBNU, ketika masih berada di bawah kepemimpinan KH. Sa'id Aqil Siradj, dukungan ormas ini terhadap salah satu partai NU (PKB) dan pasangan calon di Pemilu 2019 sangat besar kontribusinya. Sejak Muktamar kemarin, ketika kepemimpinan PBNU jatuh ke tangan KH. Yahya Cholil Staquf, larangan para pengurus NU ikut "cawe-cawe" dalam urusan partai politik/politik kekuasan muncul. Ada dua visi berbeda antara Kiai Said dan Gus Yahya, sebagaimana beda visi antara Cak Nur dan Cak Nun.

Hampir 50 tahun lebih sejak perdebatan apakah parpol Islam bisa diterima atau tidak, hingga hari ini, pikiran umat muslim Indonesia tidak beranjak. Tampak sulit mencari sintesa dari dua aliran tersebut. Anehnya, kubu yang menolak politik kekuasaan terlihat inkonsisten. Misalnya, Ketum Partai Kebangkitan Bangsa mengusulkan agar Pemilu 2024 diundur. Kemudian Ketum PBNU mengomentari hal tersebut sebagai pilihan yang logis dan masuk akal. Kritik pun bermunculan yang menyayangkan komentar Ketum PBNU tersebut, karena dianggap tidak konsisten dengan visi misi paska pelantikan dirinya yang selalu mempropagandakan politik kebangsaan.

Untuk itulah, penting kiranya kita keluar dari persepsi negatif tentang hakikat substansial partai politik. Menurut undang-undang yang berlaku, parpol adalah alat perjuangan membela bangsa dan negara. Karena parpol hanya alat, ketika ada kecelakaan oleh alat tersebut, maka penggunanya (users) yang harus dibenahi. Ketika ada perilaku parpol yang terus-menerus merugikan rakyat, maka elite parpol yang harus dikritik, bukan lantas menjauhkan diri (dan Islam) dari parpol tersebut. Sebaliknya, umat muslim (dan Islam) didorong merebut kekuasaan di parpol Islam dan membenahi perilaku yang tidak ideal.

Hemat penulis, pemikiran Cak Nur "Islam Yes, Partai Islam No" sudah tidak relevan lagi. Kini saatnya menghidupkan pemikiran Cak Nun "Islam Yes, Partai Islam Yes". Dalam konteks kehidupan politik NU, warga Nahdliyyin maupun pengurus NU sudah saatnya didorong agar memiliki sumbangsih besar terhadap partai Islam, yang puncaknya dapat mewarnai jabatan-jabatan strategis, baik di eksekutif maupun legislatif. Dan bisa melahirkan kebijakan-kebijakan yang positif untuk bangsa ini yang mayoritasnya muslim, Sebaliknya, menjauhkan umat dari partai politik (Islam) sama saja menjauhkan dari jalan pengabdian pada bangsa dan negara yang demokratis.

Selain itu, konteks jargon "Islam Yes, Partai Islam No" saat itu memang memungkinkan untuk dilakukan. Ada banyak jalur pengabdian pada bangsa dan negara tanpa harus partai politik. Tetapi, hari ini, realitas sudah berubah. Tidak ada banyak jalan menuju pengabdian pada bangsa dan negara tanpa kekuasaan. Buktinya, banyak ormas-ormas Islam yang mengabdi kepada umat dan anggotanya secara bekerja sama dengan pemerintah. Bahkan, PBNU di tangan Gus Yahya berkali-kali bekerjasama dengan pemerintah untuk mewujudkan pengabdiannya kepada umat/masyarakat.

Jargon "Islam Yes Partai Islam No" hari ini tidak lagi relevan. Karena partai adalah instrumen untuk memperjuangkan kepentingan bangsa dan negara. Melalui partai pula, puncak kekuasaan bisa diraih untuk selanjutnya diabdikan pada bangsa dan negara. Hari ini kita perlu mempertahankan prinsip "Islam Yes, Partai Islam Yes". Karena hanya melalui prinsip yang terakhir ini, kita bisa menjalankan kewajiban agama sekaligus pengabdian pada bangsa dan negara. Wallahu a'lam bis shawab.

*Penulis adalah Alumni Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri; Alumni Universitas Al-Azhar, Mesir, Dept. Theology and Philosophy; Alumni Universiti Kebangsaan Malaysia, Dept. Politic and Strategy; Alumni Universiti Malaya, Dept. International Strategic and Defence Studies; Pengasuh Pondok Pesantren Bina Insan Mulia, Cirebon; Wakil Ketua Pimpinan Pusat Rabithah Ma’ahid Islamiyah (Asosiasi Pondok Pesantren se-Indonesia); Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Periode 2010-2015.*

Tribunners merupakan jurnalisme warga, dimana warga bisa mengirimkan hasil dari aktivitas jurnalistiknya ke Tribunnews, dengan mendaftar terlebih dahulu atau dikirim ke email redaksi@tribunnews.com
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas