Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
NU Yes, Politik NU Yes
apakah pengurus NU memang tidak boleh terjun ke politik praktis, tentu saja tidak se-literlek begitu.
Editor: Husein Sanusi
![NU Yes, Politik NU Yes](https://asset-2.tstatic.net/tribunnews/foto/bank/images/kh-imam-j.jpg)
NU Yes, Politik NU Yes
Oleh: KH. Imam Jazuli, Lc. MA*
TRIBUNNEWS.COM - Sebagai warga Nahdliyyin, sudah akrab rasanya dengan pepatah: almuhafazhah alal qadimis soleh wal akhdzu bil jadidil aslah. Menjaga yang lama mengambil yang baru. Dalam sejarahnya, NU mengambil bentuk sebagai ormas keagamaan, seiring berjalannya waktu NU mengambil bentu sebagai partai politik, dan puncaknya NU menjadi ormas namun melahirkan parpol, PKB sebagai anak kandungnya satu-satunya.
Perjalanan dari menjadi Ormas, ke Parpol, lalu menjadi Ormas yang melahirkan Parpol, maka satu kalimat kesimpulan untuk menilainya, yaitu: "NU Yes, Partai Politik NU Yes." Dinamika bentuk ini tidak bisa dipisahkan dari pepatah tersebut di atas, menjaga yang lama mengambil yang baru. Jika kemudian warga NU terpecah menjadi tiga kelompok; pendukung NU sebagai ormas saja, pendukung NU sebagai parpol, dan pendukung NU sebagai ormas yang melahirkan parpol, maka itu sudah lazim.
Sekarang, kelaziman semacam itu tadi disusupi oleh kepentingan-kepentingan penunggang. Misalnya, Wakil Ketua Komisi III DPR dari fraksi Nasdem, sekaligus Bendahara Umum Partai Nasdem, Ahmad Sahroni, berkomentar: sebaiknya NU menjadi ormas pengayom umat dan jangan terjun ke politik praktis. Saran masukan dari kader Nasdem ini kebetulan sejalan dengan visi Ketua Umum PBNU KH. Yahya Cholil Staquf, yang melarang pengurus NU terjun politik praktis. Artinya, nalar ini bisa disebut condong pada NU sebagai ormas.
Tetapi, apakah pengurus NU memang tidak boleh terjun ke politik praktis, tentu saja tidak se-literlek begitu. Kita bisa melihat Bendahara PBNU , Mardani H. Maming, masih aktif sebagai kader PDI-P; Wakil Ketua Umum PBNU Nusron Wahid kader Golkar; dan jika bicara Ketua PBNU dari perempuan, Khofifah Indar Parawansa, dia masih sebagai Gubernur Jawa Timur. Pola kedua ini melengkapi pola pertama. Pola kedua ini memang condong pada pemikiran bahwa NU sebagai ormas tapi kadernya boleh berpolitik.
Terakhir, ini pola ketiga yang bisa dilihat pada pemikiran kader PKB dari warga NU. Mereka yakin bahwa NU adalah ormas yang melahirkan partai politik, yaitu PKB, satu-satunya parpol NU. Bagi kelompok ketiga ini, warga NU yang menyalurkan suaranya pada selain PKB dianggap sebagai bentuk penyimpangan sejarah, ahistoris, dan menunjukkan sikap yang "ignorance", ketidakpedulian terhadap perbuatan sendiri. Juga lupa pada kontribusi PKB yang paling pertama mampu mengantarkan kader NU jadi presiden, KH. Abdurrahman Wahid.
Terlepas dari adanya tiga polarisasi semacam itu tadi, kita tetap meiliha dua dari tiga macam bertalian erat dengan politik kekuasaan atau politik praktis-pragmatis. Pola kedua dan ketiga sama-sama mengamini keterlibatan warga NU dengan politik praktis, kekuasaan. Hanya saja keduanya berbeda jalur penyampaian aspirasi; antara yang semata-mata untuk PKB dan yang membolehkan pada semua parpol yang ada. Walaupun beda saluran, keduanya sama dalam hal keterkaitan langsung dengan politik kekuasaan.
Dari realitas inilah, kelompok yang mendorong NU agar menjadi sebatas ormas saja hanya satu kelompok dari dua kelompok yang ada. Dua kelompok sisanya mendorong NU aktif di politik kekuasaan, baik kubu yang mendorong lewat berbagai parpol maupun kubu yang mendorong lewat parpol PKB saja. Dari sinilah, hemat penulis dapat dirangkum dalam satu kalimat sederhana: "NU Yes, Politik NU Yes."
Pengertian "NU Yes" berarti warga Nahdliyyin boleh mengikuti pengertian dari kelompok pertama, yang hanya mengharap NU menjadi ormas pengayom umat, tidak terjun langsung ke politik praktis. Hal ini bisa dilihat dari kritik politisi Nasdem di atas. Sedangkan pengertian "Politik NU Yes" berarti warga NU boleh mengikuti pengertian dan pemikiran dua kelompok sisanya; yang aktif di politik praktis baik melalui jalur PKB saja atau melalui jalur berbagai parpol yang ada.
Sekarang kalau kita kembali berpijak pada prinsip "almuhafazhah" di atas, maka memang harus ada dua variabel yang sama-sama diterima. Variabel pertama adalah NU sebatas ormas yang tidak berpolitik praktis, dan variabel kedua adalah NU yang aktif di politik praktis, baik melalui jalur PKB atau non-PKB. Ketika dua variabel ini tidak sama-sama dijalankan maka prinsip "almuhafazhah" tidak dapat diimplementasikan. Prinsip ini baru bisa dijalankan apabila ada dua warna berbeda yang sama-sama diterima.
Sebaliknya, jika kita hanya mau menjalankan prinsip bahwa NU adalah ormas yang tidak berpolitik praktis, maka itu sama saja dengan menjalankan "al-muhafazhah alal qadimis soleh", atau hanya mencontoh teladan para kiyai NU sebelum era kemerdekaan. Atau, jika kita hanya mau menjalankan prinsip bahwa NU adalah ormas yang berpolitik praktis, maka itu sama saja dengan menjalankan "al-akhdzu bil jadidil ashlah", atau hanya mencontoh suri teladan para kiyai NU do era paska kemerdekaan yang mengubah NU jadi parpol dan ikut pemilu.
Sampai di sini kita memang harus legowo atau lapang dada untuk menerima kenyataan bahwa menjalankan prinsip "al-muhafazhah alal qadimis soleh wal akhdzu bil jadidil aslah" ini tidak mudah. Karena kita harus membiarkan secara objektif tanpa intervensi terhadap warga NU, baik yang mau berpolitik praktis maupun yang tidak mau. Mereka yang mau berpolitik praktis karena memiliki bakat alamiah pada diri mereka. Untuk itulah, melarang warga NU berpolitik praktis sama saja melarang warga NU meneladani leluhurnya sendiri yang berpolitik praktis.
Hanya saja kita perlu tahu apa alasan kader Nasdem menyarankan warga NU tidak berpolitik praktis, apakah kritik saran dan masukannya itu sudah sesuai dengan spirit Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 bahwa setiap orang merdeka berserikat dan berkumpul. Maka menurut hemat penulis, Menyarankan agar NU tidak berpolitik praktis, tidak masuk menjadi pendukung parpol tertentu, berarti menyarankan agar tidak merdeka. Selain itu, jika NU tidak berpolitik praktis, otomatis warganya tidak boleh ikut Pemilu di 2024 nanti. Padahal, politik praktis dengan mencoblos calon saat Pemilu adalah praktik politik praktis itu sendiri.
Alhasil, upaya memisahkan NU dari politik kekuasaan akan menemukan banyak hambatan, terutama hambatan logika. Karena "DNA" warga NU adalah DNA orang-orang yang berpolitik. Jangan pernah salah mengira bahwa NU sejak awal diberdirikan tidak berpolitik praktis. NU dibuat untuk berpolitik di tingkat internasional, mempengaruhi kebijakan politik agama Kerajaan Arab Saudi, dan menyelamatkan ideologi Aswaja melalui jalur diplomasi kultural. Semua itu adalah bentuk politik. Karena saat itu parpol tidak dibutuhkan, maka ormas saja sudah cukup. Berbeda dengan tahun-tahun berikutnya. Di era kemerdekaan, NU butuh menjadi parpol. Setelah memasuki era reformasi, NU butuh melahirkan parpol (PKB).
Kenapa PKB? Karena sesuai pembentukannya di Jakarta pada 23 Juli 1998, Salah satu poin deklarasi menyebutkan, PKB bersifat kejuangan, kebangsaan, terbuka, dan demokratis yang berbasis NU. Karena itu anggota PKB juga diharapkan bisa berasal dari luar NU, bahkan dengan latar belakang agama yang bukan Islam. Tetapi ini bersifat sekundur, Sedangkan berbasis NU adalah kebutuhan primer, karena itu secara ideologis PKB adalah partai NU. Inilah mengapa penulis meyakini prinsip "NU Yes, Politik NU Yes". Dalam konteks yang lebih kongkrit "NU Yes, PKB NU Yes". Wallahu a'lam bis shawab.
_*Penulis adalah Alumni Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri; Alumni Universitas Al-Azhar, Mesir, Dept. Theology and Philosophy; Alumni Universiti Kebangsaan Malaysia, Dept. Politic and Strategy; Alumni Universiti Malaya, Dept. International Strategic and Defence Studies; Pengasuh Pondok Pesantren Bina Insan Mulia, Cirebon; Wakil Ketua Pimpinan Pusat Rabithah Ma’ahid Islamiyah (Asosiasi Pondok Pesantren se-Indonesia); Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Periode 2010-2015.*_
![Baca WhatsApp Tribunnews](https://asset-1.tstatic.net/img/wa_channel.png)
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.