Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Pesantren Hadirkan Solusi Terbaik Saat Indonesia Hadapi Bonus Demografi
Dalam periode 15 tahun terakhir, jumlah populasi kelas menengah Indonesia naik dari 7% menjadi 20%.
Editor: Husein Sanusi
Pesantren Hadirkan Solusi Terbaik Saat Indonesia Hadapi Bonus Demografi
Oleh : KH. Imam Jazuli, Lc. MA.
TRIBUNNEWS.COM - Pertumbuhan kelas menengah di Indonesia luar biasa. Mobil baru dibeli oleh kelas menengah. Mall-mall di Indonesia diisi oleh kelas menengah. Berbagai gajet terbaru juga diborong oleh kelas menengah. Hotel-hotel juga dipenuhi oleh kelas menengah. Travel yang menyelenggarakan umroh dan tour juga diserbu kelas menengah.
Mengutip pemberitaan di media, perkembangan kelas menengah menjadi salah satu kunci pertumbuhan ekonomi dan kemajuan Indonesia. Bank Dunia mencatat, ada sebanyak 45% populasi atau 115 juta orang yang berpotensi naik status menjadi kelas menengah di Indonesia dan menjadi motor perekonomian Indonesia ke depan. Dalam periode 15 tahun terakhir, jumlah populasi kelas menengah Indonesia naik dari 7% menjadi 20% atau sekitar 52 juta orang.
Ada hal unik dari pertumbuhan kelas menengah di Indonesia. Selain mereka punya gairah yang tinggi untuk menikmati hidup dengan caranya masing-masing, ternyata kesadaran beragama juga muncul. Tentu dengan berbagai tingkatan.
Dulu, dari kelas menengah yang berjilbab dalam satu perkumpulan itu bisa dihitung dengan jari. Tetapi sekarang ini, orang berjilbab atau berhijab di resto, kantor, hotel, bahkan mungkin di tempat hiburan pun sudah jamak
Demikian juga dengan kajian keagamaan. Seorang kawan yang kebetulan menjadi konsultan di salah satu perusahaan internasional menyaksikan hal tidak umum. Banyak ruangan meeting perusahaan di jam-jam istirahat siang hari dipenuhi oleh karayawan yang belajar mengaji al-Quran secara privat maupun kelompok.
Hal ini juga kita dapat melihat pertumbuhan bank syariah atau pembiayaan syariah. Karena mereka melihat pasar yang sedang bergerak membesar, maka semuanya berlomba-lomba memberi label syariah untuk jasa layanannya.
Tentu hal ini masih bisa dibahas lagi, apakah label syariah di situ sebagai trik marketing murni atau memang ingin menegakkan pilar-pilar syariah dalam bisnisnya. Tetapi fakta bahwa di Indonesia ini mulai berkembang lembaga-lembaga berlabel syariah, memang tidak bisa dihindari.
Data di media dari akhir 2018 hingga Maret 2021 menunjukkan bahwa jumlah tabungan di bank syariah naik 80%, melampaui pertumbuhan 18% di bank konvensional. Statistik lapangan kerja di bank konvensional turun secara bertahap. Gerakan antiriba mendorong sebagian orang menghindari bank konvensional, untuk bekerja sekalipun.
Tak terkecuali dengan pilihan pendidikan bagi putra-putrinya. Umumnya, kelas menengah-atas ingin memberikan pendidikan terbaik kepada putra-putrinya. Tidak saja ingin memberi gizi, liburan, dan kenyamanan hidup yang prima.
Bentuk pemberian pendidikan terbaik menurut versi mereka adalah ada tambahan bekal agama. Mereka ingin anaknya punya bekal agama. Mereka tidak ingin anaknya seperti orang tuanya dulu yang menempuh pendidikan dari SD, SMP, SMA, lalu perguruan tinggi.
Maka lahirlah sekolah Islam Terpadu, mulai dari SDIT, SMP IT, dan SMAIT. Seperti kita saksikan, di berbagai kota, sambutan masyarakat kelas menengah-atas terhadap kehadiran sekolah tersebut luar biasa. Kalau bicara sejarahnya, awal mula sekolah terpadu ini memang tidak bisa dilepaskan dari keberadaan Al-Azhar di Jakarta.
Pertanyaan yang bisa dikembangkan dari fenomena ini adalah kenapa bekal agamanya tidak diambil dari pesantren yang sudah ada? Bukankah pesantren lebih piawai? Bukankah pesantren lebih banyak memberikan pengajaran keagamaan?
Terlepas itu pilihan pribadi-pribadi, tapi ada hal yang bisa dijelaskan sebagai alasan. Untuk kelas menengah-atas tertentu, pesantren itu makhluk yang tak tersentuh oleh imajinasinya. Bayangannya tentang pesantren adalah kehidupan yang serba kekurangan fasilitas. Mulai dari tidur, makan, minum, berpakaian, pergaulan, hiburan, dan seterusnya.