Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribunners
Tribunners

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.


Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Blog Tribunners

Manusia Itu Kera yang Makin Dominan di Bumi

Berbeda dengan spesies lain, manusia mampu memodifikasinya dalam ukuran yang sangat besar dan laju yang lebih cepat.

Penulis: Setya Krisna Sumarga
zoom-in Manusia Itu Kera yang Makin Dominan di Bumi
Kemdikbud.go.id
Ilustrasi manusia purba pada zaman praaksara. 

OLEH : RUSYAD ADI SURIYANTO, Lab Bio Paleeoantropologi FKKM UGM

SECARA taksonomis, ordo Primates itu beranggotakan monyet, kera dan manusia. Dalam anggota ordo ini dapat meliputi paleoprimatologis dan living primatology.

Fauna paleoprimatologis itu merupakan anggota ordo Primates yang sudah punah dan memfosil.

Fauna living primatology itu merupakan anggota ordo Primates yang masih lestari sampai saat ini.

Banyak anggota ordo Primates yang makin rentan. Habitat mereka makin rusak dan menyempit.

Mereka makin tak mampu bertahan hidup di bumi ini. Dalam ordo ini, juga ada anggotanya yang ingin mendominasi kehidupan di bumi ini.

Homo sapiens atau manusia makin dominan dalam kehidupan di bumi.

Baca juga: Prof Dr Teuku Jacob dan Asal-usul Homo Erectus

Baca juga: Penemu Manusia Purba Pithecanthropus Erectus, Ini Pola Kehidupan Manusia Purba

Baca juga: Homo Erectus di Jawa hidup paling lama di dunia, bertahan hingga 100.000 tahun lalu

BERITA TERKAIT

Manusia memulai sejarahnya sebagai hewan tropis dalam jumlah yang sangat sedikit, sekarang sudah memperluas niche ekologisnya, daerah peranannya, ke seluruh bumi.

Mereka memilih hidup di lingkungan iklim mesothermal karena thermonetralitasnya berada di antara 27 – 290 Celcius.

Jadi mereka tidak sembarang dan merata menempati semua habitat di muka bumi ini. Di sini manusia selalu berperan dalam hubungan timbal-balik dengan lingkungannya.

Namun lambat-laun dengan kebudayaannya, manusia makin lama makin menguasai ekosistem, bahkan manusia merasa bukan sebagai unsur ekosistem dan terus mengubahnya.

Replika manusia purba di Museum Sangiran, Rabu (18/12/2019)
Replika manusia purba di Museum Sangiran, Rabu (18/12/2019) (Ambar/TribunTravel)

Kemampuan Berbeda Manusia

Perlu dipahami tidak ada ekosistem yang seluruhnya optimal bagi semua spesies, sehingga semua spesies sedikit banyak mengubah lingkungannya.

Berbeda dengan spesies lain, manusia mampu memodifikasinya dalam ukuran yang sangat besar dan laju yang lebih cepat.

Jika hewan-hewan lain mengeksploitasi dan beradaptasi terhadap lingkungannya dengan biologisnya, dengan raganya; maka manusia melakukan aktivitas ini terutama dengan kebudayaannya, jadi dengan cara-cara ekstrabiologis atau supraorganis.

Sebagian besar dari perjalanan sejarahnya manusia hidup sebagai peramu dan pemburu. Dimulai dari Australopithecus sp. ke  Pithecanthropus (Homo) erectus hidup sebagai pemangsa (predator) dalam jaringan makanan dalam ekosistem alamiah.

Beberapa paleoantropolog mengajukan Sahelanthropus sp. sebagai percabangan transisi Bersama di antara kera dan manusia.

Karena anggota populasinya yang masih berjumlah sedikit dan tingkat kebudayaan yang masih relatif sederhana, akibat kerjanya terhadap lingkungan.

Jjadi terhadap proses metabolisme dan reproduksi yang mengatur sistem penunjang hayat di bumi ini – sangat sedikit, dan ekosistem dapat dengan cepat mengkompensasinya.

Jadi, aktivitas-aktivitas itu sangat sedikit pengaruhnya terhadap lingkungannya.

Mendekati Holosen, manusia purba dengan evolusi budayanya makin meningkat aktivitas eksploitasinya terhadap sumber-sumber lingkungannya.

Pengaruh aktivitas manusia kuno terhadap lingkungannya mulai bermakna dan berat pada taraf domestikasi dan pengembalaan hewan.

Pembakaran hutan untuk penggembalaan dan berburu serta merumput secara masif oleh hewan-hewan peliharaannya meninggalkan bekas-bekasnya pada ekosistem untuk beberapa lama.

Tetapi hidup mengembara tidak menimbulkan persoalan dalam pembuangan sampah dan kotoran, karena dengan cepat dapat diproses dan diedarkan kembali oleh ekosistem.

Revolusi Pertanian Awal Holosen 

Revolusi pertanian di awal Holosen, kira-kira 10.000 tahun yang lalu, merupakan loncatan kuantum dalam evolusi manusia; di mana manusia makin mendominasi ekosistem dan menjinakkan lingkungannya.

Bahkan manusia seolah-olah berada di luar ekosistemnya, dan ekosistem alamiah diubah menjadi ekosistem manusia.

Pepohonan yang merupakan unsur dominan dalam ekosistem ini makin dilenyapkannya.

Erosi tanah makin meluas dan makin cepat, sehingga merupakan persoalan ekosistem yang muda.

Produksi total fotosintesis lebih besar daripada kebutuhan respirasinya, sehingga biomassa bahan organis terhimpun.

Diversitas genetis yang tadinya kompleks menjadi makin sederhana dengan adanya kecenderungan ke arah monokultur yang dibutuhkan sebagai makanan pokok di dalam cara hidup bercocok tanam.

Dengan berubahnya pola hidup berpindah-pindah ke permukiman, maka masalah feedback management  mulai timbul.

Dalam ekosistem alamiah, detritus (bahan organis yang telah mati) suatu organisme dibalikkan ke dalam lingkungan dan diedarkan dalam bentuk organisme-organisme baru.

Sebaliknya, desa-desa Neolitik dengan sumber-sumber makanannya yang lebih teratur dan pasti, dapat menampung lebih banyak populasi daripada kelompok-kelompok nomadis, sehingga sampah dan kotoran juga makin lebih banyak terhimpun.

Di sini ragam dan kuantitas polusi makin mengiringi meningkatnya populasi manusia.

Dalam perspektif evolutif itu, baik evolusi biologis maupun budaya, populasi manusia makin lama makin bertambah, baik seluruhnya maupun dalam suatu permukiman.

Menurut Jacob, dengan meningkatnya kompleksitas budaya, maka ratio ekstraktif – yaitu perbandingan kalori yang dipakai untuk mengeksploitasi lingkungan dengan yang seluruhnya dikonsumsi – makin kecil.

Museum Manusia Purba Sangiran dengan tema The Homeland of Java Man resmi diselenggarakan di Sadira Plaza Pekanbaru, Rabu (1/11/2017). Pameran yang menampilkan patung rekonstruksi Homo Erectus, fosil manusia dan berbagai hewan purba ini akan digelar hingga tanggal 5 November 2017 mendatang. Kota Pekanbaru merupakan satu dari lima Kota di Indonesia yang disinggahi dalam pameran yang digelar Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Balai Pelestarian Situs Manusia Purba Sangiran tersebut. TRIBUN PEKANBARU/THEO RIZKY
Museum Manusia Purba Sangiran dengan tema The Homeland of Java Man resmi diselenggarakan di Sadira Plaza Pekanbaru, Rabu (1/11/2017). Pameran yang menampilkan patung rekonstruksi Homo Erectus, fosil manusia dan berbagai hewan purba ini akan digelar hingga tanggal 5 November 2017 mendatang. Kota Pekanbaru merupakan satu dari lima Kota di Indonesia yang disinggahi dalam pameran yang digelar Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Balai Pelestarian Situs Manusia Purba Sangiran tersebut. TRIBUN PEKANBARU/THEO RIZKY (TRIBUN PEKANBARU/Theo Rizky)

Kehidupan Masa Plestosen

Lebih jauh dikemukakan pula olehnya, dalam kehidupan berburu di kala Pleistosen pertambahan penduduk sangat lambat, di mana pada akhir kala itu populasinya ditaksir sekitar 10 juta jiwa.

Mereka bertambah menjadi 90 juta jiwa dengan revolusi Neolitik, sehingga telah mencapai kepadatan 1/km2; serta saat kota-kota pertama mulai muncul, populasinya ditaksir 160 juta jiwa, yang kemudian meningkat menjadi 600 juta jiwa pada awal revolusi industri. 

Di sini juga makin menampakkan kepada kita kepadatan itu dipengaruhi faktor-faktor ekologis.

Dalam perjalanannya ini, adaptasi manusia terorientasi terhadap masa lampau, karena lingkungan masa lampaulah yang telah menseleksi dan mengarahkannya ke keadaan sekarang; sebaliknya adaptabilitas manusia sangat penting untuk masa depannya jika ingin bertahan hidup lama di bumi ini.

Saat ini populasi manusia mencapai sekitar 7, 5 milyar individu. Populasi simpanse dan bonobo masing-masing mencapai sekitar 250 ribu dan 40 ribu individu.

Western Gorilla dan Eastern Gorilla masing-masing berjumlah sekitar 95 ribu individu dan 5,7 ribu individu.

Populasi orang utan Kalimantan dan Sumatera masing-masing mencapai sekitar 54 ribu dan 6,5 ribu individu.

Para kera itu jumlah populasinya makin menyusut. Kehidupan mereka makin rentan karena habitatnya makin rusak dan sempit karena ekplorasi dan ekploitasi lingkungan oleh manusia.

Manusia dan kera-kera besar itu sama-sama bergantung lingkungan bumi. Para kera besar hanya mengandalkan kebutuhan pangannya dari ketersedian oleh alam – jika lingkungan makin rusak, makin terbatas ketersedian pangannya.

Ketersedian pangannya makin berkurang, maka jumlah populasinya makin susut. Beda dengan manusia, manusia tidak melulu taat pada alam, namun manusia mampu mensiasati dan memanipulasi alam dengan kebudayaannya.

Manusia makin peduli dengan ketersediaan pangannya. Mereka ingin terus memastikan bahwa ketersediaan pangannya bisa mencukupi sampai kapan pun.

Industri pertanian dan pangan terus tumbuh. Makin bertumbuh ketersediaan pangannya, makin meraksasa kuantitas manusia di bumi.

Saya kira Anda bisa menduga beragam konsekuensi kehidupan di bumi seturut makin meningkatnya jumlah populasi manusia.(*)  

Tribunners merupakan jurnalisme warga, dimana warga bisa mengirimkan hasil dari aktivitas jurnalistiknya ke Tribunnews, dengan mendaftar terlebih dahulu atau dikirim ke email redaksi@tribunnews.com
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
berita POPULER

Wiki Terkait

© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas