Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Inovasi Radikal Pesantren Menjawab Tantangan Perubahan
Without The Box Thinking adalah sebuah judul buku yang ditulis oleh KH. Imam Jazuli, mengulas tentang inovasi radikal pesantren menjawab perubahan.
Editor: Husein Sanusi
Inovasi Radikal Pesantren Menjawab Tantangan Perubahan
Oleh: Dr. H. Jazilul Fawaid, SQ., MA.
TRIBUNNEWS.COM - Without The Box Thinking, adalah sebuah judul buku ditulis oleh seorang pemikir sekaligus praktisi di bidang Pendidikan Islam, khususnya pesantren. Dengan bahasa yang populer namun tetap ilmiah, kiai yang oleh kalangan pesantren sering disebut “without the box thinker” ini berbagi pemikiran dan pengalamannya dalam membesarkan Pesantren Bina Insan Mulia Cirebon.
Tak terkecuali pesanten, kemajuan teknologi digital memang telah mengacaukan tatanan lama (disrupsi) dengan membawa perubahan yang dahsyat. Di sinilah pesantren dituntut untuk menghadirkan jawaban (respon) yang tepat. Tujuannya adalah agar tidak mati oleh perubahan, tetapi justru makin berjaya dengan fasilitas teknologi.
Apa langkah-langkah yang penting untuk dilakukan? Buku ini ternyata mampu memberikan arahan (guide) yang gamblang untuk dipahami.
Penulis memulai bahasannya dengan modal jiwa yang paling dibutuhkan manusia untuk berubah, yaitu nyali dari hati. Tanpa nyali, semua agenda perubahan hanya sebatas gagasan (hal. xvi).
Setelah menjelaskan 5 modal jiwa yang sangat elementer, barulah penulis memaparkan berbagai macam strategi yang perlu dilakukan oleh pesantren agar dapat mengambil rahmat, berkat, dan keutamaan Allah di balik disrupsi teknologi ini.
Pengalaman penulis membuktikan bahwa disrupsi teknologi tidak membikin pesantren menjadi mati, bahkan semakin hidup.
Berbagai strategi yang telah dipraktikkan tersebut dikemas menjadi 17 bab yang dibahas dengan sangat mendalam. Ada bukti praktik yang bisa dipelajari, lalu diperkuat dengan dalil-dalil ilmiah, dan mendapatkan cahaya dari ajaran agama.
Banyak langkah radikal yang dilakukan Pesantren Bina Insan Mulia yang sekilas bertentangan dengan kebiasaan umumnya pesantren. Tetapi setelah membaca penjelasan di buku, justru langkah radikal itu menjadi jawaban yang tepat dalam meresponi perubahan.
Misalnya, santri dan guru-guru yang diharuskan menonton film di bioskop padahal di hampir semua pesantren hal itu dilarang. Kiai, para guru, dan para pembimbing aktif di media sosial dengan konten-konten yang variatif dan kreatif. Jika pesantren tidak mau merebut peluang untuk mengisi konten, maka konten akan diisi oleh orang lain yang bisa jadi malah mengancam pesantren (hal. 223).
Demikian juga tempat pelaksanaan agenda-agenda pesantren. Pesantren Bina Insan Mulia selalu menempatkan acara-acara penting di hotel berbintang lima. Dari mulai penerimaan santri baru, rapat guru-guru, agenda organisasi santri, dan pelatihan soft skills untuk guru dan karyawan.
Meski menerapkan sistem dan gaya yang sangat modern di beberapa hal, tetapi Pesantren Bina Insan Mulia juga mewajibkan disiplin tirakat yang menjadi ciri khas pesantren tradisional (salaf).
Dari sinilah teradapat alasan yang kuat untuk dikatakan bahwa dalam beberapa hal, Pesantren Bina Insan Mulia lebih salaf dari pesantren yang mengaku salaf dan lebih modern dari pesantren yang menyebut modern.