Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Putri Candrawathi dan Nasib Dewi Shinta dalam Kisah Ramayana
Putri Candrawathi, istri mantan Kadiv Propam Polri Irjen Ferdy Sambo menempuh jalan Shinta, istri Rama dalam kisah Ramayana.
Editor: Hasanudin Aco
Oleh: Karyudi Sutajah Putra
TRIBUNNEWS.COM - Salut!
Putri Candrawathi, istri mantan Kadiv Propam Polri Irjen Ferdy Sambo menempuh jalan Dewi Shinta, istri Rama dalam kisah Ramayana.
Tampaknya Putri lebih memilih menjadi tersangka kasus pembunuhan berencana Brigadir J demi membuktikan kesetiannya kepada Sambo.
Daripada menjadi "justice collaborator" yang mungkin akan membebaskannya dari hukuman dengan "mengkhianati" Sambo.
Alkisah dalam lakon "Shinta Obong", setelah Prabu Rama dan bala tentaranya berhasil menaklukkan pasukan Kerajaan Alengka dan menewaskan Prabu Rahwana, Dewi Shinta yang sudah disandera Rahwana 12 tahun lamanya akhirnya dibebaskan.
Baca juga: Kuasa Hukum Sebut Kesehatan Putri Candrawathi Terus Menurun 3 Hari Berturut-turut
Rama bersama Dewi Shinta kemudian kembali ke Ayodya, kerajaan yang dipimpinnya.
Beberapa waktu setelah Rama kembali ke singgasananya, ia mendengar desas-desus rakyat Ayodya tidak yakin akan kesucian Dewi Shinta karena permaisurinya itu 12 tahun lamanya berada dalam sekapan Rahwana.
Keraguan rakyat Ayodya yang kemudian mempengaruhi batin Rama itu membuat Dewi Shinta merasa perlu untuk membuktikan kesuciannya.
Shinta pun minta agar dibuatkan api unggun.
Shinta kemudian menceburkan dirinya ke kobaran api yang menjilat-jilat.
Sebelumnya ia berwasiat, jika tubuhnya tidak terbakar berarti ia tetap suci.
Di tengah kobaran api, Batara Agni turun dari Khayangan dan melindungi tubuh dan pakaian Shinta, sehingga tidak hangus dijilat api.
Dewi Shinta akhirnya terbukti masih suci.
Putri Sambo pun sepertinya memiliki spirit Shinta.
Ia laiknya Shinta yang menceburkan diri ke api unggun dengan mengambil risiko sebagai tersangka, daripada harus mengkhianati Sambo dengan menjadi "justice collaborator", yakni pelaku tindak pidana yang bekerja sama dengan aparat penegak hukum demi terangnya perkara yang menjeratnya.
Jalan "justice collaborator" itu telah lebih dulu ditempuh Bharada E, tersangka lain perkara pembunuhan berencana Brigadir J, sehingga mendapat perlindungan dari Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).
Hukuman yang akan diterima Bharada E pun nanti mungkin akan lebih ringan daripada ancaman maksimal Pasal 340 KUHP berupa hukuman mati.
Selain Putri dan Bharada E, tersangka lain kasus pembunuhan berencana Brigadir J adalah Ferdy Sambo, Bripka Ricky Rizal, dan Kuwat Maruf. J, E dan Ricky adalah ajudan Sambo, sedangkan Kuwat adalah asisten rumah tangga sekaligus sopir Putri Sambo.
Polri tidak mau mengungkap detail motif apa yang mendorong Sambo membunuh J.
Polri hanya menyatakan J diduga melukai harkat dan martabat keluarga Sambo.
Biarlah motif itu terbuka di persidangan.
Versi pengacara keluarga J, katanya polisi yang sudah bertunangan itu dibunuh karena punya kedekatan dengan Putri Sambo.
Untuk menepis isu kedekatan dengan J, Putri diduga mengikuti skenario yang disusun Sambo, termasuk melaporkan mendiang J ke Polres Metro Jakarta Selatan dengan tuduhan J telah melakukan pelecehan seksual kepada dirinya.
Namun Polri akhirnya menghentikan penyidikan kasus dugaan pelecehan seksual ini karena tidak ditemukan tindak pidana.
Semula publik menduga Putri mengalami tekanan sehingga mau mengikuti skenario suaminya dan publik pun berharap Putri mau berkata jujur tentang apa yang sesungguhnya terjadi, apakah memang ada kedekatan khusus dengan J atau memang ada pelecehan seksual.
Selama 40 hari sejak pembunuhan J di rumah dinas Sambo, Duren Tiga, Pancoran, Jakarta Selatan, 8 Juli 2022, Putri dikira publik masih pikir-pikir dan akhirnya mau menjadi "justice collaborator".
Sampai akhirnya ditetapkan sebagai tersangka, Jumat (19/8/2022), Putri tetap keukeuh mengikuti skenario Sambo.
Padahal Polri sudah memutuskan tidak ada tindak pidana pelecehan seksual itu.
Mungkin Putri merasa sudah terlanjur terbakar sehingga langsung saja menceburkan diri ke kobaran api dengan menjadi tersangka.
Kemungkinan lain, dia tahu polisi sudah mengantongi bukti-bukti kuat dugaan keterlibatannya sehingga mengelak pun akan percuma.
Lagi pula, andaikata isu kedekatan khusus dengan J itu benar, lalu siapa yang mau dia bela, toh J sudah meninggal dunia.
Lebih baik ia menempuh jalan Sinta.
Terlepas dia pernah disentuh atau bahkan dijamah J atau tidak, masih suci atau tidak, Putri kini mau membuktikan kesetiannya kepada Sambo. Dia tidak mau menjadi "justice collaborator" yang bisa memberatkan suami tercintanya itu.
Kehormatan diri dan keluarga adalah segala-galanya, mungkin demikian batin Putri.
Biarlah isu kedekatan khusus dengan J itu menguap seiring waktu, yang jelas di titik kulminasi perkara pembunuhan J, Putri telah membuktikan kesetiaannya kepada Sambo.
Putri telah menempuh jalan Shinta, meski jelas posisinya tidak bisa disejajarkan dengan Shinta, karena Shinta tidak disangka terlibat kejahatan, dan posisi Sambo pun tidak bisa disejajarkan dengan Rama yang terpaksa membunuh Rahwana karena Raja Alengka itu menculik Sinta, istrinya.
Putri menempuh jalan Shinta itu karena terpaksa atau tidak, biarlah itu menjadi rahasianya.
Yang pasti, Putri "swarga nunut, neraka katut" (ke surga ikut, ke neraka terseret) kepada suamimya.
"Cintaku padamu, Adinda,” kata Rama,“ adalah laut yang pernah bertahun memisahkan kita, adalah langit yang senantiasa memayungi kita, adalah kawanan kera yang di gua Kiskenda. Tetapi...,”
Sita yang hamil itu tetap diam sejak semula, “kau telah tinggal dalam sangkar raja angkara itu bertahun lamanya, kau telah tidur di ranjangnya, kau bukan lagi rahasia baginya.”
Sita yang hamil itu tetap diam: pesona. “Tetapi, si Raksasa itu ayahandamu sendiri, benih yang menjadikanmu, apakah ia juga yang membenihimu, apakah ...”
Sita yang hamil itu tetap diam, mencoba menafsirkan kehendak para dewa.
(Benih, puisi karya Sapardi Djoko Damono, 1981).
* Karyudi Sutajah Putra, Pegiat Media Tinggal di Jakarta