Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Mitos Negara 'Darurat' Subsidi BBM
Rencana pemerintah Jokowi menaikkan harga BBM bersubsidi jenis Pertalite dan Solar tidak mencerminkan spirit ekonomi kerakyatan,
Editor: Daryono
Oleh: Riyanda Barmawi, Ketua Bidang Ekonomi Pembangunan PB HMI
TRIBUNNEWS.COM - Nyanyian tentang subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM) membebani keuangan negara lagi di orkestrasi pemangku kebijakan. Nyanyian seperti ini menjadi siklus musiman tatkala harga minyak di pasar global mengalami guncangan, sehingga dinilai rasional jika harga BBM diputuskan naik.
Presiden Joko Widodo bukan orang pertama yang menggunakan narasi ini untuk melegitimasi rencana yang kurang populis. Rezim sebelum-sebelumnya juga memakai cara yang kurang lebih sama.
Ada semacam insinuasi kedaruratan (force majeure) hendak dibangun sehingga bisa jadi dasar pertimbangan dalam memutuskan kenaikan harga BBM bersubsidi. Alam pikiran publik terus dibenturkan dengan narasi-narasi bahwa, jika harga BBM bersubsidi masih tidak diputus naik maka ancaman force majeure terhadap keuangan negara bisa menjadi nyata. Cara semacam ini bukan tanpa masalah. Mereduksi beban keuangan negara pada persoalan subsidi jelas bukan pikiran yang bijak.
Masalahnya, pada era pasar bebas (neoliberalisme) ini, perekonomian dibayang-bayangi force majeure. Krisis yang datang silih berganti, toh sering dianggap sebagai kenormalan ekonomi, meskipun biasanya yang terkena dampak masyarakat berpendapatan rendah.
Baca juga: Amankan Unjuk Rasa Tolak Kenaikan Harga BBM, Polres Jakarta Pusat Kerahkan Ratusan Personel
Sehingga kurang tepat kalau persoalan subsidi seakan menjadi kambing hitam yang bisa membawa konsekuensi krisis kronis bagi keuangan negara.
Mereduksi persoalan beban keuangan negara dengan kebijakan subsidi pada akhirnya mengaburkan problem kronis dalam sistem yang eksploitatif.
Adalah Menteri Keuangan Sri Mulyani beberapa waktu lalu mengatakan bahwa subsidi BBM cenderung dinikmati golongan masyarakat mampu dan super kaya (crazy rich). Sedangkan masyarakat miskin yang menjadi sasaran utama justru menikmati sedikit. Ini menunjukkan jika persoalan utama yang mesti diselesaikan negara adalah memecahkan masalah disorientasi dalam redistribusi subsidi BBM.
Fakta ini menunjukkan kalau yang menjadi masalah utama di sini bukan kebijakan subsidinya, melainkan skema distribusi yang bermasalah yang seharusnya dibenahi.
Spirit Neoliberalisme
Rencana pemerintah Jokowi menaikkan harga BBM bersubsidi jenis Pertalite dan Solar tidak mencerminkan spirit ekonomi kerakyatan, sebagaimana yang ditegaskan di dalam Pasal 33 UUD 1945. Dalam konsep ekonomi kerakyatan, kegiatan ekonomi dimaksudkan untuk mewujudkan kedaulatan rakyat di bidang ekonomi.
Guna mewujudkan tujuan itu, maka diharuskan adanya peran negara yang dominan. Jadi konsep ini tidak memahami negara sebagai entitas “destruktif” bagi perekonomian.
Menurut konsep ini, peranan negara yang dominan ditopang oleh tiga prinsip ekonomi kerakyatan. Pertama, perekonomian disusun sebagai usaha bersama, berdasarkan atas asas kekeluargaan.
Kedua, cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara. Ketiga, bumi, air, dan segala kekayaan yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat (Revrisond Baswir, 2015: 1).
Kontras dengan konsep ekonomi kerakyatan, dalam ekonomi neoliberalisme justru memilih jalan sebaliknya: peran negara dalam urusan ekonomi harus dibatasi. Menurut Giersch (1961) neoliberalisme dibangun diatas landasan prinsip-prinsip, seperti pengembangan kebebasan individu dalam rangka persaingan bebas dan sempurna di pasar, mengakui dan menjamin kepemilikan pribadi terhadap faktor-faktor produksi, dan pembentukan harga pasar bukanlah sesuatu yang alami melainkan hasil dari penertiban pasar yang dilakukan oleh negara melalui penerbitan undang-undang (Revrisond Baswir, 2015: 1).
Baca juga: Pengamat Beberkan Kebijakan Bantalan Sosial untuk Jaga Daya Beli Masyarakat Jika Harga BBM Naik
Dilihat dari dua perspektif yang kontras, maka cara pandang yang memosisikan subsidi sebagai beban keuangan negara dan karenanya keberadaannya harus dipikirkan ulang, jelas lebih senafas dengan prinsip-prinsip neoliberalisme yang menginginkan kebijakan anggaran yang ketat, termasuk dengan menghapus subsidi.
Artinya, subsidi dipandang sebagai masalah serius yang harus dilenyapkan. Sedangkan dalam prinsip ekonomi kerakyatan, pengelolaan anggaran negara ditujukan untuk kesejahteraan rakyat dengan memberlakukan pajak progresif serta memberikan subsidi.
Oleh karenanya, resistensi publik terhadap rencana pemerintah menaikkan harga BBM bersubsidi kompatibel yang terkandung dalam ekonomi kerakyatan. Inilah alasan dasar dibalik sikap publik yang memberikan penolakan atas kebijakan yang nir-keberpihakan.
Mandat konstitusi UUD 1945 kepada pemerintah untuk melaksanakan pelayanan umum menjadi hal prinsipil yang harus dipertimbangkan oleh pemerintah dalam menentukan kebijakan publik. Pelayanan umum dimaksudkan untuk memastikan kebijakan negara untuk mengatasi problematika inflasi dan bisa membantu rakyat miskin.(*)