Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Pangeran Nayef Dikurung Lalu Dipaksa Sumpah Setia ke Pangeran MBS
Perebutan tahta Kerajaan Saudi terjadi 20 Juni 2017 ketika Putra Mahkota Kerajaan Pangeran Mohammad bin Nayef dipaksa lepaskan jabatan.
Penulis: Setya Krisna Sumarga
TRIBUNNEWS.COM, LONDON – Media ternama Inggris, The Guardian, mempublikasikan laporan panjang apa yang mereka sebut kudeta tahta istana Saudi Arabia pada 20 Juni 2017.
Laporan itu disusun wartawan The Guardian, Anuj Chopra, dan tayang di situs Guardian.co.uk pada 29 November 2022.
Bercerita tentang upaya sukses Pangeran Mohammad bin Salman merebut kursi putra mahkota Kerajaan Saudi, dari tangan Pangeran Muhammad bin Nayef bin Abdul Aziz al Saud.
Peristiwa Juni 2017 yang disusul serangkaian peristiwa-peristiwa berikutnya, mengingatkan kembali krisis hebat yang pernah menerpa Arab Saudi pada 1979.
Yaroslav Trofimov secara apik menuliskan kisah rahasia di tanah suci Mekkah, yaitu krisis di tempat paling suci bagi umat Islam pada 20 November 1979.
Lewat buku berjudul “Kudeta Mekkah ”, pria kelahiran Kiev, Ukraina itu menguak aksi teroris yang berupaya mengkudeta kerajaan Arab Saudi.
Butuh waktu 30 tahun bagi Trofimov, jurnalis The Wall Street Journal, untuk merangkai serpih demi serpih babak paling panas dari nyaris goyahnya bani Saud di tanah Hijaz.
Sekelompok orang bersenjata dipimpin Juhaiman Saif al-Utaibi, tiba-tiba merangsek dan menguasai Masjidil Haram.
Pemerintah Saudi tak mampu mengatasi krisis yang diinisiasi mantan kopral Angkatan Bersenjata Kerajaan Saudi itu. Mereka mendatangkan bala bantuan pasukan rahasia dari AS dan Eropa.
Pasukan khusus Prancis jadi pilihan, dan pemerintah Saudi merahasiakan cara mereka mendatangkan orang-orang yang seharusnya haram menginjak tanah Mekkah.
Pemberontakan akhirnya bisa diatasi, meninggalkan jejak hilangnya ratusan nyawa di Masjidil Haram.
Juhaiman Saif al-Utaibi angkat senjata dan berusaha menguasai Masjidil Haram, konon karena jengah atas korupsi yang dilakukan elite-elite kerajaan.
Kudeta di Mekkah pada 1979 ini kelak akan diingat sebagai penanda awal kebangkitan radikalis dan Islamis Arab Saudi, hingga munculnya Al Qaeda yang didirikan Usamah bin Laden.
Kisah Tegang di Istana Mekkah
Kini 43 tahun kemudian terkuak krisis tak kalah hebat di elite kerajaan Saudi. Perebutan kekuasaan di antara keturunan bani Saud, yang sedikit banyak mengubah arah masa depan Arab Saudi.
Pemenangnya sementara ini sangat berkuasa: Pangeran Mohammad bin Salman atau yang popular disebut Pangeran MBS.
Dia putra Raja Salman bin Abdul Aziz, yang kini berusia lebih dari 80 tahun. Sekalipun ayahnya adalah raja, de facto kekuasaan Arab Saudi sudah di tangan Pangeran MBS.
Dalam laporannya di The Guardian, Anuj Chopra memulai ceritanya lewat kalimat-kalimat deskriptif, menggambarkan detik-detik ketika Pangeran Mohammad bin Nayef dilucuti di Istana Mekkah.
Saat itu 20 Juni 2017, dan sehari sebelumnya Pangeran Nayef masih berstatus putra mahkota, yang akan menggantikan Raja Salman jika mangkat.
Pangeran Nayef kala itu ditahan sepanjang malam. Saat fajar menyingsing, 20 Juni 2017, dia terhuyung-huyung keluar dari Istana Raja Saudi di Mekkah.
Pengawal pribadinya, yang selama ini mengikutiya ke mana-mana telah menghilang. Nayef diantarkan ke mobil yang menunggu, oleh pengawal baru.
Dia bebas untuk pergi, tetapi dia akan segera menemukan kebebasan tidak jauh berbeda dengan penahanan.
Saat mobilnya keluar dari gerbang istana, Pangeran Mohammed bin Nayef mengirim serangkaian pesan teks panik ke orang kepercayaannya.
"Berhati-hatilah! Jangan kembali!” dia menulis kepada penasihatnya yang paling tepercaya, yang diam-diam menyelinap keluar dari kerajaan beberapa minggu sebelumnya.
Ketika Nayef sampai di istananya sendiri di kota pesisir Jeddah beberapa jam kemudian, dia kembali menemukan penjaga baru yang menjaga properti itu.
Tahanan Rumah di Jeddah
Semakin jelas ia kini ditempatkan di bawah tahanan rumah.
“Semoga Tuhan membantu kita, dokter. Yang penting adalah Anda harus berhati-hati, dan dalam keadaan apa pun Anda tidak boleh kembali,” tulisnya kepada sang penasihat yang ia sangat percaya.
Malam sebelumnya, 20 Juni 2017, keponakan Raja Salman ini dipaksa mundur sebagai pewaris takhta Saudi.
Seorang sumber di dalam kerajaan memberi istilah episode "Ayah baptis gaya Saudi". Pangeran Nayef ini sejak lama dikenal sebagai jenderal kampiun yang mengawasi keamanan dalam negeri.
Dia sekutu terdekat CIA di Saudi. Awal tahun itu, Direktur CIA saat itu Mike Pompeo memberinya medali atas upaya kontra-terorisme yang menyelamatkan nyawa orang Amerika.
Dua tahun sebelumnya, setelah Raja Salman memulai pemerintahannya, Nayef diangkat menjadi putra mahkota pada usia 55 tahun, menempatkannya di urutan berikutnya di atas takhta.
Namun di balik layar muncul persaingan sengit antara Pangeran Nayef dan sepupunya yang masih sangat muda, Mohammed bin Salman, yang tak lain putra Raja Salman.
MBS saat itu sudah berstatus Wakil Putra Mahkota Saudi, posisi yang tidak begitu jelas, dan hanya semacam jadi kosmetika tradisi.
Sesaat sebelum kudeta istana, pada 5 Juni 2017, ketegangan antara para pangeran mencapai titik didih setelah MBS dan otokrat regional lainnya memberlakukan sanksi blokade ke Qatar.
Emirat kecil yang kaya gas itu telah lama membuat marah tetangga-tetangga Arabnya yang lebih besar dengan langkah-langkah provokatifnya.
Qatar dianggap jadi corong para Islamis regional dan para pembangkang lewat jaringan media dan televisi Al Jazeera. Kerajaan Saudi sangat cemas atas kebangkitan para Islamis ini.
Arab Spring yang dimotori kaum Islamis ini terbukti menjungkalkan kekuasaan para elite di jazirah Arab dan Afrika Utara.
Pangeran Nayef sesungguhnya juga punya masalah dengan Qatar, tetapi dia lebih memilih diplomasi diam-diam daripada pendekatan agresif ala MBS.
Di belakang punggung sepupunya, Nayef membuka saluran rahasia dengan penguasa Qatar Tamim bin Hamad al-Thani.
"Tamim menelepon saya hari ini, tetapi saya tidak menjawab," tulis Nayef di pesan pendek yang dikirim ke penasihatnya di puncak krisis.
"Saya ingin mengiriminya telepon terenkripsi untuk komunikasi," tambahnya, seperti sudah khawatir alat komunikasinya telah disadap.
Pada 20 Juni 2017, di tengah krisis itu, Pangeran Nayef dipanggil untuk pertemuan di Istana Raja Salman di Mekkah.
Ini bangunan raksasa berdinding marmer yang menghadap ke Ka’bah, bangunan berbentuk kubus, pusat tempat suci paling suci dalam Islam.
Menurut sumber yang dekat dengan Nayef, saat tiba di lokasi pertemuan, pengawalnya diperintahkan menunggu di luar.
Untuk mencegah kebocoran, semua telepon seluler, termasuk milik pegawai istana, disita penjaga setia Pangeran MBS.
Salah seorang anggota senior keluarga kerajaan, yang mencoba memasuki istana setelah Nayef, ditolak di gerbang.
Dipaksa Sumpah Setia
Sang pangeran diduga diantar secara kasar ke sebuah ruangan oleh Turki al-Sheikh, orang yang paling dipercaya Pangeran MBS.
Kelak sesudah momen ini, Turki al-Sheikh dipromosikan untuk mengepalai Otoritas Hiburan Umum, agensi yang berupaya melunakkan citra Arab Saudi.
Sheikh malam itu diduga mengurung Nayef di kamar selama berjam-jam, menekannya untuk menandatangani surat pengunduran diri dan berjanji setia kepada MBS.
Awalnya, Nayef menolak. Menurut salah satu sumber yang dekat dengan sang pangeran, dia diberitahu jika dia tidak menyerahkan klaimnya atas takhta, anggota keluarga perempuannya akan diperkosa.
Lalu pengobatan Nayef untuk masalah hipertensi dan diabetes ditahan, dan dia diberi tahu jika dia tidak mundur sukarela, tujuan berikutnya adalah rumah sakit.
Dia sangat takut diracun malam itu, kata sumber keluarga kerajaan lainnya, sehingga dia bahkan menolak minum air.
Nayef lalu diizinkan berbicara dengan dua pangeran di Dewan Kesetiaan, badan kerajaan yang meratifikasi garis suksesi.
Dia kaget mendengar mereka sudah mengajukan sumpah setia ke MBS. Menjelang fajar, semuanya berakhir.
Cemas dan lelah, Nayef menyerah. Dia disuruh masuk ke kamar sebelah, tempat Pangeran MBS menunggu dengan kamera televisi dan seorang penjaga bersenjata.
Rekaman video yang dirilis penyiar Saudi menunjukkan sekilas Turki al-Syekh tergesa-gesa memasangkan jubah berpotongan emas di punggung Pangeran Nayef.
Saat kamera berputar, Pangeran MBS mendekati sepupunya dan secara teatrikal membungkuk untuk mencium tangan dan lututnya.
"Ketika saya berjanji setia, ada senjata di punggung saya," tulis Nayef kemudian dalam sebuah teks kepada penasihatnya.
Pada hari-hari berikutnya, poster Nayef disingkirkan dari gedung-gedung publik. Kudeta atas posisi Putra Mahkota selesai hari itu.
Pangeran MBS berada di urutan pertama takhta, dan secara efektif orang paling berkuasa di negara itu pada usia 31 tahun.
Raja Salman tetap menjadi kepala negara, tetapi MBS menjadi penguasa sehari-hari, dengan kendali mutlak atas semua tuas keamanan Saudi, ekonomi dan minyaknya.
Pangeran Nayef, kesayangan intelijen AS, yang mengira dia akan menjadi penguasa Arab Saudi berikutnya, menjadi tawanan.
Tapi baginya, yang lebih buruk akan datang. Tak hanya nasib Pangeran Nayef, tangan kanannya pun jadi buron utama kerajaan.(Tribunnews.com/Guardian/xna)
KISAH BERIKUTNYA : "Said al-Jabri, Tangan Kanan Pangeran Nayef yang Kini Diburu Tim Harimau Saudi"