Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Menteri Keuangan Jadi Beban Rakyat?
Menteri Keuangan sibuk mengurusi yang kecil, yang printil, tapi menghindari yang besar dan strategis. Akhirnya malah jadi beban bagi rakyat banyak.
Editor: cecep burdansyah
Oleh Tri Wibowo Santoso
Eks Ketua Poros Wartawan Jakarta (PWJ)
KEWAJIBAN seorang pemimpin adalah mensejahterakan rakyat yang dipimpinnya. Bila rakyat masih susah, jangan tambah dipersulit hidup mereka, itulah pemimpin yang baik. Maka pemimpin selayaknya mengangkat pembantu yang paling kompeten untuk menyejahterakan rakyat. Bukan malah sebaliknya, pembantunya jadi beban rakyat.
Namun, apa daya. Kehidupan ekonomi rakyat kini makin susah, terbebani kesulitan ekonomi. Ekonom senior Burhanuddin Abdullah, di channel youtube beberapa hari lalu (8/1), mengungkapkan bahwa ketimpangan pendapatan masyarakat Indonesia saat ini semakin buruk. Kata mantan Gubernur Bank Indonesia tersebut, saat ini yang miskin tambah miskin, yang kaya bertambah kaya.
Akhirnya rakyat hanya mengingat bahwa pemimpin yang sekarang ini tidak berhasil menyejahterakan mereka. Apapun niat dan inisiatif baik sang pemimpin, kondisi kehidupan rakyat ternyata belum terlalu meningkat kualitasnya. Reputasi sang pemimpin pun jadi kurang baik.
Salah satu cara Negara hanya bisa meningkatkan pelayanan bagi masyarakat, meningkatkan kesejahteraan rakyat, adalah bila anggaran tersedia cukup. Program-program kesejahteraan memerlukan biaya, dan kapasitas anggaran kita (ruang fiskal) sangat sempit. Sederhananya, anggaran cekak.
Hal ini terjadi karena terlalu banyak anggaran Pemerintah yang tersedot untuk membayar utang, terutama untuk bunganya yang terus membengkak. Sangat signifikan selama periode pemerintahan Jokowi, tahun 2023 sudah menembus Rp 440 triliun. Ditambahkan dengan pembayaran cicilan pokok utang yang besarnya juga Rp 400-an triliun, maka total kewajiban tahun ini untuk mengurusi utang (debt service) sudah mencapai Rp 880 triliun.
Bila dibandingkan dengan penerimaan pajak tahun 2022 (Rp 1.634 triliun), beban bunga utang tersebut lebih dari setengahnya. Sementara Menteri Keuangan tidak berbuat apa-apa untuk mengurangi beban bunga utang yang semakin menggunung tersebut. Opsi-opsi alternatif semacam debt swap atau debt to nature swap untuk mengurangi beban utang juga tidak banyak dikerjakan.
Dalam mengatasi krisis akibat pandemi Covid-19 selama 2,5 tahun terakhir, Menteri Keuangan tidak banyak berbuat. Bank Indonesia-lah yang banyak mengambil resiko dengan lebih banyak melakukan pencetakan uang (quantitative easing). Di tengah pencetakan uang yang masif, tapi inflasi yang terjaga di kisaran 5 persen (meskipun inflasi pangan di atas 10 persen) murni adalah keberhasilan Bank Indonesia.
Sementara Menteri Keuangan malah sibuk mempermiskin petani, kaum soko guru bangsa. Dengan mencabut subsidi pupuk di anggaran belanja negara, maka petani Indonesia mutlak akan menjadi miskin. Dengan dicabutnya subisidi, maka petani harus beralih dari pupuk subsidi ke pupuk komersil yang mengikuti harga pasar. Sementara harga pupuk di pasar, dua kali lipat pupuk subisidi. Akhirnya, biaya produksi petani menjadi terlalu besar, tidak cukup dengan harga jual gabah, sehingga keuntungan makin tipis atau bahkan buntung.
Menteri Keuangan pun tidak berbuat apa-apa untuk memperbaiki struktur kredit kita yang timpang. Sebanyak 81 persen kredit kita mengalir ke ratusan korporasi besar dan BUMN saja, sementara hanya 18 persen yang mengalir ke UMKM. Padahal sektor UMKM adalah tempat 97 persen total tenaga kerja nasional bekerja. Ketimpangan kredit inilah yang menjadi pangkal dari ketimpangan pendapatan rakyat yang disampaikan ekonom Burhanuddin Abdullah di channel youtube pada 8 Januari 2023.
Menteri Keuangan tidak berbuat apa-apa untuk meningkatkan rasio pajak Indonesia. Rasio penerimaan pajak (tax ratio) Indonesia saat ini 9,1 persen termasuk yang terendah di Asia Pasifik (rata-rata tax ratio 19,1 persen). Akhirnya kita semua seperti di “fait-accompli”, karena tidak ada penerimaan pajak yang signifikan, akhirnya tidak ada pilihan lain selain berutang dan berutang terus. Opsi untuk berutang lebih banyak disebabkan ketidakmampuan pemerintah menarik pajak dari perekonomian secara adil.
Tidak adil karena perusahaan besar dan orang kaya seringkali dibebaskan dari kewajiban pajaknya: diberi tax amnesti sampai dua kali, dibebaskan dari kewajiban royalti batubara dengan alasan menarik investasi, pajak capital gain yang sangat kecil, dan seterusnya. Sementara rakyat kelas bawah terus ditekan. Menteri Keuangan terus membebani kehidupan ekonomi rakyat dengan sibuk menaikkan PPN, mencabut subsidi energi, memajaki barang dan jasa milik rakyat yang nilainya kecil.
Menteri Keuangan sibuk mengurusi yang kecil, yang printil, tapi menghindari yang besar dan strategis. Akhirnya malah jadi beban bagi rakyat banyak.*