Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Apapun yang Terjadi, Nahdliyyin Tetap Wajib Bayar Pajak
Masalah pajak dalam agama Islam memiliki term khusus, yaitu “Dharibah”. Secara bahasa, Dharibah adalah harta (uang) pendapatan negara.
Editor: Husein Sanusi
Apapun yang Terjadi, Nahdliyyin Tetap Wajib Bayar Pajak
Oleh: KH. Imam Jazuli, Lc. MA.*
TRIBUNNEWS.COM - Seperti tiga belas tahun yang lalu, 2010, wacana pajak kembali viral belakangan ini. Pemerintah semakin kehilangan kepercayaan warga. Seakan-akan, pajak yang telah disetorkan tidak digunakan untuk kepentingan umum.
Saat itu, pelakunya adalah Gayus Halomoan Pertahanan Tambunan, seorang direktur pajak yang dipenjara karena korupsi.
Kepercayaan warga yang merosot drastis kepada kejujuran pemerintah diiringi oleh fatwa tokoh nasional, KH. Said Aqil Siradj (Mantan Ketum PBNU).
³Kiai Said mengeluarkan ultimatum kepada pemerintah, bahwa jika pendapatan negara dari pajak tidak dimanfaatkan secara benar, maka warga Nahdlatul Ulama (Nahdliyyin) tidak perlu bayar pajak lagi.
Bagi sebagian tokoh, seperti Eko Listiyanto (Ekonom Institute for Development of Economics and Finance/INDEF), ultimatum Kiai Said Aqil Siradj adalah peringatan keras. Pemerintah harus memperbaiki institusi perpajakan dengan lebih serius. Jika tidak, maka penanganan kemiskinan, ketimpangan, pendidikan anak tidak mampu, dan kesehatan akan berantakan.
Masalah pajak dalam agama Islam memiliki term khusus, yaitu “Dharibah”. Secara bahasa, Dharibah adalah harta (uang) pendapatan negara yang bersumber dari individu maupun lembaga dengan tujuan mendanai semua belanja negara. Jadi, pajak adalah pendanaan seluruh pekerjaan negara.
Abdus Sami' Mishri (1972: 123) dalam kitabnya “Nazhariyyah al-Islam al-Iqtishadiyyah” juga mengatakan hal yang sama, bahwa sejak awal penetapan syariat agama tentang pajak di dunia Islam bertujuan menjadikan beban hidup orang fakir-miskin sebagai tanggung jawab negara, dan pajak ini merupakan kewajiban untuk mewujudkan tujuan tersebut.
Mengingat pajak sebagai kewajiban dari agama, maka umat muslim manapun khususnya Nahdliyyin mau tidak mau harus membayar pajak sebagai bentuk mengamalkan ajaran agama. Pajak tidak lagi berhubungan dengan basis-basis nilai sekuler, melainkan semata-mata perintah Tuhan. Membayar pajak kepada negara sepenuhnya merupakan ibadah.
Seandainya pemerintah sebagai pihak pengumpul pajak tidak amanah, apakah lantas ibadah membayar pajak ini menjadi gugur? Apakah boleh tidak membayar pajak, ketika distribusi pajak diselewengkan oleh pemerintah? Tentu saja ini merupakan masalah fikih politik, yang belum sepenuhnya dibahas dalam kitab-kitab kuning pondok pesantren. Namun, bukan berarti tidak mungkin mencari jawabannya.
Pertama sekali kita bisa melihat pandangan Zainul Abidin Al-Amidi dalam kitabnya "Al-Fatawa Al-Amidiyah" (Jilid 2, 2012: 136). Al-Amidi mengajukan pertanyaan nomor 1317: "apakah boleh taharrub (melarikan diri) tidak membayar pajak penghasilan atau tidak?"
Al-Amidi memberikan jawabannya dengan mengutup pendapat Musthafa Az-Zarqa: "segala macam pajak (al-Dharaib) yang diambil dari tempatnya dan didistribusikan secara syar'i maka tidak boleh taharrub, karena hal itu berdampak darurat pada operasi negara dan membantu warga"..
Seandainya, ada sebagian pendapatan negara dari pajak diselewengkan namun sebagian besarnya digunakan untuk kepentingan rakyat, bagaimana hukum tidak membayar pajak? Untuk menjawab pertanyaan ini kita bisa merujuk pada pandangan yang disampaikan oleh Basyar Husain al-'Ajl dala kitabnya "Al-Kharaj wa Al-Dharibah Al-Mu'ashirah fi Al-Fiqh al-Islamiy: Dirasah Muqaranah" (2017: 259-260).