Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Netralitas Aparatur Sipil Negara dalam Pelaksanaan Pemilu
Persoalan netralitas ASN dalam Pemilu tidak hanya baru-baru ini menjadi perdebatan. Sejak era Orde Baru pun sudah berulang kali menjadi sorotan publik
Editor: Daryono
Oleh: Syahdani Pratama, Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) Purwodadi, Kabupaten Grobogan periode 2018-2019
TRIBUNNEWS.COM - Pemilihan umum merupakan elemen penting dalam konstitusi sebagai pengejawantahan kedaulatan yang berada di tangan rakyat, yang berarti negara menganut asas kedaulatan rakyat atau prinsip demokrasi. Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut undang-undang dasar.
Salah satu wujud nyatanya yaitu dalam hal pemilu, baik untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), maupun untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden secara langsung oleh rakyat yang dilaksanakan menurut undang-undang.
Persoalan netralitas ASN dalam Pemilu tidak hanya baru-baru ini menjadi perdebatan. Sejak era Orde Baru pun sudah berulang kali menjadi sorotan publik. Birokrasi pemerintah digunakan sebagai alat politik utama dari partai pemerintah yang berkuasa mengurangi orientasinya terhadap pengabdian umum dan pelayanan publik. Birokrasi bukan lagi sebagai public servant yang melakukan public service, melainkan menjadi bagian utama dari penguasa dan kekuasaan politik.
Sebenarnya dalam perundang-undangan di bidang politik maupun kepegawaian negeri pada saat itu, tidak secara jelas dicantumkan keterkaitan birokrasi pemerintah sebagai alat politik (political tools) dari partai pemerintah, baik dalam kelima Undang-Undang Politik, yaitu Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1985 tentang Pemilihan Umum; Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1985 tentang Susunan dan Kedudukan MPR/DPR; Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1985 tentang partai Politik / Golkar; Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan; dan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1985 tentang Referendum.
Begitu pula dengan perundang-undangan kepegawaian negeri sipil, yaitu Undang-Undang Nomor 8. Tahun 1974 tentang Kepegawaian Negeri dan Keputusan-Keputusan Presiden mengenai KORPRI. Akan tetapi, fakta sejarah yang ada membuktikan terdapat sebuah gerakan manipulasi riil politik yang memihak, sehingga menyebabkan suatu ketidakadilan politik.
Pemerintah menggunakan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1985 tentang Partai Politik / Golkar yang menyebutkan bahwa “Pegawai Negeri Sipil dapat menjadi anggota partai politik dan Golongan Karya dengan sepengetahuan atau izin tertulis dari pejabat yang berwenang.” Nomenklatur sepengetahuan atau izin tertulis dari pejabat yang berwenang ini kemudian menyebabkan pegawai negeri sipil pada umumnya menerima kooptasi untuk bisa tetap berfungsi dalam kekaryaannya dan tentunya untuk bisa tetap bertahan hidup. Hal ini merupakan salah satu bentuk nyata adanya sebuah manipulasi terhadap birokrasi dalam era Orde Baru.
Retorika rezim soal netralitas birokrasi sebenarnya sudah sering disampaikan kepada publik bahkan sebelum reformasi. Para penguasa Orde Baru berpikiran agar birokrasi dapat bekerja lebih baik maka lembaga itu harus dihindarkan dari pengotak-kotakan dukungan politik. Pada masa itu pun kemudian diatur pegawai negeri harus memiliki monoloyalitas kepada pemerintah.
Konsep monoloyalitas yang diperkenalkan oleh Jenderal Amir Machmud sebagai Menteri Dalam Negeri pada saat Orde Baru bertujuan untuk menghindarkan konflik apapun dalam birokrasi berdasarkan perbedaan ideologi. Untuk itu, pemerintah Orde Baru dengan inisiatifnya memperkuat l'esprit de corps di kalangan pegawai negeri. Meskipun konsep ini tidak secara tegas melarang pegawai negeri untuk menjadi anggota partai politik tertentu, saat itu konsep monoloyalitas tetap berdampak bagi psikologis pegawai negeri. Hal ini karena pegawai negeri yang diorganisir oleh Korpri secara tidak langsung menjadi anggota Golkar, apalagi Korpri itu merupakan salah satu pilar penyangga Golkar. Selain itu, untuk memantau keterkaitan pegawai negeri itu dengan afilisasi partai politiknya, diatur pula bahwa pegawai negeri harus mempunyai izin dari atasan mereka jika dirinya ingin menjadi anggota partai politik dan kelompok fungsional.
Pasca runtuhnya kekuasaan Soeharto dan rezim Orde Baru, masalah netralitas birokrasi dari politik juga masih menjadi persoalan pelik yang terus dibahas. Salah satu wujud perubahan yang cepat dilakukan pada era reformasi dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 sebagai perubahan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian. Dalam undang-undang itu, untuk menjaga netralitasnya, pegawai negeri dilarang menjadi anggota dan aktif dalam partai tertentu. Pegawai negeri masih diberikan kebebasan untuk menggunakan hak pilihnya. Namun demikian, terdapat pembatasan seperti larangan penggunaan simbol-simbol dan fasilitas pegawai negeri dalam kegiatan perpolitikan, seperti dilarang mengikuti kampanye partai politik ketika masih menggunakan atribut pegawai negeri. Selain itu, dalam hal pegawai negeri hendak mengajukan diri menjadi calon juga diwajibkan mengundurkan diri dari jabatan struktural yang dimilikinya.
Di era reformasi pun, persoalan netralitas masih kontras terjadi di berbagai daerah. Beberapa kasus netralitas ASN yang mencuat di antaranya dalam Pemilihan Bupati Pamekasan Tahun 2012. Saat itu, praktik intervensi birokrasi terhadap kerja KPU di daerah oleh petahana pernah dilakukan pada tahun 2012. KPU Pamekasan saat itu dianggap tidak tidak profesional dan bertindak partisan karena tidak meloloskan salah satu pasangan pilkada Kabupaten Pamekasan, yaitu Achmad Syafii dan Halil yang disebabkan karena adanya surat pernyataan Kepala Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil bahwa KTP Halil diterbitkan secara tidak profesional. Akibatnya, semua anggota KPU Pamekasan pada saat itu diberhentikan secara tetap oleh Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu. Ketua dan anggota KPU Pamekasan dinilai tidak profesional, cacat hukum, berpihak, dan melanggar asas tertib dan kepastian hukum dalam penetapan calon peserta pilkada Kabupaten Pamekasan.
Terbaru, praktik intervensi birokrasi terjadi dalam Pilkada serentak tahun 2017. Di Brebes, Panwaslu menemukan seorang oknum pejabat di jajaran Pemkab Brebes yang terlibat kampanye salah satu pasangan calon bupati dan wakil bupati. Meskipun demikian, sebagai manusia yang telah dijamin hak politiknya dalam konstitusi, ASN juga tetap diperbolehkan berpartisipasi dalam Pemilu yang akan datang untuk memilih. Masih bisa dapat menghadiri kampanye calon presiden dan wakil Presiden pada saat hari libur untuk mendengarkan visi misi. Namun, hal itu harus dilaksanakan tidak pada saat jam kerja dan tidak menggunakan atribut PNS karena status PNS itu melekat. Komisi Aparatur Sipil Negara pun menyatakan bahwa hukuman bagi aparatur sipil negara pasca pengaturan Undang-Undang Aparatur Sipil Negara, bukan sebatas teguran seperti masa sebelumnya, tetapi bisa berimbas pada pemecatan.
Keterlibatan ASN dalam pemilu maupun pilkada, ternyata tidak selalu didasarkan kehendak pribadi, melainkan ada pula yang diikutsertakan karena diancam. Berdasarkan catatan Bawaslu pada pelaksanaan pilkada tahun 2017, setidaknya terdapat 52 laporan hasil pengawasan ketidaknetralan ASN di 52 kabupten/kota dari 101 daerah yang menyelenggarakan pilkada serentak pada tahun 2017. Sedangkan pada tahun 2018 bahkan jumlah laporan meningkat pesat. Dari 171 daerah yang melaksanakan pilkada, terdapat setidaknya 491 laporan pengaduan pelanggaran netralitas ASN.
Bentuk pelanggaran yang seringkali dilakukan antara lain memakai anggaran pemerintah daerah untuk kampanye terselubung, terlibat langsung atau tidak langsung dalam kampanye pasangan calon, terlibat dalam memfasilitas pasangan calon dengan memberikan fasilitas seperti memasang baliho atau spanduk.
Berkaca dari paparan di atas, penting untuk terus meningkatkan kesadaran ASN agar bersikap netral dalam Pemilu 2024 mendatang mengingat potensi-potensi pelanggaran netralitas ASN masih kerap terjadi. (*)