Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Skenario Konflik Sesudah Serbuan Hamas 7 Oktober 2023
Potensi front perang baru selain Jalur Gaza ada di perbatasan Israel-Lebanon, Israel-Suriah di Golan, dan wilayah Tepi Barat.
Editor: Setya Krisna Sumarga

TRIBUNNEWS.COM, YOGYA – Militer Israel nyaris tanpa henti selama 24 jam membombardir sasaran-sasaran di Jalur Gaza.
Gedung-gedung tinggi yang disebut jadi tempat persembunyian kelompok Hamas dirobohkan menggunakan bom pembongkar bunker.
Pemandangan gedung-gedung tinggi runtuh seperti rumah kertas, nyaris jadi pemandangan harian di Jalur Gaza.
Hasilnya memang kehancuran dan kengerian yang sulit dipercaya. Bombardemen itu juga menimbulkan korban jiwa begitu banyak di kalangan warga sipil Palestina.
Bayi, anak-anak, perempuan, orang lanjut usia, paramedis, jurnalis, bergelimpangan tak bernyawa. Korban jiwa di Palestina, terutama Jalur Gaza, sudah melewati angka 2.000 orang.
Kini, tidak ada satu jengkal pun wilayah di Gaza yang aman. Setiap saat dan kapanpun bom Israel bisa mengubur penduduk Gaza.
Baca juga: Skenario Terburuk, Jalur Gaza Jatuh ke Tangan Israel
Baca juga: Serangan Hamas Jadi Petaka Besar buat Jalur Gaza
Kemarahan Israel tampak begitu luar biasa sesudah Hamas menggempur masuk wilayah Israel pada 7 Oktober 2023.
Mereka meluapkan lewat serangan udara bertubi-tubi ke Jalur Gaza, yang belum pernah terjadi sejak negara itu berdiri pada 1948.
Di darat, militer Israel menyiagakan 350.000 tentara dan pasukan cadangan baik di perbatasan Gaza maupun Tepi Barat dan perbatasan Israel-Lebanon dan Israel-Suriah.
Invasi darat tinggal menunggu hari. Ribuan tank, ranpur lapis baja, artileri, dan peralatan pendukungnya menunggu perintah serbu.
Israel menetapkan target memusnahkan Hamas selamanya, lewat jalan menguasai Jalur Gaza yang selama ini dikontrol kelompok itu.
Langkah pertama selain serangan balasan udara, Israel menghentikan secara total pasokan listrik, air, akses logistik pangan dan medis ke Gaza.

Nah, melihat situasi ini, seperti apa skema konflik berikutnya jika invasi darat, laut, dan udara dilakukan Israel ke Gaza?
Dilihat dari indikasinya, terjadi aksi-aksi sporadis di perbatasan Israel-Lebanon. Kelompok Hezbollah Lebanon menembakkan roket ke wilayah Israel.
Aksi itu dibalas serangan artileri pasukan Israel ke wilayah Lebanon. Mobilisasi peralatan tempur juga terlihat di sepanjang garis perbatasan yang dijaga pasukan PBB.
Sementara di Tepi Barat, bentrokan yang menewaskan warga Palestina terjadi di Hebron dan beberapa permukiman lain yang kini diblokade.
Di perbatasan Israell-Suriah, belum ada perkembangan signifikan. Namun jet-jet tempur Israel membombardir target di dekat Bandara Damaskus dan Aleppo di Suriah.
Pengeboman itu terjadi beriringan kedatangan Menlu Iran Hossein Amir Abdoulahian ke Damaskus, yang selanjutnya bergerak lewat darat ke Beirut, Lebanon.
Di perbatasan Israel-Mesir dan Jalur-Gaza-Mesir, juga belum ada pergerakan militer signifikan. Mesir-Israel terikat perjanjian damai dan memiliki hubungan diplomatik.
Begitu pula di perbatasan Israel-Yordania. Relatif stabil, dan riwayatnya memang belum pernah ada konflik signifikan di perbatasan kedua negara ini.
Melihat tanda-tanda lapangan seperti ini, potensi atau skema konflik terbuka di darat masih akan terfokus di Jalur Gaza dan Sebagian Tepi Barat.
Presiden Iran Ebrahim Raisi sudah berbicara dengan Pangeran Mohammad bin Salman dari Saudi Arabia.
Sementara Menlu AS Antony Blinken menemui Raja Husein di Amman, Yordania, setelah bertemu elite pemimpin Israel di Yerusalem.
Upaya diplomatik pemimpin negara-negara penting ini menunjukkan ada usaha untuk meredam peperangan tidak tereskalasi ke kawasan lebih besar.
Gedung Putih pun sudah menyatakan tidak akan terlibat langsung dalam perang darat antara Israel dan kelompok Hamas.
Namun Pentagon menempatkan armada kapal induk USS Ferard Ford di Laut Tengah. Tidak ada penjelasan spesifik apakah pasukan khusus AS akan dilibatkan dalam pembebasan sandera di Gaza.
Peluang munculnya front pertempuran baru di perbatasa Israel-Lebaon mungkin lebih besar, mengingat kemampuan militer kelompok Hezbollah Lebanon.
Namun ini akan sangat tergantung bagaimana sikap dan keputusan Iran. Pertemuan Menlu Iran ke Beirut kemungkinan hendak mengukur situasi Lebanon.
Sebab, Hezbollah Lebanon hanya satu di antara banyak faksi atau kekuatan politik yang punya peran penting di Lebanon.
Jika pemerintah Lebanon menolak terlibat, kemungkinan besar Iran akan mengerem partisipasi dan dukungan langsung ke Hezbollah Lebanon untuk membuka front tempur baru di utara.
Apakah opsi lain Iran akan melibatkan diri terjun langsung ke peperangan? Kecil kemungkinannya, mengingat efek dan kerugian besar yang bisa diderita Iran yang sedang tumbuh.
Begitu pula di perbatasan Israe-Suriah di dataran tinggi Golan. Semua akan tergantung sikap dan keputusan Iran, dan tentu saja pemerintah Suriah di Damaskus.
Bagaimana dengan sikap Arab Saudi? Meski belakangan agak renggang dengan Washington, Arab Saudi tetap menjadi sekutu penting Washington di Timur Tengah.
Arab Saudi dan juga Emirat Arab, saat ini terlihat semakin fokus membangun ekonomi negaranya, dan mulai enggan terlibat lebih jauh dalam perang tak berkesudahan di Suriah dan Yaman.
Pangeran MBS sebagai penguasa de facto Kerajaan Saudi akan memilih jalan aman, tidak terlibat terlampau jauh di konflik Israel-Hamas.
Apalagi secara ideologis, Hamas yang mewarisi doktrin Ikhwanul Muslimin dianggap, membahayakan eksistensi bani Saud dan kerajaan.

Bagaimana Mesir? Karena terikat perjanjian damai dengan Israel, Kairo tidak akan pernah macam-macam, apalagi memberi dukungan militer ke Hamas.
Sebagai satu-satunya negara yang memiliki perbatasan langsung dengan Israel dan Jalur Gaza, Mesir kemungkinan akan lebih banyak membantu secara kemanusiaan.
AS, Israel dan Mesir pun telah berkomunikasi guna mengelola jalur keluar dari Gaza ke wilayah Mesir via Rafah.
Israel telah memperingatkan dan meminta warga Gaza untuk meninggalkan wilayah itu jelang invasi darat. Sudah cukup banyak yang keluar dan masuk ke wilayah Mesir.
Masalahnya, seberapa banyak Mesir sanggup menampung kehadiran pengungsi dari Gaza? Serta seberapa lama mereka akan berdiam di wilayah Mesir?
Mesir juga berhitung tidak ingin wilayahnya dijadikan pangkalan kelompok yang berkonfrontasi dengan Israel dan kelak memicu perang perbatasan.
Ini persoalan rumit yang tidak mungkin dipecahkan Mesir sendirian. Bagi penduduk Gaza, eksodus ke Mesir mungkin opsi paling logis dan aman.
Tapi bagaimana dengan masa depan mereka? Kebanyakan penduduk Gaza khawatir, setelah keluar, mereka tidak bisa balik lagi ke Gaza.
Situasi di Palestina, terutama Jalur Gaza pasca serbuan Hamas 7 Oktober 2023 ke wilayah Israel memang melahirkan tragedy kemanusiaan baru.
Sesuatu yang tidak pernah terbayangkan, dan belum pernah terjadi sebelumnya akan menimpa Jalur Gaza.
Israel, walau berpuluh-puluh tahun melakukan opresi, persekusi, okupasi wilayah, bahkan genosida perlahan terhadap penduduk Palestina, telah memilih jalannya.
Korban jiwa begitu banyak akibat serangan Hamas, dan narasi kengerian yang diciptakan, melahirkan ‘legitimasi kuat’ bagi Israel untuk memusnahkan Hamas dan merebut Jalur Gaza.(Setya Krisna Sumarga/Editor Senior Tribun Network)


Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.