Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Buntut Terbongkarnya Kasus Match Fixing Liga-2, Tahun 2018: Duh, Kok Gak Kapok ya?
Kasus match fixing dalam dunia sepakbola memang bukan barang baru. Bahkan, kasus atur-mengatur skor juga tidak hanya terjadi di sepakbola lokal.
Editor: Toni Bramantoro
Hasil laga Galatam periode 1980-86, saya sudah tahu beberapa jam sebelum laga. Dari info yang saya peroleh, di atas 80 persen, benar. Malah gawatnya, klub mana yang akan juara, saya pun sudah diberi tahu.
Begitu juga Perserikatan. Turnamen antar pengda (asprov, saat ini) yang oleh PSSI disebut kompetisi pun demikian. Semua sudah tidak murni.
Tahun 1987, para bandar hengkang. Salah seorang dari mereka menegaskan: "Kapok gua!"
Lho? Dari penelusuran, akhirnya saya dapati, saat itu banyak pemain yang sudah lebih lihai dari para bandar. Mereka tidak lagi bisa diatur oleh satu bandar. Seorang pemain dan wasit, serta asisten wasit (hakim garis, dulu) bisa menerima order lebih dari tiga bandar. Uang mereka ambil semua, pembayar terbesarlah yang mereka turuti.
Maka di era 1987 hingga akhirnya Galatama dilebur dengan Perserikatan menjadi Ligina 1992-93, baik Galatama maupun Perserikatan, kompetisinya hanya ditonton oleh rumput yang bergoyang.
Kembali ke hasil Liga-2, 2018. Jika akhirnya ada lagi hasil atur-mengatur skor, sungguh tak tahu diuntung mereka. Wasit dan Pemain saat ini, Liga 2 sekalipun, sudah berpenghasilan sangat baik.
Jika tidak keliru, wasit Liga-2 sekali tugas, diluar akomodasi dan transportasi, bisa menghasilkan Rp 5- 7,5 juta. Sebulan bisa mencapai 2-3 kali. Sementara pemain bisa mengantungi Rp 15-20 juta di luar bonus.
Satgas Antimafia Bola Polri mengungkap kasus pengaturan skor sepakbola atau match fixing yang dilakukan sebuah klub bola di Liga 2. Satgas menyebut angka Rp 800 juta untuk mengatur kemenangan klub dimaksud. "Satu laga sampai Rp 100 juta untuk wasit," katanya.
“Sampai saat ini terdata kurang lebih sekitar Rp 800 juta, kalau pengakuan (pihak klub) mungkin bisa Rp 1 miliar lebih." katanya lagi.
Ketua Umum PSSI, Erick Thohir tegas mengatakan: "Hukum seumur hidup!"
Nah, tidakkah kita mau belajar dengan kasus-kasus masa lalu? Atau mereka memang sudah berpelukan dengan iblis yang selalu menghalalkan segala cara.
Lewat tulisan ini, saya ingin mengajak kita semua untuk LAWAN MATCH FIXING, JAGA SEPAKBOLA KITA DARI PARA IBLIS BERTUBUH MANUSIA!
semoga bermanfaat....
*M. Nigara, Wartawan Sepakbola Senior