Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribunners
Tribunners

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.


Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Tribunners / Citizen Journalism

Strategi Cegah Eskalasi Perang di Timur Tengah

Washington belum memberikan lampu hijau invasi darat Israel ke Jalur Gaza. Presiden AS Joe Biden akan lebih dulu ke Israel pekan ini.

Editor: Setya Krisna Sumarga
zoom-in Strategi Cegah Eskalasi Perang di Timur Tengah
US Navy/MCS2 Jackson Adkins
Kapal induk USS Gerald R. Ford saat berlayar di Lautan Atlantik pada 19 Maret 2023. 

TRIBUNNEWS.COM, YOGYA – Invasi darat yang semula menggebu hendak digelar militer Israel sampai Selasa (17/10/2023) belum juga dimulai.

Jumat (13/10/2023) pagi waktu setempat, ultimatum agar warga di bagian utara Gaza pergi sudah disebarkan dan berlaku 24 jam.

Namun hingga batas waktu 24 jam berakhir, serangan darat skala besar yang semula dikhawatirkan memicu bencana besar, tidak juga digelar.

Militer Israel beralasan karena faktor cuaca. Badai dan hujan besar memang terjadi di pesisir Laut Tengah di Israel dan menimbulkan banjir di Tel Aviv.

Namun, diyakini ada faktor lebh besar yang mencegah invasi darat dimulai. Washington belum memberi lampu hijau.

Menlu AS Antony Blinken di saat bersamaan maraton menemui PM Israel, Raja Abdullah dari Yordania, Pangeran Mohammad bin Salman di Riyadh, Sheikh Uni Emirat Arab, Preiden Mesir Al Sisi, Sheikh Qatar, da kembali lagi ke Israel bertemu Benyamin Netanyahu.

Reli lobi ini dilakukan Blinken guna menciptakan kondisi terbaik jika Israel tetap menggelar serangan darat ke Gaza.

Baca juga: Siapa Bisa Cegah Eksodus dari Jalur Gaza?

Baca juga: Skenario Terburuk, Jalur Gaza Jatuh ke Tangan Israel

Baca juga: Skenario Konflik Sesudah Serbuan Hamas 7 Oktober 2023

Berita Rekomendasi

Pekan ini, Presiden AS Joe Biden akan berkunjung ke Yerusalem dan Yordania. Kunjungan Biden ini otomatis akan mempengaruhi jalannya invasi darat Israel.

Kecil kemungkinan Israel memulai operasi darat sementara mereka menerima kunjungan Biden yang sudah pasti menuntut terciptanya situasi keamanan paling tinggi.

Jadi rencana besar Israel meratakan wilayah utara Gaza dan memusnahkan kelompok Hamas tetap tergantung sejumlah faktor.

Persetujuan AS paling menentukan, karena dampak operasi itu pasti tidak hanya akan dirasakan Israel dan wilayah sekitar.

Pasti akan berdampak global, dan Washington memiliki kepentingan untuk tetap membuat perimbangan secara internasional.

Reaksi global kalangan Islam terhadap konflik terbaru Hamas-Israel dan dampaknya yang menimbulkan penderitaan hebat warga Palestina, sangat kuat.

Ini yang sedang dihitung pemerintah dan intelijen AS. Eskalasi konflik Hamas-Israel bisa meledak jadi kekerasan global jika AS membiarkan Israel melakukan pembersihan massal ke Gaza.

Reaksi Iran dan kelompok Hezbollah Lebanon mencerminkan suasana dan kemungkinan pertempuran akan meluas ke segala arah.

Strategi yang kini terus dijalankan, selain reli diplomasi Menlu AS Antony Blinken, Pentagon menempatkan dua armada kapal induk ke Laut Mediterania.

Kapal induk USS Gerard Ford dan USS Dwight Eisenhower membawa ratusan jet tempur, helikopter, pesawat intai, dan ribuan tentara.

Marinir AS menempatkan 2.000 prajuritnya di lepas pantai Israel, di kapal perang USS Bataan. Ini pasukan khusus Ekspedisi Marinir 26 yang sangat berpengalaman di berbagai medan perang.

Kehadiran armada tempur AS ini memberi sinyal langkah mereka mencegah perluasan konflik baik di perbatasan Israel-Lebanon dan perbatasan Israel-Suriah.

Seorang pria Palestina menggunakan alat pemadam api untuk memadamkan api setelah serangan Israel, di Khan Yunis di Jalur Gaza selatan pada 14 Oktober 2023, saat pertempuran antara Israel dan gerakan Hamas berlanjut selama delapan hari berturut-turut.
Seorang pria Palestina menggunakan alat pemadam api untuk memadamkan api setelah serangan Israel, di Khan Yunis di Jalur Gaza selatan pada 14 Oktober 2023, saat pertempuran antara Israel dan gerakan Hamas berlanjut selama delapan hari berturut-turut. (YASSER QUDIH / AFP)

Unjuk kekuatan ini juga jadi strategi menangkal kemungkinan terjunnya Iran ke  kancah pertempuran terbuka di front Gaza dan sekitarnya.

Posisi dua armada kapal induk yang kini parkir di bagian timur Laut Tengah membuat jet-jet tempur AS dengan mudah menjangkau wilayah Iran, Irak, Suriah, dan kemungkinan di  Sinai, Mesir.

Belum lagi kekuatan kapal perusak dan penjelajah serta kapal selam yang menyertai dua kapal induk tadi yang umumnya dibekali rudal-rudal jelajah tercanggih.

Sebagai penyokong utama Israel, AS punya alasan kuat untuk terlibat dalam konflik Israel-Hamas kali ini.

Sebab ada belasan pemegang paspor AS yang turut ditewaskan petempur Hamas saat serangan 7 Oktober 2023. Sebagian warga AS juga disandera di Gaza oleh Hamas.

Oleh sebab itu, membayangkan konflik Israel-Hamas akan berkembang jadi perang besar di Timur Tengah, untuk sementara ini agaknya masih bisa diredam.

Bahwa Israel akan menggempur wilayah utara Gaza untuk menciptakan perimeter aman di perbatasan mereka, hanya soal waktu.

Tapi operasinya mungkin akan diturunkan dari skala kerusakan total menjadi level menghancurkan terbatas dan jangka panjang.

PM Benyamin Netanyahu di pernyataan terbarunya menegaskan perang melawan Hamas akan berlangsung lama sampai kelompok itu dilenyapkan kekuatan tempurnya.

Pertanyaan berikutnya, bagaimana dengan sikap negara-negara Arab? Arab Saudi secara tersirat menunjukkan keengganannya terlibat masalah ini.

Ini ditunjukkan saat Menlu AS Antony Blinken terpaksa menunggu semalaman di Riyadh hingga bisa diterima Pangeran Mohammad bin Salman.

Tak jelas apa hasil pertemuan itu, kecuali pernyataan diplomatis Kemenlu AS yang menyebutkan pertemuan Blinken-MBS sangat produktif.

Sementara kantor berita Saudi mengutip pernyataan Istana, Riyadh menuntut penghentian bombardemen Israel ke Gaza.

Dari Riyadh, Blinken menuju Uni Emirat Arab lalu ke Qatar, dan Mesir. Di tiga negara itu, AS meminta partisipasi mereka memfasilitasi arus eksodus warga Gaza.

Mesir didesak membuka perbatasan Rafah, supaya bantuan kemanusiaan ke Gaza mengalir. Sebaliknya, arus pengungsi dari Gaza bisa leluasa meninggalkan wilayah berbahaya itu.

Di skenario lain, AS mencoba menginisiasi pembentukan kota tenda di wilayah Sinai, guna menampung penduduk Gaza yang menyingkir.

Skema ini masih sulit direalisasikan karena Mesir mempertimbangkan efek jangka panjang secara politik maupun keamanan.

Sementara kelompok Hamas mencegah penduduk Gaza meninggalkan wilayah itu, sebagai strategi perang semesta mereka guna menghadapi militer Israel.

Sejauh ini, penyelamatan demi kemanusiaan masih berlangsung di tengah bombardemen udara Israel ke Gaza yang nyaris tidak berhenti.

Apa yang akan terjadi di Gaza dan Timur Tengah, pastinya akan terlihat sesudah Presiden AS Joe Biden menyelesaikan kunjungannya ke Israel pekan ini.(Setya Krisna Sumarga/Editor Senior Tribun Network)

Tribunners merupakan jurnalisme warga, dimana warga bisa mengirimkan hasil dari aktivitas jurnalistiknya ke Tribunnews, dengan mendaftar terlebih dahulu atau dikirim ke email redaksi@tribunnews.com
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
Berita Populer
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas