Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Skema MOCN di Balik Kencangnya Isu Merger Operator Telko
Isu bergabungnya antara XL Axiata dan Smartfren Telecom makin kencang, walau tidak satu pun manajemen mereka yang merasa berhak memberi kepastian
Editor: Hendra Gunawan
Oleh Moch S Hendrowijono *)
ISU bergabungnya (merger) antara XL Axiata dan Smartfren Telecom makin kencang, walau tidak satu pun manajemen mereka yang merasa berhak memberi kepastian. Manajemen kedua entitas selalu beralasan, soal merger, akuisisi dan aksi korporasi lainnya bukan wewenang mereka, melainkan wewenang pemegang saham, dalam hal ini Kelompok Axiata damn Kelompok Sinar Mas.
Walaupun, Presdir Smartfren, Merza Fachys memberi angin keyakinan bahwa merger memang akan terjadi, bahkan ingin segera berkonsolidasi dengan XL Axiata. Dalam satu kesempatan usai RUPST (rapat umum pemegang saham tahunan) Jumat (25/11) lalu, ia melihat prosesnya sedang berjalan.
Merger menurut Menkominfo Budi Arie Setiadi bisa menyehatkan industri telekomunikasi, sekaligus mengoptimalkan spektrum jaringan yang ada saat ini. Menteri mendorong kedua operator merger, menyusul yang dilakukan Indosat dan Tri dua tahun lalu, yang akan membuat menjadi hanya tiga, Telkomsel, Indosat Ooredoo Hutchison IOH), dan Smartfren – XL.
Baca juga: Merger Pelita dan Citilink Ditargetkan Rampung Tahun Ini, Begini Pembagian Segmentasi Bisnisnya
Merger membuat industri telko lebih efisien, gabungan membuat infrastruktur mereka menjadi lebih banyak, sehingga integrasinya bisa meluaskan cakupan.
Radio BTS masing-masing dapat digunakan bersama, kepadatan BTS (base transceiver station) di satu tempat bisa diurai dengan sebagian dipindahkan ke kawasan yang masih belum terliput layanan. Efeknya, potensi bertambahnya jumlah pelanggan juga besar, walau kenyataannya jumlah pelanggan seluler sudah jenuh.
Jumlah nomor seluler aktif keempat operator sudah 346,7 juta sementara jumlah penduduk Indonesia “hanya” 287 juta, termasuk balita, sehingga per penduduk rata-rata punya 1,2 kartu SIM (identifikasi modul pelanggan – subscriber identification module). Karenanya jika pun akan ada pertambahan jumlah pelanggan, itu bisa diperkirakan berpindahnya pelanggan dari satu operator ke operator lain, atau zero sum game.
Efisiensi lain, capex – capital expenditure – biaya modal) dan biaya operasi (opex – operational expenditure) yang hanya untuk satu entitas, efisien dalam pembelian teknologi, misalnya radio BTS, dan juga efisien dalam menggunakan spektrum frekuensi. Efisien pula dalam kebutuhan SDM untuk berbagai layanan yang tidak lagi harus dikerjakan dua orang, namun tidak berarti harus ada PHK atau pensiun dini (pendi).
Belum ada regulasinya
Masalah besar dalam industri telekomunikasi di Indonesia adalah kesempatan untuk berbagai infrastruktur, apakah itu menara (tower), atau spektrum frekuensi. Belum ada satu pun aturan pemerintah (regulasi) soal berbagi frekuensi dan pendapatan, walau berbagi dalam penggunaan menara sudah terjadi.
Padahal benefit paling besar dari aksi merger adalah hasil berbagi. Skema MOCN (multi operator core network) yang mengefisienkan perangkat infrastruktur dan pendapatan dengan berbagi spektrum belum bisa diterapkan oleh dua operator berbeda, karena kendala ketiadaan regulasi tadi.
Dalam pelaksanaan sistem MOCN terjadi pertumbuhan jaringan ke daerah yang jarang penduduk yang dampaknya mendukung pertumbuhan GDP (gross domestic product) serta pendapatan fiskal bagi negara. Integrasi BTS membuka kesempatan untuk meluaskan jaringannya dengan biaya yang lebih efisien.
Di beberapa negara, network sharing (berbagi jaringan) jenis MOCN sudah banyak diterapkan, Malaysia dan Hongkong melakukannya sejak tahun 2012 dan 2013. Benchmarking pada negara yang sudah menerapkan regulasi baik MOCN maupun multi operator radio access Network (MORAN) membuktikan banyak keuntungan yang didapat, baik untuk negara, operator maupun pelanggan.
Baca juga: XL Axiata Sediakan Jaringan di Sepanjang Jalur Kereta Cepat Jakarta-Bandung
Keberhasilan Indosat Ooredoo dan Hutchison Tri (3) Indonesia dalam proses merger mereka menjadi Indosat Ooredoo Hutchison (IOH) pada 2021 menjadi contoh banyak operator dunia yang ingin merger, yang selama ini mayoritas menemui kegagalan.
Mereka menerapkan skemas MOCN, mengintegrasikan spektrum frekuensi keduanya, otomatis menambah kapasitasnya.
Kata Presdir dan CEO IOH, Vikram Sinha, untuk mengimplementasikan MOCN mereka bekerja sama bergotong royong dengan mitra teknologi Nokia, Huawei dan Ericsson, dan mitra-mitra transmisi, core, prasarana menara, dan serat optik.
Pendapatan meningkat
Jumlah BTS 4G IOH naik dari 120.000 pada akhir 2021 menjadi 180.000 buah pada akhir 2022, sebagiannya dimodernisasikan dengan teknologi baru, posisi lokasi BTS Indosat dan Tri yang berdekatan pun diatur kembali. Ini membuat pengalaman baru bagi pelanggan, atau memikat calon pelanggan, apalagi karena ada beda tarif layanan IOH dibanding operator lain.
Dalam waktu singkat pelanggan IOH naik 62,5 persen dari 65 jutaan menjadi 102,2 juta pada akhir 2022, setahun setelah IOH resmi beroperasi.
Hal yang belum pernah terjadi, operator gabungan itu meraup kenaikan pendapatan sebanyak 48,9%, dari Rp 31,4 triliun menjadi Rp 46,8 triliun, lebih tinggi dari perkiraan yang sekitar Rp 41 triliun.
Laba IOH melampaui angka yang pernah terjadi selama dua tahun saat masih menjadi Indosat Ooredoo yang sekitar Rp 1,04 triliun masing-masing tahun, menjadi Rp 4,7 triliun pada akhir 2022.
Mereka meraih peningkatan pendapatan sebesar 8,48% pada triwulan 3 tahun 2023 ini menjadi Rp 37,46 triliun, naik dari Rp 34,5 triliun pada periode sama tahun 2022.
Namun memang labanya justru turun dari Rp 3,64 triliun menjadi Rp 2,78 triliun. Antara lain akibat meningkatnya beban perusahaan dari Rp 26,51 triliun menjadi Rp 30,39 triliun.
Menurut Vikram Sinha, kinerja IOH didorong komitmen menjadi yang terbaik, strategi go-to-market terencana, serta fokus memberikan marvelous experience bagi pelanggan.
Skala dan kinerja ini memungkinkan IOH menggapai tujuan menghubungkan dan memberdayakan masyarakat Indonesia dengan mempercepat transformasi digital bangsa.
Skema MOCN yang dilakukan IOH tampaknya menjadi contoh XL Axiata dan Smartfren menyegerakan aksi merger. Walaupun, kini mereka baru saling lirik dan saling taksir, siapa yang akan menjadi pemegang saham pengendali, meski saat ini XL dianggap paling memungkinkan.
Data terakhir menyebutkan, pelanggan XL Axiata 58 juta, Smartfren 36,2 juta, XL punya BTS 170.000 lebih, Smartfren 46.000, capex XL tahun ini Rp 8 triliun, Smarfren Rp 1,5 triliun. Pendapatan XL pada semester 1 tahun ini Rp 15,76 triliun laba Rp 650 miliar, Smartfren Rp 2,79 triliun, rugi Rp 163,23 miliar.
*) Moch S Hendrowijono, mantan Editor Harian Kompas, pengamat telekomunikasi dan transportasi.