Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Anomali Reformasi Birokrasi di Indonesia
Reformasi birokrasi gelombang pertama secara bertahap mulai dilaksanakan pada tahun 2004. Di tahun 2011, seluruh kementerian dan lembaga (K/L)
Editor: Wahyu Aji
Data Badan Kepegawaian Negara (BKN) per 30 Juni 2023 (Semester I 2023) menyebutkan bahwa jumlah Aparatur Sipil Negara (ASN) mencapai 4.282.429 orang dengan komposisi PNS (89%) dan PPPK (11%).
Berdasarkan kelompok usianya, mayoritas ASN berasal dari kelompok usia produktif, yaitu generasi Y atau kelahiran 1977-1994 sebanyak 2,13 juta (50%).
Lalu, disusul generasi X atau kelahiran 1965-1976 sebanyak 1,73 juta orang (40%), generasi Z atau kelahiran 1995-2010 sebanyak 232,5 ribu orang (5%), dan generasi baby boomer atau kelahiran 1946-1964 sebanyak 183,72 ribu orang (4%).
Sebagaimana tampak pada data tersebut, sebagian besar ASN kita adalah generasi milenial, istilah yang diciptakan oleh dua pakar sejarah dan penulis Amerika, William Strauss dan Neil Howe dalam beberapa bukunya. Generasi yang akrab disebut generation me atau echo boomers ini, mempunyai kecenderungan yang spesifik dibandingkan generasi sebelumnya.
Robert Walters Whitepaper menyampaikan sejumlah pernyataan dalam tulisannya bertajuk Attracting and Retaining Millennial Professionals (https://www.robertwalters.co.uk) al.
91% generasi milenial menginginkan kemajuan karir yang cepat (gaji besar, pekerjaan memuaskan, karir berkembang), 53% generasi milenial kecewa dengan kurangnya pengembangan pribadi, dan 53% akan bekerja pada perusahaan yang menerapkan teknologi yang sama dengan mereka.
Dengan kata lain, generasi milenial tidak hanya sekedar berorientasi pada materi dan aktualisasi diri namun lebih jauh dari itu mereka menginginkan pengembangan karir dan kapasitas (kemampuan dan keahlian), membutuhkan tantangan ketimbang instruksi (cenderung pada sistem dan mekanisme yang flat ketimbang hierarki), dan membutuhkan fleksibelitas.
Situasi yang spesifik ini seharusnya menjadi perhatian dan menjadi referensi utama bagaimana seharusnya birokrasi dikelola ke depannya agar seluruh sumber daya ASN dapat berkontribusi secara optimal.
Pemahaman ini juga dalam rangka mengatasi sejumlah persoalan yang dialami birokrasi kita selama ini yaitu birokrasi yang ‘digerakkan’ partai politik, pengelolaannya yang konvensional dan belum secara tuntas memahami kebutuhan generasi milenial.
Kondisi-kondisi ini diyakini telah menjadi sebab mengapa birokrasi Indonesia belum pernah berubah sebagaimana yang diharapkan kendati reformasi birokrasi telah digaungkan bahkan sejak 20 tahun lalu (2004).
Birokrasi yang Efisien dan Efektif
Berdasarkan Perpres Nomor 81 Tahun 2010 tentang Grand Design Reformasi Birokrasi Nasional, perjalanan panjang reformasi birokrasi di Indonesia kini telah memasuki fase ketiga atau fase terakhir dari peta jalan reformasi birokrasi yang dirancang dalam rangka terbangunnya birokrasi yang berkelas dunia, yaitu birokrasi yang baik dan bersih (good and clean bureaucracy).
Ketercapai birokrasi berkelas dunia, seharusnya diawali dengan terbangunnya birokrasi yang efisien dan efektif. Secara kalkulatif terdapat level efisiensi yang diharapkan dicapai melalui upaya Reformasi Birokrasi khususnya pada aspek Anggaran Belanja Pemerintah yaitu mencapai 22,2%. Angka ini diperoleh dari efisiensi pemanfaatan IT (13%), penyederhanaan struktur (7,5%), dan efisiensi penerapan Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintahan/ SAKIP (1,7%).
Selain aspek kuantitatif, terdapat ekspektasi bahwa terjadi peningkatan kualitas belanja Pemerintah melalui Refokusing Program sehingga anggaran menjadi lebih tepat sasaran dan peningkatan kompetensi Kepala Daerah (KDH) dan Aparatur Sipil Negara (ASN) sehingga diharapkan membuat program lebih berorientasi pada outcomes/ dampak.
Pada gilirannya, situasi ini diharapkan juga akan berimbas pada peningkatan kepercayaan investor melalui digitalisasi dan seamless government yang menyebabkan pelayanan lebih cepat dan tidak berbelit-belit.
Faktanya, masih jauh panggang dari api. Ternyata efisiensi tersebut belum sepenuhnya tercapai dan proyeksi-proyeksi tersebut belum tercapai seperti yang diharapkan.
Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) mengaku mengalami kesulitan dalam memastikan tercapainya 77 Indikator Kinerja Prioritas Nasional yang telah ditetapkan pada Rencana Kerja Pemerintah (RKP) Tahun 2022. Lembaga ini hanya mampu memastikan ketercapaian 23 indikator saja.
Harapan pelaksanaan program yang tepat sasaran justru mendorong lahirnya wacana perlunya dilakukan impact analysis. Sebut saja anggaran pengentasan kemiskinan yang dialokasikan sejak 2011-2023 serta melibatkan 28 K/L, tidak secara signifikan mampu mengurangi jumlah penduduk miskin.
Baca juga: Menpan RB Apresiasi Mata Lokal Memilih Talkshow Series: Reformasi Birokrasi Fondasi Keberhasilan
Kuat dugaan hal ini terjadi al. karena penyusunan Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian Negara/Lembaga (RKA-K/L) berdasarkan trilateral meeting sehingga sinergisitas dengan K/L lain tidak terjadi.
Kekacauan ini juga terjadi di daerah. Kementerian Dalam Negeri diketahui belum secara optimal melakukan upaya penguatan kapasitas di daerah baik terkait kualitas KDH maupun pengelolaan anggaran di daerah.
Oleh karenanya kendati alokasi anggaran transfer pusat ke daerah mencapai 814 Trilyun namun output yang dihasilkan patut menjadi perhatian. (*)