Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribunners
Tribunners

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.


Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Tribunners / Citizen Journalism

Anomali Reformasi Birokrasi di Indonesia

Reformasi birokrasi gelombang pertama secara bertahap mulai dilaksanakan pada tahun 2004. Di tahun 2011, seluruh kementerian dan lembaga (K/L)

Editor: Wahyu Aji
zoom-in Anomali Reformasi Birokrasi di Indonesia
Tribunnews.com/Jeprima
Ilustrasi ASN 

Oleh: Eva Nila Sari

Pegawai Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM)

TRIBUNNEWS.COM - Dalam peta jalan (roadmap) reformasi birokrasi fase ketiga, sebagaimana Peraturan Presiden Nomor 81 Tahun 2010 tentang Grand Design Reformasi Birokrasi Nasional, pengelolaan reformasi birokrasi sejatinya dirancang dengan lebih mengutamakan empat asas utama yaitu fokus, prioritas, implementatif, dan kolaboratif dalam rangka terbangunnya birokrasi yang berkelas dunia, yaitu birokrasi yang baik dan bersih (good and clean bureaucracy).

Empat asas ini diharapkan dapat menjadi pilar utama untuk memastikan pengelolaan reformasi birokrasi dilakukan secara akuntabel dan terukur.

Instansi Pemerintah pada berbagai tingkatannya diharapkan dapat  menetapkan tujuan dari reformasi birokrasi 2020-2024, yang disesuaikan dengan “demand-based reform” sehingga masing-masing Instansi Pemerintah dapat berperan/ berkontribusi dalam mewujudkan pemerintah berkelas dunia.

Keberhasilan reformasi birokrasi mencapai predikat kelas dunia dapat dinilai dari capaian beberapa indikator yang bersifat global, yakni Indeks Kemudahan Melakukan Investasi (Ease of Doing Business), Indeks Persepsi Korupsi (Corruption Perception Index), Indeks Efektivitas Pemerintah (Government Effectiveness Index), dan Trust Barometer.

Akan tetapi kondisi yang unik terjadi di Indonesia, kendati pemberantasan korupsi pada situasi yang terpuruk namun tidak menyebabkan timbulnya pernyataan bahwa di Indonesia sulit melakukan investasi, Pemerintah Indonesia adalah pemerintahan yang tidak efektif, dan tidak menyurutkan kepercayaan masyarakat atas lembaga bisnis, pemerintah, media maupun NGO.

Berita Rekomendasi

Padahal Reformasi Birokrasi sejak awal ditujukan utamanya untuk mengatasi maraknya praktik Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) di Indonesia.

Pada tahun 2022, Indonesia mengalami tantangan serius dalam melawan korupsi. Corruption Perception Index/ CPI Indonesia tahun 2022 berada di skor 34/100 dan berada di peringkat 110 dari 180 negara yang disurvei. 

Skor ini turun 4 poin dari tahun 2021, atau merupakan penurunan paling drastis sejak 1995.

Turun drastisnya skor CPI Indonesia tahun 2022 membuktikan bahwa strategi dan program pemberantasan korupsi tidak efektif.

Strategi yang dimaksud adalah revisi Undang-undang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada tahun 2019, berbagai program pemberantasan korupsi dalam pelayanan publik dan pelayanan bisnis seperti digitalisasi pelayanan publik dan bahkan Undang-undang Cipta Kerja tidak berjalan.

Demikian juga pemberantasan korupsi di sektor strategis lainnya seperti korupsi politik dan korupsi peradilan juga menunjukkan stagnasi.

Singkat kata, CPI di tahun 2022 telah menempatkan Indonesia di posisi 1/3 negara terkorup di dunia. Angka ini tidak membaik pada 2023.

Pada saat bersamaan, kita disodorkan oleh data KPK bahwa sejak tahun 2004 hingga November 2023 terdapat 1.479 tindak pidana korupsi yang telah ditangani, yang didominasi oleh kasus penyuapan sebanyak 65,34 persen.

Sisanya adalah tindak korupsi pengadaan barang dan jasa (22,36 persen), penyalahgunaan anggaran (3,85 persen), pencucian uang (3,99 persen), pemerasan (1,89 persen), perizinan (1,9 persen), dan perintangan penyidikan (0,88 persen).

Situasi ini linear dengan Survei Penilaian Integritas (SPI) yang dilakukan KPK atas seluruh K/L di Indonesia. Pada 2022, Indeks Integritas Nasional Indonesia pada angka 72.

Angka ini menunjukkan penurunan hampir di semua sektor yaitu Lembaga Pemerintahan, Kementerian, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten. Kondisi kenaikan hanya terjadi pada Pemerintah Kota.

Ternyata terpuruknya Indonesia pada penanganan dan pemberantasan korupsi tidak berbanding lurus dengan Indeks Kemudahan Melakukan Investasi (Ease of Doing Business), Indeks Efektivitas Pemerintah (Government Effectiveness Index), dan Trust Barometer.

Pada 2020, Indonesia meraih skor Indeks Kemudahan Melakukan Investasi (Ease of Doing Business/EODB) sebesar 69,6, lebih baik ketimbang Filipina, Kamboja, Laos, Myanmar, dan Timor Leste.

Akan tetapi masih berada di bawah Vietnam, Brunei Darussalam, Thailand, Malaysia, dan Singapura.

EODB adalah indeks yang dibuat Bank Dunia untuk menentukan peringkat kemudahan berbisnis di sebuah negara.

Adapun sejak September 2021 Bank Dunia menghentikan pembuatan laporan indeks kemudahan berbisnis, dan sampai saat ini belum ada pembaruan data.

Baca juga: KASN Dibubarkan, ICW: Pemerintah dan DPR Abai Persoalan Reformasi Birokrasi

Dalam siaran persnya (16/9/2021), akibat penyimpangan data yang dilaporkan secara internal pada Juni 2020, manajemen Bank Dunia menghentikan sementara laporan indeks kemudahan berbisnis, serta memulai tinjauan dan audit atas laporan tersebut beserta metodologinya.

Demikian halnya dengan Indeks Efektivitas Pemerintah (Government Effectiveness Index). Skor Indeks Efektivitas Pemerintah Indonesia tahun 2023 naik dari 64,76 pada 2022 menjadi 66,04 pada 2023 (skala 100). Skor ini menempatkan Indonesia di peringkat 73 dari 214 negara.

Deputi V Kepala Staf Kepresiden Jaleswari Pramodhawardani pada Oktober 2023 lalu menyampaikan bahwa peningkatan skor Indeks Efektivitas Pemerintah (Government Effectiveness Index) menjadi bukti reformasi birokrasi di Indonesia sudah di jalur yang tepat.

Kontras ini semakin terasa ketika melihat hasil survei dari Edelman Trust Barometer 2023 yang menyebutkan, Indonesia berada di peringkat kedua dalam daftar negara dengan tingkat kepercayaan tinggi oleh masyarakatnya.

Indonesia naik satu peringkat dari posisinya pada 2022, dan kini berada tepat di bawah China dalam Trust Index.

Semua tipe perusahaan di Indonesia mendapat kepercayaan tinggi, baik swasta maupun publik dengan tingkat 80 persen, disusul perusahaan keluarga (78 persen), dan BUMN (69 persen). Sementara itu, kepercayaan terhadap pemberi kerja di Indonesia adalah yang tertinggi di seluruh dunia yaitu 92 persen.

Pemerintah di Indonesia turut mendapat kepercayaan cukup baik menurut survei ini yaitu 76 persen, tetapi kepercayaan pada para pemimpin di pemerintahan turun sedikit menjadi 66 persen.

Dengan demikian, semua institusi di Indonesia mendapat kepercayaan tinggi baik bisnis, pemerintah, media, maupun NGO (organisasi non-pemerintah). Meski demikian, responden dalam survei ini memiliki kekhawatiran kehilangan pekerjaan (93 persen) dan inflasi (73 %).

Birokrasi Indonesia yang ‘Belum Pernah’ Berubah

Reformasi birokrasi gelombang pertama secara bertahap mulai dilaksanakan pada tahun 2004. Di tahun 2011, seluruh kementerian dan lembaga (K/L) serta Pemerintah Daerah (Pemda) ditargetkan telah memiliki komitmen dalam melaksanakan proses reformasi birokrasi.

Pada dasarnya reformasi birokrasi dilatarbelakangi oleh masih maraknya praktik Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) di berbagai bidang, masih rendahnya kualitas pelayanan publik, dan belum optimalnya tingkat efisiensi, efektivitas dan produktivitas di bidang kelembagaan.

Kondisi ini harus diatasi mengingat birokrasi seharusnya mengabdi pada kepentingan rakyat dan bekerja untuk memberikan pelayanan prima, transparan, akuntabel, dan bebas dari praktek Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN). 

Akan tetapi, kendati telah berproses cukup lama, reformasi birokrasi belum memberikan hasil yang diproyeksikan baik dari sisi efisiensi yang seharusnya terjadi, dampak yang ditimbulkannya, maupun perubahan signifikan yang seharusnya terjadi secara sistematis.

“Permasalahan yang menyebabkan implementasi reformasi birokrasi belum optimal, diantaranya adalah pola pikir birokrat dan komitmen pimpinan,” ujar Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD pada suatu kesempatan.

Pernyataan ini dipersepsikan linier dengan asumsi bahwa partai politik sangat mewarnai dan mempengaruhi birokrasi. Banyak pihak berasumsi bahwa pelayanan birokrasi begitu lemah, melayani para politisi, dan anak muda (generasi milenial) tidak mendapat kesempatan berkontribusi secara optimal bahkan cenderung ‘ditekan’.

Birokrasi berasal dari Bahasa Inggris, yaitu bureau dan cracy yang keberadaannya dimaksudkan untuk mengorganisasi/ mengelola sehingga organisasi berjalan secara teratur melalui sebuah sistem guna mencapai tujuan tertentu.

Semula birokrasi disusun sebagai rantai komando dengan struktur berbentuk piramida. Akan tetapi jaman telah bergulir dan perubahan menjadi suatu yang mutlak.

Baca juga: Reformasi Birokrasi di Indonesia Membutuhkan Data Desa Presisi

Pasalnya generasi milineal lebih cenderung pada struktur yang flat yang mengapresiasi tantangan ketimbang instruksi.

Secara empiris, birokrasi identik dengan aparatur pemerintah yang mempunyai tiga dimensi yaitu organisasi, sumber daya manusia, dan manajemen.

Dalam pemerintahan, dimensi itu dikenal sebagai kelembagaan, kepegawaian, dan ketatalaksanaan, yang merupakan unsur-unsur administrasi negara.

Data Badan Kepegawaian Negara (BKN) per 30 Juni 2023 (Semester I 2023) menyebutkan bahwa jumlah Aparatur Sipil Negara (ASN) mencapai 4.282.429 orang dengan komposisi PNS (89%) dan PPPK (11%).

Berdasarkan kelompok usianya, mayoritas ASN berasal dari kelompok usia produktif, yaitu generasi Y atau kelahiran 1977-1994 sebanyak 2,13 juta (50%).

Lalu, disusul generasi X atau kelahiran 1965-1976 sebanyak 1,73 juta orang (40%), generasi Z atau kelahiran 1995-2010 sebanyak 232,5 ribu orang (5%), dan generasi baby boomer atau kelahiran 1946-1964 sebanyak 183,72 ribu orang (4%).

Sebagaimana tampak pada data tersebut, sebagian besar ASN kita adalah generasi milenial, istilah yang diciptakan oleh dua pakar sejarah dan penulis Amerika, William Strauss dan Neil Howe dalam beberapa bukunya. Generasi yang akrab disebut generation me atau echo boomers ini, mempunyai kecenderungan yang spesifik dibandingkan generasi sebelumnya.

Robert Walters Whitepaper menyampaikan sejumlah pernyataan dalam tulisannya bertajuk Attracting and Retaining Millennial Professionals (https://www.robertwalters.co.uk) al.

91% generasi milenial menginginkan kemajuan karir yang cepat (gaji besar, pekerjaan memuaskan, karir berkembang), 53% generasi milenial kecewa dengan kurangnya pengembangan pribadi, dan 53% akan bekerja pada perusahaan yang menerapkan teknologi yang sama dengan mereka.

Dengan kata lain, generasi milenial tidak hanya sekedar berorientasi pada materi dan aktualisasi diri namun lebih jauh dari itu mereka menginginkan pengembangan karir dan kapasitas (kemampuan dan keahlian), membutuhkan tantangan ketimbang instruksi (cenderung pada sistem dan mekanisme yang flat ketimbang hierarki), dan membutuhkan fleksibelitas.

Situasi yang spesifik ini seharusnya menjadi perhatian dan menjadi referensi utama bagaimana seharusnya birokrasi dikelola ke depannya agar seluruh sumber daya ASN dapat berkontribusi secara optimal.

Pemahaman ini juga dalam rangka mengatasi sejumlah persoalan yang dialami birokrasi kita selama ini yaitu birokrasi yang ‘digerakkan’ partai politik, pengelolaannya yang konvensional dan belum secara tuntas memahami kebutuhan generasi milenial.

Kondisi-kondisi ini diyakini telah menjadi sebab mengapa birokrasi Indonesia belum pernah berubah sebagaimana yang diharapkan kendati reformasi birokrasi telah digaungkan bahkan sejak 20 tahun lalu (2004).  

Birokrasi yang Efisien dan Efektif

Berdasarkan Perpres Nomor 81 Tahun 2010 tentang Grand Design Reformasi Birokrasi Nasional, perjalanan panjang reformasi birokrasi di Indonesia kini telah memasuki fase ketiga atau fase terakhir dari peta jalan reformasi birokrasi yang dirancang dalam rangka terbangunnya birokrasi yang berkelas dunia, yaitu birokrasi yang baik dan bersih (good and clean bureaucracy).

Ketercapai birokrasi berkelas dunia, seharusnya diawali dengan terbangunnya birokrasi yang efisien dan efektif. Secara kalkulatif terdapat level efisiensi yang diharapkan dicapai melalui upaya Reformasi Birokrasi khususnya pada aspek Anggaran Belanja Pemerintah yaitu mencapai 22,2%. Angka ini diperoleh dari efisiensi pemanfaatan IT (13%), penyederhanaan struktur (7,5%), dan efisiensi penerapan Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintahan/ SAKIP (1,7%).

Selain aspek kuantitatif, terdapat ekspektasi bahwa terjadi peningkatan kualitas belanja Pemerintah melalui Refokusing Program sehingga anggaran menjadi lebih tepat sasaran dan peningkatan kompetensi Kepala Daerah (KDH) dan Aparatur Sipil Negara (ASN) sehingga diharapkan membuat program lebih berorientasi pada outcomes/ dampak.

Pada gilirannya, situasi ini diharapkan juga akan berimbas pada peningkatan kepercayaan investor melalui digitalisasi dan seamless government yang menyebabkan pelayanan lebih cepat dan tidak berbelit-belit. 

Faktanya, masih jauh panggang dari api. Ternyata efisiensi tersebut belum sepenuhnya tercapai dan proyeksi-proyeksi tersebut belum tercapai seperti yang diharapkan.

Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) mengaku mengalami kesulitan dalam memastikan tercapainya 77 Indikator Kinerja Prioritas Nasional yang telah ditetapkan pada Rencana Kerja Pemerintah (RKP) Tahun 2022. Lembaga ini hanya mampu memastikan ketercapaian 23 indikator saja.

Harapan pelaksanaan program yang tepat sasaran justru mendorong lahirnya wacana perlunya dilakukan impact analysis. Sebut saja anggaran pengentasan kemiskinan yang dialokasikan sejak 2011-2023 serta melibatkan 28 K/L, tidak secara signifikan mampu mengurangi jumlah penduduk miskin.

Baca juga: Menpan RB Apresiasi Mata Lokal Memilih Talkshow Series: Reformasi Birokrasi Fondasi Keberhasilan

Kuat dugaan hal ini terjadi al. karena penyusunan Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian Negara/Lembaga (RKA-K/L) berdasarkan trilateral meeting sehingga sinergisitas dengan K/L lain tidak terjadi. 

Kekacauan ini juga terjadi di daerah. Kementerian Dalam Negeri diketahui belum secara optimal melakukan upaya penguatan kapasitas di daerah baik terkait kualitas KDH maupun pengelolaan anggaran di daerah.

Oleh karenanya  kendati alokasi anggaran transfer pusat ke daerah mencapai 814 Trilyun namun output yang dihasilkan patut menjadi perhatian. (*)

Eva Nila Sari
Eva Nila Sari
Tribunners merupakan jurnalisme warga, dimana warga bisa mengirimkan hasil dari aktivitas jurnalistiknya ke Tribunnews, dengan mendaftar terlebih dahulu atau dikirim ke email redaksi@tribunnews.com
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2025 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas