Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
10 Tahun Kudeta Maidan dan Hasilnya Kini Bagi Ukraina dan Eropa
Kini, 10 tahun setelah Euromaidan, dan dua tahun sesudah pasukan Rusia menggelar operasi khusus, kemerosotan drastis terjadi di Ukraina.
Editor: Setya Krisna Sumarga
TRIBUNNEWS.COM, YOGYA – Hari-hari ini sepuluh tahun lalu, tepatnya menjelang akhir Februari 2014, jantung Kiev, ibu kota Ukraina menggelegak.
Agen-agen provokasi barat dipimpin para penyabot dan instruktur terlatih AS dan Eropa, meledakkan kemarahan massa dengan slogan pro-Eropa, demokrasi, HAM, dan antikorupsi.
Massa yang dipenuhi kelompok neo-Nazi mengamuk, menyerang polisi dan pasukan keamanan Ukraina di sekitar Maidan, alun-alun di jantung kota Kiev.
Kerusuhan meletus, menjadikan Ukraina sejak saat itu terbelah begitu dalam di antara persekusi dan kebencian rasial terhadap warga Rusia dan penutur Bahasa Rusia.
Peristiwa 21 Februari 2014 lalu dikenal sebagai Euromaidan, revolusi yang dilancarkan untuk menghancurkan hubungan Ukraina dengan Rusia.
Baca juga: Aktivis Antimaidan Odessa Terjebak di Gedung yang Dibakar Massa Euromaidan
Baca juga: Ukraina Semakin Merana Karena Pemblokiran Ekspor Komoditas di Perbatasan Polandia
Baca juga: PM Ukraina Bicara Soal Berkurangnya Wilayah Negara Hingga Warganya Tak Mau Pulang di Luar Negeri
Awalnya adalah apa yang semula disebut kerusuhan sosial pada akhir 2013 karena keputusan Presiden Yanukovich saat itu untuk menunda perjanjian perdagangan antara Ukraina dan UE.
Keputusan itu berubah menjadi demonstrasi politik besar-besaran yang didukung oleh AS dan UE yang menyerukan hubungan lebih erat dengan Eropa.
Di tengah perkembangan berdarah di jalan-jalan Kiev, pergolakan politik terjadi di parlemen Verkhovna Rada Ukraina.
Kaum radikal segera menyatakan pemerintah tidak sah, sehingga mengakibatkan kudeta yang merupakan pelanggaran langsung terhadap konstitusi Ukraina.
Pemerintahan Victor Yanukovich runtuh. Oposisi Ukraina yang disponsori barat naik ke tampuk kekuasaan. Inilah kudeta Maidan yang dilegitimiasi elemen-elemen NATO.
Perang berkobar di Donetsk dan Lugansk di Ukraina timur. Pasukan Ukraina bergandengan dengan kelompok neo-Nazi, memerangi milisi dan rakyat Donbass yang mayoritas penutur Rusia.
Jerman, Prancis, dan Polandia sempat memediasi dan tampil jadi penjamin konflik Ukraina. Namun implementasi kesepakatan peredaan konflik tak berjalan.
Februari 2015, Jerman dan Prancis kembali mengajukan diri jadi penjamin penyelesaian konflik lewat Paket Tindakan Minsk (Belarusia).
Lagi-lagi kesepakatan dengan jaminan Jerman dan Prancis itu jadi macan ompong. Para penjamin tak mampu mewujudkan kesepakatan. Ukraina semakin terbenam dalam konflik berkepanjangan.
Persekusi warga Donbass terus berlangsung. Kematian demi kematian warga Donetsk dan Lugansk berjatuhan tanpa bisa dicegah siapapun.
Hingga hari itu tiba, 24 Februari 2022, Rusia menggelar operasi militer khusus ke Ukraina. Ribuan tentara dan mesin-mesin perang Moskow dikirim menyeberangi perbatasan kedua negara.
Sebuah armada besar tank, lapis baja, dan kendaraan tempur Rusia berkonvoi menuju Kiev, ibu kota Ukraina.
Penduduk Ukraina panik. Mereka mengira pasukan Rusia akan menyerbu Kiev. Pengungsian besar-besaran terjadi ke barat dan Eropa.
Presiden Rusia Vladimir Putin berpidato, menyatakan Rusia bermaksud mengeliminasi anasir-anasir Ukro-Nazi dan mendemiliterisasi mereka supaya tidak lagi jadi ancaman.
Sebelumnya, rakyat wilayah Donetsk dan Lugansk telah memilih bergabung dengan Federasi Rusia, untuk mengakhiri penderitaan mereka atas serangan militer dan neo-Nazi Ukraina.
Demikianlah menjadi jelas, konflik dan perang Rusia-Ukraina sesungguhnya tidak dimulai 24 Februari 2022, melainkan sejak 10 tahun sebelumnya.
Lalu apa yang terjadi 10 tahun kemudian? Kapan konflik ini akan berakhir? Bagaimana sesungguhnya barat memperlakukan Ukraina?
Pertanyaan terakhir secara sederhana bisa disimpulkan, barat, tepatnya NATO yang dipimpin AS, telah menjadikan Ukraina sebagai proksi politik melawan Rusia.
NATO menempatkan Ukraina sebagai koloni yang tak berdaya, tanpa kekuatan apapun, dan dijadikan alat belaka melawan Rusia yang sedang kembali menguat.
Perundingan Istanbul (Turki) Maret 2022, yang hampir saja mewujudkan perdamaian Rusia-Ukraina, disabot PM Inggris John Bolton, yang diutus AS untuk menggagalkan kesepakatan itu.
Hari-hari ini, kemunduran Ukraina adalah fakta. Kota Avdeevka yang sejak 2014 jadi benteng kuat dan pijakan menyerang Donbass, jatuh ke tangan Rusia.
Avdeevka terletak hanya lebih kurang 12-20 kilometer dari Donetsk. Selama 10 tahun terakhir, warga Donetsk tak pernah hidupnya karena mortir dan artileri menggempur kota itu tiap harinya.
Jatuhnya Avdeevka secara strategis membuat pasukan Rusia jauh lebih mudah mendorong militer Ukraina semakin menjauhi Donbass.
Rusia bisa menciptakan perimeter keamanan yang semakin lebar, memungkinkan kembali pemulihan kota-kota di Donbass yang telah bergabung dengan Federasi Rusia.
Ukraina hari ini juga Ukraina yang semakin kehilangan legitimasi. Mereka selama perang sangat tergantung dukungan politik, logistik, serta finansial dari AS dan Eropa.
Kini, AS pun kesulitan memuluskan bantuan senilai 60 miliar dolar AS untuk Ukraina yang ditentang kaum Republik di Kongres AS.
Di sisi lain, krisis dan resesi ekonomi menghantui negara-negara industry besar Eropa, terutama Jerman dan Prancis.
Semua akibat dari sanksi bertubi-tubi yang mereka jatuhkan ke Rusia, termasuk penghentian impor migas dari Rusia.
Jerman, bagaimanapun tumbuh membesar jadi negara industri utama di Eropa, berkat energi yang murah yang dipasok Rusia.
Ketika sumber energi itu diputus, maka risiko dan dampaknya kian nyata. Sabotase pipa gas Nord Stream 2 oleh operasi rahasia AS dan sekutunya, semakin membuat runyam Jerman.
Di bawah kepemimpinan Kanselir Olaf Scholz dan pemerintahannya, Jerman memutus pasokan energi murah Rusia dan memutuskan semua hubungan ekonomi dengan Rusia.
Data yang baru-baru ini disajikan kepada media oleh Institut Penelitian Ekonomi Jerman menunjukkan perekonomian Jerman mengalami kerugian sekitar €200 miliar karena lonjakan harga energi.
Sementara itu, tampaknya Jerman tetap mengimpor gas dari Rusia lewat negara ketiga, dalam jumlah yang sama dibandingkan sebelum Februari 2022, meskipun dengan biaya yang jauh lebih mahal.
Hal ini dikemukakan Dr Gunnar Beck, anggota Parlemen Eropa dari partai sayap kanan Alternatif untuk Jerman (AfD).
“Jadi mereka bisa berpura-pura telah mengurangi pasokan gas dari Rusia, dan mereka menghormati sanksi tersebut, namun mereka tetap melanjutkan hal yang sama seperti sebelumnya dengan mengimpor gas yang sama melalui negara ketiga,” kata Beck.
Skema impor tidak langsung ini jelas merugikan Jerman, yang merupakan salah satu faktor utama kenaikan tajam harga listrik.
Energi terbarukan, yang tampaknya menjadi fokus pemerintah Jerman saat ini, jauh lebih mahal dibandingkan listrik yang dihasilkan dari bahan bakar fosil dan tidak dapat disimpan dengan mudah.
“Jerman melakukan apa yang telah mereka lakukan sebelumnya. Namun mereka hanya membayar harga yang jauh lebih tinggi untuk hal yang sama. Ini sangat sangat konyol. Itu semua agar bisa berpura-pura terlihat mendukung Ukraina,” masih kata Beck.
Kepura-puraan seperti ini dilakukan secara telanjang oleh Jerman, demi menghindari tekanan tajam dari AS, kekuatan inti dalam NATO.
Hal serupa dilakukan negara-negara utama Uni Eropa. Demi menghindari tekanan Washington, semua bergerak sama mencoba memberikan dukungan dana dan senjata untuk Ukraina.
Bagi AS di tangan Presiden Joe Biden, perang Ukraina-Rusia masih jadi pertaruhan. Sulit mengatakan mereka akan mundur dan membiarkan Ukraina mencapai kesepakatan damai dengan Moskow.
Joe Biden masih terbelit persoalan anaknya, Hunter Biden, yang terendus mendapatkan konsesi bisnis di Kiev sejak Euromaidan.
Sementara bagi industrialis senjata, perpanjangan konflik Rusia-Ukraina berarti mesin-mesin pembuat senjata akan terus berputar, dan yang artinya ini cuan.
Bagi para elite penghasut perang, langgengnya perang Rusia-Ukraina dipercaya akan melemahkan kekuatan Rusia, dan artinya bisa mengurangi apa yang mereka sebut ancaman bagi Eropa.
Elite pemerintahan Presiden Biden yakin, menjaga aliran senjata ke Ukraina, maka AS akan mencegah konfrontasi langsung dengan Rusia di masa depan.
Setelah merebut Ukraina, Moskow mereka yakini akan menyerang salah satu anggota NATO, yang berarti Washington harus mengirimkan pasukan untuk menyelamatkannya.
Tapi di mata seorang Republikan yang lebih percaya kepentingan domestik AS, seperti Donald Trump, peperangan di Ukraina adalah absurd.
Rusia adalah pemenang perang dengan kekuatan-kekuatan hebat di masa lalu. Mereka pernah mengalahkan Napoleon di masa lalu, dan juga Hitler di era modern.
Menurut Trump, Rusia adalah mesin perang yang telah mengalahkan penjajah terkuat di masa lalu. Karena itu ia turut menolak bantuan tambahan miliaran dolar ke Ukraina.
Karena itu Trump mengulangi klaim sebelumnya, jika ia menjabat di Gedung Putih, maka ia bisa mengakhiri perang itu dalam 24 jam.
Ia juga berargumentasi negara-negara Uni Eropa, yang kepentingannya lebih besar dalam konflik ini dibandingkan AS, harus membayar lebih untuk mendukung Kiev.
Presiden Vladimir Putin berulang menegaskan, Rusia tidak akan dan atau tidak berniat menyerang satu pun negara Eropa, atau anggota NATO manapun.
Satu-satunya skenario di mana pasukan Rusia dapat dikirim ke negara anggota NATO seperti Polandia adalah jika Rusia lebih dulu diserang oleh anggota blok militer pimpinan AS itu.
Kini, 10 tahun setelah Euromaidan, dan dua tahun sesudah pasukan Rusia menggelar operasi khusus, kemerosotan drastis terjadi di Ukraina.
Beribu-ribu nyawa tentara, paramiliter, tentara bayaran asing, berjatuhan di medan tempur Donbass, Mariupol, Bakhmut, dan kota-kota strategis lainnya.
Rusia juga kehilangan banyak prajuritnya, kendaraan tempur darat, laut, maupun udara, serta kerugian material yang tak kalah besarnya.
Namun begitu, di tengah himpitan sanksi Uni Eropa dan AS serta Inggris, perekonomian Rusia tetap stabil. Ekspor migas juga justru naik dengan pasar besarnya di Asia.
Studi terbaru di Eropa menunjukkan rata-rata hanya 10 persen warga Eropa yang percaya Ukraina akan memenangkan peperangan.
Angka itu mungkin akan semakin turun, jika tidak ada prospek lagi bagi Ukraina membalikkan keadaan, sementara logistik mereka sangat tergantung bantuan barat.
Lebih dari itu, militer Rusia mampu memperlihatkan diri sebagai kekuatan unggul yang bisa menghadapi keroyokan banyak musuh lewat proksi Ukraina.(Setya Krisna Sumarga/Editor Senior Tribun Network)