Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Apa yang Kita Ketahui saat Iran Gempur Langsung Israel
Sinyal Iran akan menyerang Israel dimulai saat pasukan komando Iran mengambilalih kapal kargo MSC Aries berbendera Portugal di Selat Hormuz.
Editor: Setya Krisna Sumarga
TRIBUNNEWS.COM, YOGYA – Akhirnya perang terbuka pecah antara Iran dan Israel. Ratusan rudal diluncurkan Korps Garda Revolusi Islam Iran ke target-target militer dan sasaran di wilayah Israel.
Langsung menuju sasaran, Minggu (14/4/2024) dini hari waktu setempat. Sebagian berhasil dicegat pertahanan udara Israel, lebih banyak yang menghancurkan sasaran yang telah ditentukan.
Sebagian lagi drone kamikaze yang dikirim Iran dicegat jet-jet tempur udara AS dan Inggris saat melintasi Irak dan Suriah.
Sejumlah rudal menghantam Pangkalan Udara Ramon di kota Rahat, Israel selatan. Juru bicara militer Israel Brigjen Daniel Hagari mengklaim kerusakan yang dialami Israel hanya minor.
Sinyal Iran akan menaikkan level pertempuran di kawasan terlihat ketika pasukan komando Iran mengambilalih kapal kargo MSC Aries berbendera Portugal di Selat Hormuz, Sabtu (13/4/2024).
Kapal besar ini berangkat dari Uni Emirat Arab tujuan India. Iran menyatakan MSC Aries berafiliasi dengan Zodiac Maritime yang dimiliki pengusaha Israel berbasis di London.
Baca juga: Iran Lancarkan Serangan Besar-besaran, Kirim Lebih dari 100 Drone ke Israel
Baca juga: Israel Tutup Sekolah, Siapkan Serangan Balasan untuk Iran
Baca juga: Gagal Lumpuhkan Houthi Yaman, AS Tawarkan Iming-iming Khusus
Peringatan ke Negara-negara Arab
Menyusul serangan langsung ke Iran, Teheran memperingatkan pihak manapun untuk tidak membantu kekuatan asing yang akan menyerang balik Iran.
Peringatan itu agaknya ditujukan ke Arab Saudi, Qatar, Bahrain, Emirat Arab, Kuwait, Turki, dan negara-negara lain di Timur Tengah yang digunakan sebagai pangkalan militer AS.
Presiden AS Joe Biden sebelumnya telah menegaskan AS akan membela Israel dan memperingatkan Iran takkan berhasil jika menyerang.
Serangan Iran dilakukan sebagai pembalasan atas serangan rudal ke Konsulat Iran di Damaskus, Suriah, pada 1 April 2024, yang menewaskan dua jenderal Korps Garda Revolusi Islam Iran.
Pemimpin besar Republik Islam Iran, Ayatullah Khamanei, telah bersumpah akan membalas secara sepadan serangan Israel itu.
Lantas apa yang terjadi sesungguhnya? Apa dampak yang bisa mengikuti eskalasi perang di Timur Tengah ini?
Pertama, provokasi Israel yang menyerang komplek diplomatik Iran di Suriah berhasil. Mereka berhasil menarik AS ke konflik Israel-Iran.
Ini terlihat saat Pentagon menggerakkan armada kapal induk USS Dwight Eisenhower mendekat ke Teluk Persia.
Pasukan AS juga langsung bertindak mencegat drone-drone kamikaze dan rudal Iran yang melintasi Irak dan Suriah.
Eskalasi dan keterlibatan AS serta Inggris kemungkinan akan meningkat drastis dalam beberapa hari ke depan.
Hal kedua yang bisa kita lihat, untuk pertama kali Iran mencatatkan sejarah langsung menyerang target di Israel, musuh bebuyutan mereka.
Ratusan rudal dan drone yang dikirimkan langsung ke Israel, menunjukkan kemampuan strategis Iran dalam peperangan regional.
Ini babak baru yang pasti akan mengubah lansekap konflik kawasan, mengingat Iran tak lagi ragu menggunakan metode perang asimetrik atau perang hibrida.
Hal ketiga yang langsung terdampak, harga minyak dunia terkerek. Serangan Iran ini pasti akan mengubah jalur pelayaran paling penting di dunia.
Laut Merah, Teluk Aden, dan Selat Hormuz menjadi jalur pelayaran paling berbahaya di dunia untuk saat ini.
Iran bisa jadi akan menutup Selat Hormuz, yang artinya menghentikan urat nadi perdagangan yang menentukan hidup matinya Timur Tengah.
Houthi Yaman yang serentak bersamaan serangan Iran menerbangkan drone kamikaze ke kota Eilat Israel, bisa memblokade Laut Merah di Teluk Aden yang sempit.
Lantas bagaimana sikap negara-negara di Timur Tengah atas serangan Iran ke Israel ini? Arab Saudi, Emirat Arab, Qatar, Bahrain, Oman, Kuwait memiliki pilihan hidup mati.
Sentimen anti-Israel dan pendukung utamanya seperti AS dan Inggris saat ini sangat kuat di masyarakat kawasan tersebut menyusul perang Gaza.
Sentimen ini menyebabkan kerawanan tinggi bagi eksistensi keluarga-keluarga penguasa di jazirah Arab, yang memiliki hubungan special dengan barat.
Kesalahan menghitung posisi, bisa menyebabkan badai keruntuhan kekuasaan seperti masa Arab Spring yang menghancurkan Tunisia, Libya, dan beberapa negara lain.
Sulitnya, negara-negara itu jadi tuan rumah bagi militer AS. Pangkalan terbesar AS di Timur Tengah ada di Doha, Qatar.
Lainnya ada di pangkalan laut Bahrain dan Oman. Dukungan mereka langsung maupun tak langsung, bisa membuka konflik langsung dengan Iran.
Artinya, perang terbuka di kawasan bakal berkobar, dan sulit dibayangkan eksesnya bagi Timur Tengah dan dunia.
Dengan demikian, kalkulasi politiknya elite Arab akan menahan diri untuk tidak turut campur dalam konflik terbuka Iran-Israel.
Menteri Pertahanan Republik Islam, Jenderal Mohammad Reza Ashtiani, langsung memperingatkan pihak manapun untuk tidak melibatkan diri.
“Negara mana pun yang membuka wilayah udara atau tanahnya bagi Israel untuk menyerang Iran akan menerima tanggapan tegas kami,” kata Ashtiani sesaat setelah serangan Iran ke Israel.
Misi Iran di PBB juga menuntut agar AS dan sekutunya “menjauhi” konflik antara Teheran dan Yerusalem Barat.
Ini adalah masalah bilateral, kata misi tersebut dalam sebuah pernyataan di akun X. Mereka menyatakan, Iran mempunyai hak memberikan tanggapan berdasarkan Pasal 51 Piagam PBB.
Lantas apa kira-kira tanggapan Israel?
Sesudah serangan konsulat Iran di Damaskus, Suriah, pemimpin Israel berdiam diri tidak mengomentari peristiwa itu.
Namun mereka menyatakan jika Iran menyerang Israel, maka serangan balik akan dilakukan langsung ke target-target penting di Iran.
Dua fasilitas nuklir Iran akan jadi sasaran utama Israel, yang kemungkinan akan mengirimkan jet-jet tempurnya lewat jalur Yordania dan Irak.
Jika ini yang terjadi, Israel benar-benar membuka front di semua sisi perbatasan negara tersebut. Front Palestina di Gaza maupun Tepi Barat, dan front Hizbullah di Israel utara.
Israel juga sudah membuka front permusuhan di Suriah dan Yaman, serta beberapa kali terlibat serangan udara di Irak.
Jadi ada tujuh (7) front permusuhan yang telah diciptakan Israel di kawasan Timur Tengah. Negara zionis ini benar-benar secara politik militer berkonflik dengan banyak negara di sekelilingnya.
Hanya dengan Yordania dan Mesir, Israel masih memiliki perjanjian damai, yang ini pun secara politik juga rapuh mengingat sentimen negative mayoritas masyarakat kedua negara tersebut.
Peperangan yang diciptakan Israel di tujuh front ini memunculkan pertanyaan, seberapa kuat secara ekonomi maupun militer mereka mampu menopang kebutuhan konflik?
Secara matematis Israel mestinya tidak mungkin menopang kebutuhan finansialnya selama berbulan-bulan untuk berperang.
Faktor dukungan AS pastinya jadi kunci. Tapi seberapa kuat pula Washington mampu mendanai peperangan di sekurangnya dua front besar, Ukraina dan Israel?
Provokasi Israel terhadap Iran lewat cara menggempur komplek diplomatik di Damaskus memang langkah sangat ekstrem.
Jika kita melihat sepintas sejarah, aktor-aktor negara sebenarnya tidak pernah menyerang misi diplomatik negara lain, kecuali pada masa perang total.
Contoh yang paling relevan dan terkini adalah ketika AS mengebom Kedutaan Besar Tiongkok di Beograd, yang sekarang menjadi Serbia, pada 1999, yang diklaim sebagai sebuah kecelakaan.
Meskipun, yang pasti, Beijing tidak percaya hal ini terjadi meskipun pemerintahan Presiden Bill Clinton telah meminta maaf.
Situasi seperti ini benar-benar tidak dapat diterima dan menjadi preseden buruk bagi hubungan internasional.
Israel, serta negara-negara seperti ASc, tidak mempunyai hak untuk melakukan tindakan militer di Suriah tanpa persetujuan tegas dari pemerintah Suriah yang diakui PBB.
Melakukan hal ini merupakan pelanggaran terang-terangan terhadap Piagam PBB.
Selain melanggar Piagam PBB, penyerangan terhadap konsulat Iran jelas merupakan pelanggaran terhadap Konvensi Wina tentang Hubungan Diplomatik 1961 dan Konvensi Wina tentang Hubungan Konsuler 1963.
Karena itu serangan yang menewaskan dua jenderal Iran adalah benar-benar agitasi yang bertujuan menyeret AS dan sekutunya ke perang eksistensial.
Opini publik di negara-negara barat terhadap Israel dan kekejaman yang terus berlanjut di Gaza telah sampai titik kritis.
Bahkan untuk pertama kali sejak Israel mengatasi perlawanan Palestina, ada anggota Kongres AS mengkritik Israel.
Tahun berikutnya, organisasi hak asasi manusia arus utama seperti Amnesty International dan Human Rights Watch menerbitkan laporan pedas yang menuduh Israel melakukan apartheid.
Beberapa waktu belakangan, sejumlah negara yang tadinya netral, seperti Afrika Selatan, mempersoalkan Israel ke Mahkamah Internasional terkait kejahatan perang.
Norwegia, Australia, dan beberapa negara lain, mulai menarasikan pengakuan Palestina sebagai sebuah negara.
Situasi ini bagi elite Israel memerlukan ledakan masalah, agar para sponsor dan mitra baik Israel menemukan isu sama; dan Iran adalah targetya.
Apakah konflik terbuka Iran-Israel akan berlanjut di darat? Mungkin tidak dalam waktu cepat. Kuncinya ada di Washington.
Serta tentu saja di PM Benyamin Netanyahu, yang butuh jalan keluar dari himpitan tekanan domestik yang menginginkannya berhenti memimpin Israel.
Konflik Iran-Israel ini pastinya juga bakal mengaburkan isu kejahatan perang dan genosida yang dilakukannya di Jalur Gaza.(Setya Krisna Sumarga/Editor Senior Tribun Network)