Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Dag Dig Dug Kunjungan Paus Fransiskus
Paus Fransiskus tidak selincah para Paus pendahulu, misalnya melakukan tradisi mencium tanah tempat dia berkunjung dan juga soal kesehatan Sri Paus
Editor: Eko Sutriyanto
Oleh Algooth Putranto*)
TRIBUNNEWS.COM - TAKHTA Suci Vatikan telah memastikan Paus Fransiskus akan melakukan kunjungan Kenegaraan ke Indonesia pada 3 – 6 September 2024. Setelah itu, Sri Paus akan ke Papua Nugini, Timor Leste dan Singapura.
Kunjungan yang telah dinanti selama 35 tahun ini akhirnya terwujud setelah sebelumnya Paus Fransiskus sebetulnya telah merencanakan kunjungan ke Indonesia sejak 2020, namun belum dapat terlaksana karena adanya pandemi Covid-19.
Bagi Indonesia, ini jelas kunjungan bersejarah karena ini kali ketiga pemimpin Tahta Suci berkunjung. Kali pertama adalah Sri Paus Paulus VI pada 3 Desember 1970, itu pun hanya sehari. Usai bertemu Presiden Soeharto, Paus berkunjung ke Gereja Katedral dan Gelora Bung Karno lalu pulang.
Kali kedua kunjungan dilakukan Paus Yohanes Paulus II pada 9 sampai 14 Oktober 1989, itu pun tertunda 5 tahun dari rencana awal. Sri Paus asal Polandia itu sebetulnya diharapkan datang pada 1984, bertepatan dengan peringatan 450 tahun Gereja Katolik di Indonesia.
Meski tertunda, kunjungan itu istimewa karena Sri Paus sampai tiga kali bercengkerama Presiden Soeharto, sesuatu yang tak pernah terjadi di negara lain. Enam hari lima malam di Indonesia, Sri Paus menemui umat Katolik di kota Jakarta, Yogyakarta, Maumere, Dili dan Medan.
Tahun ini kunjungan Sri Paus Paus non-Eropa pertama ke Indonesia ini relatif bikin dag..dig..dug umat Katolik Indonesia. Pertama, kondisi kesehatan Sri Paus yang membuatnya harus menggunakan kursi roda membatasi aktivitasnya.
Baca juga: Diplomasi Menjual Bahasa Indonesia Harus Intensif Jelang Kunjungan Paus Fransiskus
Sudah bisa dipastikan Paus Fransiskus tidak selincah para Paus pendahulunya, misalnya melakukan tradisi mencium tanah tempat dia berkunjung, demikian pula interaksi fisik yang dilakukannya akan lebih terbatas.
Keterbatasan fisik ini pula yang bisa dipastikan harus disikapi oleh pihak yang bertanggungjawab pada protokoler Sri Paus selaku Kepala Negara. Sebagai contoh, dalam tradisi penyambutan Kepala Negara biasanya dilakukan cek Pasukan Cordon secara berjalan kaki oleh kedua Kepala Negara.
Maka dalam kunjungan Paus Fransiskus nanti, justru Pasukan Kehormatan dari Batalyon Pengawal Protokoler Kenegaraan (Yonwalprotneg) di bawah Pasukan Pengamanan Presiden (Paspampres) yang akan berjalan di depan Paus dan Presiden Joko Widodo. Bukan masalah besar.
Kedua, dengan keterbatasan fisik yang kini dialaminya, Paus Fransiskus yang sangat sederhana ini dikenal memiliki permintaan khusus yakni tidak mau menggunakan mobil mewah dan anti peluru! Permintaan terdengar sederhana, tapi jelas bikin puyeng Paspampres.
Kita tahu dalam hal urusan keamanan tamu negara Paspampres di mana pun tak akan main-main, kecuali sepertinya dalam kasus Paus Fransiskus. Contohnya ketika kunjungan ke Amerika Serikat tahun 2015.
Saat itu, Sri Paus bikin mayoritas masyarakat Amerika yang Kristen Protestan heboh karena memilih menggunakan si hitam Fiat 500L yang jauh lebih murah dan mungil dengan The Beast, mobil Cadillac anti peluru Presiden Obama yang harganya US$1 juta.
Nah kali ini, dengan kondisi fisiknya yang harus menggunakan kursi roda, permintaan mobil sederhana dan tidak anti peluru tentunya membuat Paspampres harus berpikir cukup panjang karena tidak mungkin Sri Paus naik Esemka, mobil misterius yang sepertinya khusus digunakan hanya oleh Jokowi.
Hanya di Jakarta
Dengan keterbatasan fisik tersebut pula yang membuat jadwal Sri Paus relatif terbatas. Dari sejumlah diskusi di Jakarta dan Vatikan, Penulis mendapat kesimpulan aktivitas Sri Paus hanya akan dilakukan di Jakarta.
Waktu Sri Paus yang hanya empat hari tiga malam sudah pasti dijadwalkan bertemu Presiden Joko Widodo kemudian berdiskusi dengan sejumlah tokoh Islam di Masjid Istiqlal, berkunjung ke Katedral dan memimpin misa bagi umat Katolik di Gelora Bung Karno.
Oh, hampir lupa. Ketiga, tak seperti Kepala Negara lain yang pasti memilih menginap di hotel bintang lima, Sri Paus ini punya permintaan khusus yakni menginap di kediaman Nunsius Apostolik Takhta Suci untuk Republik Indonesia, Mgr Piero Pioppo di Gambir, tak jauh dari Kedutaan Besar Amerika Serikat.
Dengan seluruh kegiatan difokuskan di Jakarta, bisa dibayangkan umat Katolik dari seluruh penjuru Indonesia akan tumplek blek meriung di Jakarta. Umat Katolik di Pontianak, Flores dan Yogyakarta yang telanjur berbinar-binar dikunjungi Paus, ya maaf saja.
Dalam hal protokoler, kunjungan Sri Paus kali ini juga relatif lebih rumit dibanding dua Sri Paus terdahulu karena saat itu dilakukan di masa Orde Baru yang sentralistik dan militeristik. Apa kata Presiden Soeharto maka semua beres. Kali ini, penulis lihat akan lebih rumit
Jika melihat posisi Sri Paus sebagai Kepala Negara sahabat maka Kementerian Luar Negeri (Kemlu) lah yang berhak di depan, pada sisi lain jika melihat posisi Sri Paus sebagai Pemimpin Umat, maka Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) juga harus berperan.
Ini belum termasuk Kementerian lain, dalam hal ini Kementerian Agama (Kemenag) yang entah ada di posisi apa terlihat jelas ada keinginan ikut-ikutan tampil memanfaatkan momentum kehadiran Sri Paus.
Dari seluruh kerumitan ini, kunjungan Sri Paus masih harus ditinjau terlebih dahulu oleh Gianluca Gauzzi Broccoletti, Kepala Keamanan dan Perlindungan Sipil Vatikan dan komandan Polisi Gendarmerie (Corpo della Gendarmeria).
Dengar punya dengar alumni Universitas Sapienza ini akan datang Juni mendatang, sekaligus melihat kesiapan lain, salah satunya urusan peliputan. Dalam kunjungan Sri Paus nanti sedikitnya ada 89 Vaticanisti, sebutan bagi jurnalis peliput Sri Paus.
Para Vaticanisti itu akan embeded alias mendampingi Sri Paus dari Roma hingga kembali ke Roma. Ironisnya, sampai saat ini dari seluruh Vaticanisti tersebut tak satupun jurnalis asal Indonesia. Lho kok bisa? Ya begitulah.
Bagaimana mau ada Vaticanisti dari Indonesia, jika sampai saat ini bahasa Indonesia yang sudah diakui sebagai bahasa resmi UNESCO belum menjadi salah satu bahasa layanan Vatikan. Justru bahasa Melayu yang lebih dikenal di Vatikan. Urusan remeh ini lah yang menjadi misi kami ke Vatikan April lalu.
*) Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Pembangunan Jaya