Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Menelaah Narasi Ancaman Kelebihan Kapasitas Sektor EV Tiongkok
Akar dari kecemasan tersebut adalah Tiongkok akan melampaui AS dalam hal teknologi ramah lingkungan dan sektor industri baru lain di tataran global
Editor: Eko Sutriyanto
Oleh : Christine Susanna Tjhin *)
MESKIPUN tidak sedikit yang melabuhkan harapan bahwa kunjungan Menteri Keuangan AS Janet Yellen ke Tiongkok kali ini bisa menurunkan temperatur ketegangan geopolitik, realita kembali menyurutkan harapan tersebut.
Menurut Yellen, kenaikan investasi di industri-industri baru, terutama di sektor energi hijau (termasuk EV, batere lithium-ion dan solar), akan menggeser harga pasar dunia dengan kehadiran produk-produk Tiongkok dengan harga yang lebih terjangkau. Yellen mencemaskan “kelebihan kapasitas produksi” Tiongkok, terutama di bidang industri energi bersih yang memasuki pasar Amerika dan Eropa.
Perlu dicatat bahwa Yellen merepresentasikan kubu “merpati” yang relatif lebih bersahabat. Aktor-aktor kubu “elang” lebih condong pada narasi faktor “ancaman keamanan nasional” yang secara tidak mengejutkan telah banyak mendapat panggung di platform media arus-utama Barat - mulai dari ancaman keamanan data dalam EV asal China, ancaman bagi pelaku industri otomotif di AS, dan sebagainya.
Akar dari kecemasan tersebut adalah bahwa Tiongkok akan melampaui AS dalam hal teknologi ramah lingkungan dan sektor industri baru lainnya di tataran global.
Komitmen dan dukungan pemerintah Tiongkok terhadap perkembangan sektor energi hijau bisa dipahami sebagai upaya perlindungan terhadap sejumlah sektor swasta sebagai bibit-bibit yang akan menopang pertumbuhan ekonomi masa depan, terutama sejak dicanangkannya kebijakan Kekuatan Produktif Baru yang mengedepankan faktor teknologi tinggi, efisiensi tinggi dan kualitas tinggi.
Namun perlindungan yang berlebihan justru akan berpotensi melemahkan bibit-bibit tersebut dan merusak struktur fundamental ekonomi domestik, sehingga secara bertahap perlindungan awal tersebut sudah direduksi bahkan dihilangkan.
Untuk sektor EV, misalnya, subsidi telah dikurangi sejak tahun 2022 dan di tahun 2023 telah tidak ada lagi. Yang menjadi fokus sekarang lebih pada subsidi untuk para konsumen melalui kemudahan pajak pembelian, sistem kredit EV serta perluasan dan konsolidasi ekosistem EV untuk para pengguna.
Baca juga: Israel Dongkol ke China, Sentil Kemesraan Iran dan Tiongkok
Perlindungan awal untuk sektor industri domestik adalah praktek biasa bagi negara-negara di dunia. Presiden Biden mengupayakan perlindungan sektor industri domestik AS sendiri, terutama sektor energi terbarukan dan sektor BBM serta sejumlah mineral lainnya melalui UU Pengurangan Inflasi (Inflation Reduction Act) tahun 2022, UU Membangun Kembali dengan Lebih Baik (Build Back Better Act), UU CHIPS tahun 2022, UU Infrastruktur Bipartisan tahun 2021 dan lainnya, serta sejumlah peraturan non-ekonomi. Biden tidak hanya meneruskan pendekatan proteksi era Trump, tapi bahkan mengembangkan mereka secara lebih giat.
Berlanjutnya ketegangan geopolitik antara kedua adidaya tentunya membawa dampak signifikan terhadap kawasan, terutama kawasan Asia Tenggara, di mana dinamika hubungan Tiongkok dengan ASEAN jelas semakin bergelora.
Hingar bingar di media arus utama Barat terkait narasi ancaman baru ini tertangkap pula oleh para pemangku kepentingan (stakeholders) di negara-negara ASEAN yang masih menyerap narasi tersebut.
Perlu kejelian untuk menakar perkembangan persaingan geopolitik tersebut dan memilah bagaimana para adidaya bersikap dalam menjaga stabilitas dan pertumbuhan pembangunan dan kemakmuran di kawasan. Apalagi, Indonesia, sebagai pemimpin alamiah kawasan Asia Tenggara, juga menargetkan diri menjadi salah satu pemain utama dalam industri EV di tataran global.
Sebagai salah satu produsen terdepan bahan baku batere EV, pemilik pasar EV potensial terbesar di kawasan dan bagian penting dari rantai produksi sektor energi hijau baru di kawasan, Indonesia perlu proaktif dalam menahkodai diplomasinya di tengah ketegangan rivalitas AS-Tiongkok yang tak kunjung surut.
Penutupan pasar dan akses sumber daya produsen Tiongkok oleh AS untuk menurunkan sirkulasi EV China berpotensi sebagai ancaman bagi perkembangan industri-industri penyedia sumber daya yang relevan di Indonesia. Selain itu, potensi proses alih teknologi energi hijau melalui proses investasi juga beresiko tersendat akibat hambatan dari kebijakan-kebijakan proteksi di atas.