Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Jangan Panggil Aku Prof!
Demikianlah Profesor Fathul Wahid, Rektor Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, suatu ketika.
Editor: Hasanudin Aco
Oleh: Karyudi Sutajah Putra, Sarjana Pendidikan
TRIBUINNEWS.COM - Jangan panggil aku Prof!
Demikianlah Profesor Fathul Wahid, Rektor Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, suatu ketika.
Maka jika di Istana ada Abdurrahman Wahid, kini di kampus ada Fathul Wahid. Keduanya sama-sama melakukan desakralisasi atau membuat sesuatu yang semula dianggap sakral (suci) menjadi tidak sakral lagi.
Jika Abdurrahman Wahid alias Gus Dur melakukan desakralisasi terhadap Istana Negara di Jakarta semasa menjabat Presiden RI, sehingga semua orang dengan berbagai latar belakang, termasuk mereka yang sarungan dan bersandal jepit boleh masuk Istana, Fathul Wahid melakukan desakralisasi terhadap gelar Profesor alias Guru Besar, terutama di lingkungan kampusnya di Yogyakarta.
Adapun tujuan Fathul Wahid melakukan desakralisasi terhadap gelar Profesor adalah agar atribut tersebut tidak diburu dengan menghalalkan segala cara.
Baca juga: Mahfud MD Menilai Rektor UII Minta Gelarnya Disembunyikan Bentuk Protes Banyaknya Profesor Abal-abal
Fathul, seperti dilansir sebuah media, juga meminta agar semua gelar akademiknya tidak dicantumkan dalam surat, dokumen, dan produk hukum kampusnya selain ijazah dan transkrip nilai atau setara dengan itu.
Hal tersebut tertuang dalam Surat Edaran (SE) Nomor: 2748/Rek/10/SP/VII/2024 yang dialamatkan kepada seluruh pejabat struktural di lingkungan UII dan diteken oleh Fathul Wahid sendiri, Kamis (18/7/2024).
Adapun tujuan SE itu adalah menguatkan atmosfir kolegial dalam tata kelola perguruan tinggi dengan prinsip kesetaraan atau "equality".
Nama dia yang selama ini tertulis dengan gelar lengkap "Prof. Fathul Wahid, S.T., M.Sc., Ph.D." pun dia minta agar dituliskan tanpa gelar apa pun, menjadi "Fathul Wahid" saja.
Namun, menurut Fathul, apa yang tertuang dalam surat edaran itu hanya untuk dirinya seorang diri. Dia tak mewajibkan para dosen atau pejabat UII lainnya mengambil langkah serupa. Namun jika ada yang mau mengikuti langkahnya, dipersilakan.
Jangan panggil Fathul Wahid, Prof. Sebab, sudah lama ia menganggap gelar Profesor terkait dengan jabatan akademik, yang lebih punya tanggung jawab daripada "berkah".
Jabatan Profesor, jelas dia, punya amanah besar yang melekat daripada untuk kepentingan status individu.
Ia menilai sangat tidak relevan secara moral ketika apa yang menyangkut tanggung jawab akademik itu dicantumkan ke dalam berbagai surat, dokumen, bahkan kartu nama.
Fathul pun mengajak yang lainnya menjadikan hal itu sebagai gerakan kultural atau gerakan budaya (dan juga moral tentunya).
Memang, akhir-akhir ini menyeruak fenomena pejabat dan politikus mengejar gelar Profesor. Termasuk mereka yang melakukannya dengan menghalalkan segala cara. Misalnya, yang gelar S2-nya terbit terlebih dulu daripada gelar S1-nya yang terbit kemudian.
Ada sejumlah hal yang patut diduga menjadi motif atau pemicu perburuan gelar Profesor.
Pertama, motif politik. Motif ini berlaku terutama bagi para pejabat publik yang berkecimpung di dunia politik. Dengan bergelar Guru Besar maka posisi mereka sebagai pejabat publik akan kian mendapatkan legitimasi secara politik (dan moral).
Kedua, motif ekonomi. Motif ini terutama berlaku bagi mereka yang mengejar pendapatan. Maklum, tunjangan bagi Guru Besar mencapai Rp11 juta, sedangkan dosen biasa hanya Rp3-4 juta per bulan.
Ketiga, motif prestise. Motif ini terutama berlaku bagi mereka yang mengejar kehormatan secara sosial. Motif ini terkait dengan feodalisme.
Motif ini berlaku pula bagi mereka yang mengalami krisis identitas. Gelar Guru Besar menjadi identitas baru bagi mereka. Dengan identitas baru tersebut mereka lebih percaya diri.
Maka marak pulalah perburuan gelar doktor sebagai batu loncatan untuk meraih gelar Profesor. Pun gelar doktor honoris causa demi sebuah prestise.
Tapi tidak bagi Fathul Wahid. Baginya, gelar Profesor hanya atribut belaka. Artifisial saja. Tidak substantif. Tidak esensial.
Apalah arti sebuah nama. Apalah arti sebuah gelar.
"What's in a name? That which we call a rose by any other name would smell as sweet," kata William Shakespeare (1564-1616), pujangga terbesar Inggris, yang artinya kurang lebih, “Apalah arti sebuah nama? Andaikata kita memberikan nama lain untuk bunga mawar, ia tetap akan berbau wangi.”