Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Revisi UU Pilkada Batal, Bagaimana Nasib Oligarki Serta Koalisinya?
Rakyat sudah bangkit melawan oligarki. DPR sudah angkat tangan dan membatalkan revisi UU Pilkada. Bagaimana dengan partai politik ?
Penulis: Yulis Sulistyawan
Editor: Yulis
DPR AKHIRNYA membatalkan rencana pengesahan revisi UU Pilkada yang pada pokok isinya adalah menganulir putusan Mahkamah Konstitusi.
Pembatalan dilakukan karena jumlah anggota DPR yang hadir pada sidang paripurna tidak memenuhi kourum. Dari 575, yang hadir hanya 89 anggota DPR.
Secara bersamaan, ratusan ribu rakyat turun ke jalan menentang langkah DPR yang dianggap ugal-ugalan melawan putusan Mahkamah Konstitusi.
Tak hanya mahasiswa dan buruh yang beraksi. Puluhan guru besar yang biasanya hanya mengajar di kampus, kemarin ikut berjalan kaki dan beraksi di depan gedung DPR RI.
Ratusan tokoh masyarakat, budayawan dan pesohor yang biasanya hanya meghiasi layar televisi atau sosial media, kemarin ikut berdemonstrasi. Bahkan sebagian berorasi di atas mobil komand0 aksi berhadapan persis dengan aparat keamanan.
Kemarahan rakyat memuncak setelah menyaksikan DPR secara ugal-ugalan melawan putusan MK Nomor 60/PUU-XXII/2024 dan Nomor 70/PUU-XXII/2024.
MK sebelumnya membatalkan beberapa pasal di UU Pilkada tentang syarat ambang batas pencalonan kepala daerah. Awalnya syarat pencalonan adalah 20 persen dari jumlah kursi DPRD atau 25 persen perolehan suara menjadi maksimal 10 persen dari suara sah
MK juga mengembalikan syarat umur calon kepala daerah. Awalnya 30 tahun saat pelantikan, dikembalikan lagi menjadi 30 tahun saat pendaftaran.
Tak sampai 48 jam, Baleg DPR RI merevisi UU Pilkada. Baleg memutuskan, syarat pencalonan kepala daerah, tetap 20 persen kursi DPRD dan 25 persen perolehan suara. DPR hanya mengakomodir putusan MK, yakni partai yang tak memperoleh kursi DPRD, bisa mencalonkan dengan syarat perolehan suara maksimal 10 persen seperti putusan MK.
Syarat usia calon pun diubah lagi menjadi 30 tahun saat pelantikan. Sehingga Kaesang bisa tetap mencalonkan diri.
Hasilnya, aksi besar-besaran menentang DPR terjadi dimana-mana, tidak hanya di Jakarta. Hampir di kota-kota besar di Indonesia, terjadi aksi serupa.
Demokrasi Mundur
Aksi menentang DPR ini menggelegak lantaran masyarakat menyaksikan proses demokrasi di Indonesia berjalan mundur.
Oligarki kian mendominasi dengan menggunakan kekuasaannya untuk menekan, mengancam serta menyandera secara politik.
Secara mengejutkan, partai politik yang awalnya hendak mengajukan calon tertentu, kemudian berbelok arah bergabung dalam koalisi besar parpol tertentu.