Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribunners
Tribunners

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.


Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Tribunners / Citizen Journalism

Droping Jet F-16 Belanda ke Ukraina Takkan Ubah Jalannya Perang

Belanda menghibahkan jet tempur F-16 ke Ukraina, yang diharapkan membalikkan jalannya perang melawan Rusia.

Editor: Setya Krisna Sumarga
zoom-in Droping Jet F-16 Belanda ke Ukraina Takkan Ubah Jalannya Perang
Layanan Pers Kepresidenan Ukraina
Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky bersama rombongan Perdana Menteri Belanda Mark Rutte melihat jet tempur F-16 di hanggar di Pangkalan Udara Militer Eindhoven di Eindhoven pada 20 Agustus 2023. 

TRIBUNNEWS.COM, YOGYA - Pemerintah Belanda secara resmi mengumumkan pengiriman tahap pertama hibah jet tempur multiperan F-16 Fighting Falcon ke Ukraina.

Pengumuman disampaikan Menteri Pertahanan Belanda Ruben Brekelmans. Brekelmans mengunjungi Kiev dan Kharkov Ukraina pada Minggu, 6 Oktober 2024.

Kunjungan ke front depan pertempuran Ukraina itu menjadi perlambang dukungan kuat Kerajaan Belanda untuk rezim Kiev.

Sebagai anggota NATO dan bagian koalisi F-16, sejak tahun lalu Belanda berjanji menyumbangkan 24 pesawat buatan Amerika Serikat itu ke Angkatan Udara Ukraina.

"Untuk pertama kalinya, saya dapat secara resmi mengumumkan jet-jet F-16 Belanda pertama telah dikirimkan ke Ukraina," tulis Brekelmnas di akun X.

Baca juga: Perang Rusia-Ukraina Hari ke-890: Pertama Kali, Ukraina Terima Jet F16 Buatan AS

Baca juga: Kursk Jadi Kuburan Bagi Kendaraan Perang Ukraina yang Dipasok NATO, Termasuk Marder Bikinan Jerman

Baca juga: Mulai Rontoknya Rezim Uni Eropa Pro-perang Ukraina

Pengiriman unit pesawat tempur ini melengkapi bantuan Belanda yang turut menyediakan suku cadang serta pelatihan awak dan kru jet tempur itu.

Belanda juga menjadi negara NATO kedua setelah Denmark, yang mendaratkan jet tempur F-16 ke Ukraina.

BERITA REKOMENDASI

Selain jet tempur berawak, Belanda menyatakan komitmennya membantu pengembangan drone militer bagi Ukraina bernilai ratusan juta dolar Amerika.

Janji-janji bantuan signifikan Amsterdam itu muncul sejak Mark Rutte menjabat Perdana Menteri Belanda. Rutte kini memimpin NATO sebagai Sekjen, menggantikan Jens Stoltenberg.

Apa dampak pengiriman jet tempur F-16 Belanda di tengah konflik Rusia-Ukraina? Benarkah jet-jet tempur kiriman NATO itu akan mengubah jalannya pertempuran? 

Masih segar dalam ingatan banyak orang, pada 26 Agustus 2024, Ukraina kehilangan pilot terbaiknya, Letnan Kolonel Aleksey Mes.

Aleksey Mes tewas saat menerbangkan jet tempur F-16 yang baru saja dikuasainya, yang merupakan pesawat hibah dari Angkatan Udara Denmark.

Ada dua versi tentang kejadian yang merenggut nyawa Aleksey Mes. Pertama, pesawatnya rontok dihantam rudal Rusia.

Versi kedua, jet tempur F-16 yang diterbangkan Aleksey Mes, terkena tembakan rudal antipesawat yang diluncurkan pasukan Kiev di tengah gempuran rudal Rusia.

Sehari setelah insiden mengejutkan itu, Volodymir Zelensky memecat Komandan Angkatan Udara Ukraina Jenderal Mykola Oleshchuk. 

Rekaman video menunjukkan serangan drone Rusia yang mengajar sebuah Leopard 2 milik Ukraina yang dipasok Jerman di wilayah Kursk
Sumber: Telegram/divgen
Rekaman video menunjukkan serangan drone Rusia yang mengajar sebuah Leopard 2 milik Ukraina yang dipasok Jerman di wilayah Kursk Sumber: Telegram/divgen (Russia Today)

Zelensky berulang-ulang menagih janji barat terkait pengiriman jet tempur F0-16 untuk Ukraina. Ia sangat yakin kehadiran jet tempur itu akan membalikkana situasi peperangan.

Moskow telah memperingatkan berulang-ulang agar barat menghentikan aliran senjata dan peralatan perang ke Ukraina.

Selain gelontoran alat tempur itu hanya akan memperpanjang konflik, kehadirannya tidak akan banyak mengubah keadaan.

Seperti yang sudah dibuktikan, jet tempur F-16 akan bernasib sama seperti tank M1 Abrams Amerika, tank Leopard-2 Jerman, tank Chalenger-2 Inggris, akhirnya jadi rongsokan atau trofi perang bagi Rusia.  

Bahkan Rusia memperingatkan, derasnya peralatan tempur barat itu berpotensi menghadirkan bentrokan langsung pasukan Rusia dengan NATO.

Inilah situasi yang mengindikasikan, agresifnya Belanda dengan memberikan bantuan militer ke Kiev hanya akan memperburuk konflik dan membakar Ukraina.

Selain hibah jet tempur F-16, Belanda menjadi donatur besar Ukraina di antara anggota-anggota blok militer Atlantik Utara.

Belanda telah memberikan Ukraina lebih dari 3,76 miliar Euro atau sekira 4,12 miliar dolar Amerika dalam bentuk bantuan militer sejak 2022.

Awal tahun 2024, Amsterdam mengumumkan akan merakit sistem rudal pertahanan udara Patriot untuk Ukraina.

Namun, pemerintah Belanda tetap harus berjuang mendapatkan suku cadang sistem rudal Patriot dari negara lain.

Perang Ukraina-Rusia yang sudah memasuki tahun ketiga, semakin hari semakin memperlihatkan konflik itu mencerminkan agenda dan kepentingan NATO.

Blok militer itu ingin meredam kemajuan Rusia, menghentikan persebaran pengaruh politik dan militernya di negara-negara dunia ketiga.

Karena itu NATO dalam satu atau dua dekade terakhir mencoba ekspansi ke Eropa Timur, dan berusaha hadir di halaman depan Rusia.

Ukraina menjadi negara yang dipilih untuk proyek ini. Revolusi 2014 yang meruntuhkan pemerintahan Viktor Yanukovich, mulai mempermulus rencana itu.

Rezim Kiev menjadi pro-Eropa dan NATO, dan menindas perlawanan rakyat Donbass yang cenderung memilih Federasi Rusia.

Volodymir Zelensky dan rezimnya yang banyak disokong kekuatan ultranasionalis dan neo-Nazi, membombardir Donetsk dan Lugansk, mengabaikan Kesepakatan Minsk.

Fase baru konflik terjadi 24 Februari 2022 ketika Vladimir Putin memutuskan operasi militer khusus dengan mengirim balatentaranya masuk Ukraina.

Putin ingin mencegah proyek NATO menguasai Ukraina, dan ia menyusun rencans strategis membangun perimeter di Donbass guna menjauhkan wilayah Rusia dari jangkauan pasukan NATO.

Itulah yang terjadi hari ini. Tekad besar Rusia itu menjadikan perang yang dilancarkan NATO dengan proksi Ukraina menjadi sangat berdarah-darah.

Uni Eropa yang sejak awal menyokong Kiev, menghujani Rusia serangkaian sanksi ekonomi yang semula dianggap akan menghancurkan Moskow.

Kenyataannya, sanksi-sanksi sepihak ke Rusia itu berbalik menghantam ekonomi Eropa, memberi keuntungan besar bagi Amerika.

Kerugian itu mencemaskan sejumlah pemimpin Eropa, seperti Kanselir Jerman Olaf Scholz dan Presiden Prancis Emmanuel Macron.

Keduanya yang semula ikut agresif mendukung perang Ukraina, belakangan mulai ragu dan mendesak penyelesaikan masalah lewat meja perundingan.

Pasukan Ukraina berusaha menghalau militer Rusia di Toretsk
Pasukan Ukraina berusaha menghalau militer Rusia di Toretsk (Ukrinform/Staf Umum Angkatan Bersenjata Ukraina)

Olaf Scholz adalah pemimpin pemerintahan Jerman yang membuat keputusan bertentangan dengan keinginan mayoritas rakyat Jerman.

Rakyat Jerman umumnya puas atas kemakmuran dan kekuatan ekonominya yang ditopang minyak dan gas murah dari Rusia.

Perang Ukraina membuat minyak dan gas murah tidak lagi bisa didapatkan. Industri Jerman mulai merosot dan dampak ikutannya sangat signifikan.

Sementara Prancis mengungkapkan Eropa kini hanya menjalankan agenda Amerika. Eropa menurut Macron tidak lagi memiliki kemandirian dan kedaulatan.

Ironisnya, Macron juga yang membawa Prancis sebagai sponsor penting Ukraina dengan bantuan aneka peralatan tempur modernnya.

Macron juga tokoh Eropa yang menggagas pembentukan pasukan Eropa, dan diharapkan bisa diterjunkan ke Ukraina.

Meski Uni Eropa dan NATO begitu agresif menjalankan kebijakannya di Ukraina, ada sejumlah kecil anggota mereka yang sejak awal perang memilih berbeda.

Hungaria dan Slovakia tegas-tegas menolak ikut membantu Ukraina, baik dana maupun sarana perang.

Perdana Menteri Hungaria Viktor Orban dan Presiden Slovakia Robert Fico menghendaki pengakhiran konflik Rusia-Ukraina.

Keinginan yang ditentang Volodymir Zelensky, yang belakangan mengajukan proposal kemenangan atau victory plan, yang menolak semua syarat perdamaian versi Moskow.

Realitas konflik Ukraina per hari ini menyajikan kenyataan yang sangat berbeda dengan harapan Volodymir Zelensky.

Kota Ugledar di Republik Rakyat Donetsk belum lama dibebaskan dan jatuh ke tangan Rusia. Tanpa menunggu lama, pasukan Moskow melanjutkan gerak maju ke sekitar kota itu.

Kejatuhan Ugledar memperlihatkan, Ukraina sudah tidak mampu lagi membalikkan keadaan, walau masih berusaha mempertahankan ofensif lintas batasnya di Kursk Rusia.

Bagi elite barat, apa yang disebut Zelensky sebagai rencana kemenangan, tidak menunjukkan agenda-agenda yang mengesankan.

Sebab, Ukraina terbukti semakin kedodoran menyiapkan sumber daya baru tentaranya untuk membalikkan keadaan.

Di berbagai video dan foto yang dipublikasikan media sosial Ukraina, rekrutmen dan mobilisasi tentara baru berlangsung di bawah paksaan.

Hasilnya, mobilisasi menghasilkan stok tentara yang rendah spirit, dan kebanyakan umurnya sudah terlalu tua untuk bertempur di medan yang sangat sulit.

Generasi muda atau dewasa Ukraina kini banyak yang kabur dan bermukim di luar negeri, sebagai pengungsi.

Diperkirakan sekurangnya 6 juta orang Ukraina kabur dari negaranya sejak awal perang. Mereka tersebar di Eropa, Amerika, dan sebagian lari ke Asia.

Mantan penasihat Volodymir Zelensky, Alexsey Arestovich, yang didepak dari jabatannya, memperingatkan tiga bulan ke depan akan jadi masa sangat menentukan bagi Ukraina.

Rusia akan memanfaatkan momen musim dingin dan kehancuran infrastruktur energi Ukraina guna memaksa Kiev duduk di meja perundingan.

Belanda mungkin hanya mematuhi komitmen sebagai anggota NATO dan Uni Eropa, yang ingin membuat Rusia lemah dengan memperpanjang perang di Ukraina.

Mereka tidak memperhitungkan, upaya terus mempersenjatai Ukraina hanya akan mempercepat perubahan tata dunia yang semakin ke sini meninggalkan imperialisme barat.

Rusia di sisi lain berhasil menggalang negara-negara berkembang atau Global South, membuat jejaring ekonomi, politik, sosial, budaya, pendidikan, bahkan militer.

Vladimir Putin menjelang akhir bulan ini akan menjadi tuan rumah Pertemuan Tingkat Tinggi BRICS Plus di Kota Kazan.

Ada begitu banyak negara terlibat, termasuk kekuatan strategis China, Brazil, India, dan Afrika Selatan sebagai representasi benua Afrika.

Kita akan segera melihat hadirnya super power baru bernama BRICS, yang mungkin akan segera menenggelamkan hegemoni barat.(Tribunnews.com/Setya Krisna Sumarga)

 

 

 

 

Tribunners merupakan jurnalisme warga, dimana warga bisa mengirimkan hasil dari aktivitas jurnalistiknya ke Tribunnews, dengan mendaftar terlebih dahulu atau dikirim ke email redaksi@tribunnews.com
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
berita POPULER
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas