Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
R.M. Margono Djojohadikusumo: Bangsawan Jawa yang Berjiwa Rakyat
RM Margono Djojohadikusumo dikenal sebagai seorang yang sederhana, menjunjung tinggi nilai-nilai ngayomi meski berasal dari keluarga ningrat.
Editor: Sri Juliati
Oleh: Fahrus Zaman Fadhly
Kolumnis, Akademisi, dan Penekun Sejarah Founding Fathers
TRIBUNNEWS.COM - Di balik lembaran sejarah Indonesia, nama Raden Mas Margono Djojohadikusumo menjadi salah satu figur yang memancarkan makna sejati dari istilah noblesse oblige.
Sebagai seorang bangsawan Jawa yang lahir pada 16 Mei 1894 di Banyumas, Margono bukan hanya seorang tokoh politik dan ekonom, tetapi juga seorang patriot sejati yang rela berjuang tanpa pamrih demi rakyatnya.
Margono memanifestasikan filosofi Jawa manunggaling kawula lan gusti, yaitu persatuan antara pemimpin dan rakyat, dalam setiap aspek kehidupannya (Reid, 2011).
Margono dikenal sebagai sosok yang konsisten dalam menjalankan nilai-nilai kebajikan.
Dalam setiap langkahnya, ia selalu mengutamakan kebermanfaatan bagi banyak orang, menjadikan pengabdian sebagai inti dari kehidupannya (Vickers, 2013).
Filosofi hidupnya tidak hanya tercermin dalam karya dan kebijakan yang ia hasilkan, tetapi juga dalam interaksi sehari-hari dengan masyarakat.
Namun, perjalanan hidup Margono tidak hanya dihiasi oleh kontribusi besar, tetapi juga oleh cobaan berat.
Kehilangan dua putranya, Kapten Subianto (21 tahun) dan Kadet (Taruna) Sujono, dalam Pertempuran Lengkong tidak membuat Margono surut memperjuangkan cita-cita bangsa (Tirtosudarmo, 2018).
Dalam pertempuran tragis tersebut, yang menyerupai kisah Saving Private Ryan besutan Steven Spielberg, kedua putranya gugur bersama pimpinannya, Mayor Daan Mogot, demi mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
Baca juga: Usulan Gelar Pahlawan Nasional bagi RM Margono Djojohadikusumo: Dedikasi pada Pahlawan Terlupakan
Kisah ini menegaskan betapa pengorbanan keluarga Djojohadikusumo bagi nusa dan bangsa begitu besar.
Nama kedua putranya, Subianto dan Sujono, kemudian diabadikan kepada cucunya, Prabowo Subianto dan Hashim Sujono Djojohadikusumo.
Pengorbanan keluarga ini menjadi simbol pengabdian tanpa batas untuk Indonesia.
Dalam konteks ini, Sygma Research and Consulting yang dipimpin Sejarawan Yuristiarso Hidayat, mengusulkan Margono untuk dianugerahi gelar Pahlawan Nasional, dengan mengkaji secara mendalam kiprahnya dalam sejarah Indonesia.
Dengan dukungan dokumen dan penelitian terbaru, kontribusi Margono kini semakin diakui dan dihargai oleh bangsa ini (Sygma Research, 2025).
Bangsawan yang Merakyat
Meski berasal dari keluarga ningrat, Margono dikenal sebagai seorang yang sederhana dan menjunjung tinggi nilai-nilai ngayomi dan ngayemi (melindungi dan menyejahterakan).
Berbeda dengan stereotip bangsawan yang hidup mewah, Margono memilih jalan hidup yang mendekatkan dirinya pada rakyat kecil.
Filosofi hidupnya mencerminkan nilai sangkan paraning dumadi, yaitu kesadaran akan tanggung jawab sebagai pemimpin yang berasal dari rakyat dan kembali kepada rakyat (Lev, 2000).
Sebagai anak bangsa, Margono menyadari bahwa tugasnya bukan hanya menjaga nama besar keluarga, tetapi juga memberikan manfaat bagi sesama.
Di masa sulit awal kemerdekaan, ia menunjukkan bahwa kebangsawanan sejati terletak pada pengabdian, bukan kemewahan.
Margono sering digambarkan sebagai sosok beksan bumi, yaitu pribadi yang kokoh, teguh, dan siap menghadapi tantangan demi kebaikan bangsa.
Kesederhanaan hidupnya tidak menghalangi kontribusi besar yang ia berikan.
Margono sering terlibat langsung dalam kegiatan sosial di komunitasnya, dari membantu pembangunan fasilitas umum hingga memberikan pendidikan kepada anak-anak kurang mampu. Baginya, melayani rakyat adalah esensi dari seorang pemimpin.
Selain itu, Margono juga dikenal karena kepeduliannya terhadap tradisi lokal dan keberlanjutan budaya Jawa.
Ia percaya bahwa kekuatan budaya dapat memperkuat identitas nasional, dan selalu mendorong pelestarian nilai-nilai luhur dalam kehidupan bermasyarakat (Ricklefs, 2008).
Margono juga sering hadir dalam perayaan-perayaan lokal, di mana ia memotivasi warga untuk menjaga adat istiadat sebagai bagian dari identitas bangsa.
Baginya, kearifan lokal adalah fondasi penting dalam membangun masyarakat yang berdaya dan berkarakter.
Pendiri BNI: Wujud Nasionalisme Ekonomi
Peran Margono dalam mendirikan Bank Negara Indonesia (BNI) pada tahun 1946 adalah cerminan nyata dari semangat gemah ripah loh jinawi, sebuah konsep kesejahteraan ekonomi yang merata.
Sebagai bank nasional pertama di Indonesia, BNI menjadi simbol kemandirian ekonomi bangsa di tengah himpitan pasca-kolonialisme (Hill, 1996).
Margono melihat bahwa sebuah negara merdeka harus memiliki lembaga keuangan yang kuat untuk mendukung pembangunan ekonomi.
Namun, perjalanan mendirikan BNI bukan tanpa tantangan. Dalam situasi penuh keterbatasan, Margono menggunakan seluruh kemampuannya untuk mewujudkan visi ekonomi yang mandiri.
Ia tidak hanya berpikir sebagai seorang ekonom, tetapi juga sebagai seorang patriot yang memahami bahwa kemerdekaan ekonomi adalah kunci untuk membebaskan rakyat dari penjajahan dalam bentuk baru.
Visi Margono dalam mendirikan BNI tidak hanya berfokus pada stabilitas ekonomi, tetapi juga pada pemberdayaan masyarakat.
Ia memastikan bahwa BNI dapat memberikan akses keuangan kepada rakyat kecil, membuka peluang usaha, dan mendukung pertumbuhan ekonomi lokal.
Margono juga mendorong transparansi dan integritas dalam pengelolaan keuangan di BNI. Baginya, keberhasilan ekonomi bukan hanya soal angka, tetapi juga kepercayaan masyarakat terhadap lembaga keuangan.
Komitmennya terhadap pemberdayaan ekonomi tidak berhenti di BNI. Margono juga berkontribusi dalam berbagai forum kebijakan ekonomi nasional, di mana ia mendorong kebijakan yang berpihak pada kemandirian rakyat kecil dan pengembangan industri lokal.
Selain itu, Margono kerap memberikan pelatihan dan motivasi kepada pegawai bank agar mereka memahami peran penting mereka dalam mendukung ekonomi rakyat.
Langkah ini memperlihatkan visi Margono dalam membangun institusi yang tidak hanya berfungsi tetapi juga bermakna.
Kiprah Margono dalam Sejarah Indonesia
Raden Mas Margono Djojohadikusumo memiliki jejak kiprah yang luar biasa dalam sejarah Indonesia. Lahir di Banyumas pada tahun 1894, ia tumbuh dalam lingkungan keluarga ningrat yang menjunjung tinggi nilai pengabdian.
Pendidikan formalnya dimulai pada tahun 1901 di Europeesche Lagere School, dilanjutkan di Opleiding School Voor Inlandsche Ambtenaren (OSVIA) di Magelang hingga 1911.
Pendidikan ini menjadi landasan awal bagi perjalanan panjang Margono dalam dunia pelayanan publik.
Pada tahun 1913, Margono mulai bergabung dengan Volkscredietwezen (Lembaga Kredit Rakyat).
Di sini, ia menunjukkan perhatian besar terhadap peningkatan ekonomi rakyat kecil, terutama melalui pengelolaan keuangan yang bertujuan untuk membantu petani dan pengusaha kecil.
Dedikasinya terhadap kesejahteraan rakyat membawa Margono pada tugas-tugas penting, termasuk ketika ia ditempatkan di Kementerian Jajahan di Den Haag, Belanda, antara tahun 1937 hingga 1939, untuk menangani urusan kesejahteraan rakyat (Lev, 2000).
Saat pendudukan Jepang pada 1942-1945, Margono tetap aktif berkontribusi melalui perannya di Bank Rakyat. Ia menjadi jembatan antara kebutuhan rakyat dan kebijakan ekonomi saat itu.
Peran strategis Margono semakin terlihat jelas ketika ia terlibat dalam Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pada tahun 1945.
Ia menjadi salah satu tokoh yang merumuskan dasar negara dan memberikan kontribusi penting dalam upaya persiapan kemerdekaan Indonesia.
Pada tahun 1946, Margono mendirikan Bank Negara Indonesia (BNI), yang menjadi simbol kemandirian ekonomi bangsa. Bank ini menjadi sarana strategis untuk mendukung pembangunan ekonomi nasional, terutama di masa awal kemerdekaan.
Tidak hanya itu, pada tahun 1950, Margono ikut mendirikan Yayasan Hatta, sebuah lembaga yang berfokus pada penguatan pendidikan dan penanaman nilai-nilai kebangsaan (Ricklefs, 2008).
Pada dekade 1950-an, Margono juga menginisiasi penggunaan "Hak Angket" di DPR, yang menunjukkan dedikasinya terhadap transparansi dan akuntabilitas kebijakan publik.
Hingga akhir hayatnya pada tahun 1978, Margono tetap menjadi figur teladan yang menginspirasi banyak orang.
Ia dimakamkan di pemakaman keluarga di Dawuhan, Banyumas, sebagai penghormatan atas jasa-jasanya yang luar biasa bagi bangsa dan negara.
Kiprah Margono selama hidupnya adalah teladan integritas dan pengabdian yang terus relevan hingga kini.
Pengusulan Sebagai Pahlawan Nasional
Pengakuan atas jasa besar R.M. Margono Djojohadikusumo dalam sejarah Indonesia telah mendorong sejumlah pihak untuk mengusulkannya sebagai Pahlawan Nasional.
Sygma Research and Consulting, sebuah lembaga yang fokus pada kajian sejarah, secara serius mengajukan nama Margono untuk memperoleh penghargaan tersebut.
Usulan ini didasari oleh dedikasi tanpa pamrih Margono dalam berbagai bidang, mulai dari ekonomi, politik, hingga perjuangan kemerdekaan.
Margono dianggap sebagai figur yang tidak hanya mencerminkan semangat nasionalisme tetapi juga keteladanan dalam memimpin dengan integritas.
Perannya dalam mendirikan Bank Negara Indonesia (BNI) pada 1946 menjadi simbol nyata kemandirian ekonomi bangsa. Selain itu, partisipasinya dalam BPUPKI menunjukkan kiprah strategisnya dalam merancang fondasi negara.
Pengorbanannya dalam kehilangan dua putranya di medan laga, tanpa menghentikan langkahnya untuk berbakti kepada bangsa, menjadi salah satu alasan kuat mengapa Margono layak mendapatkan gelar tersebut.
Margono tidak hanya berjuang untuk rakyat melalui kebijakan, tetapi juga memberikan teladan pengabdian yang mendalam kepada bangsa Indonesia.
Dokumen dan penelitian terkait kiprah Margono telah dikumpulkan oleh Sygma Research and Consulting untuk memperkuat usulan ini.
Data-data ini mencakup perannya selama masa pendudukan Jepang, masa awal kemerdekaan, hingga kontribusinya dalam membangun institusi nasional yang berdampak jangka panjang.
Jika usulan ini diterima, gelar Pahlawan Nasional bagi Margono tidak hanya menjadi penghormatan pribadi tetapi juga simbol pengakuan atas pentingnya peran pemimpin yang melayani rakyat dengan sepenuh hati.
Margono akan menjadi inspirasi bagi generasi mendatang dalam melanjutkan perjuangan membangun Indonesia.
Menghidupkan Semangat Margono
R.M. Margono Djojohadikusumo adalah simbol nyata dari noblesse oblige yang sesungguhnya.
Sebagai bangsawan Jawa yang rela berkorban demi rakyat, ia mengajarkan bahwa kehormatan sejati terletak pada pengabdian tanpa pamrih.
Filosofi hidupnya yang penuh kebijaksanaan dan kerendahan hati menjadi teladan abadi bagi generasi penerus.
Dalam manunggaling kawula lan gusti, Margono menunjukkan bahwa pemimpin yang sejati adalah mereka yang mampu menjadi bagian dari rakyatnya.
Warisan nilai-nilai ini adalah cerminan dari kepribadian Margono sebagai patriot, pemimpin, dan pelayan rakyat yang sejati. Dengan meneladani semangatnya, Indonesia dapat melangkah menuju masa depan yang lebih adil dan sejahtera.
Margono membuktikan bahwa pengabdian adalah warisan terbesar. Kehidupan dan prinsipnya mengajarkan bahwa kerja keras, integritas, dan cinta kepada rakyat adalah landasan bagi pemimpin sejati. (*)
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.