Saksi Ahli: Kerugian Negara Rp 265 M dari Kasus Dana Penyertaan Modal PT BLJ
Pasalnya, dalam peraturan daerah, dana penyertaan modal dikucurkan untuk membangun PLTU, bukan untuk pembentukan dua perusahaan.
Editor: Sapto Nugroho
Laporan Reporter Tribunnews Video, David Tobing
TRIBUNNEWS.COM, PEKANBARU - Auditor BPKP Perwakilan Riau, Kisyadi dihadirkan di persidangan Tipikor Pekanbaru, sebagai saksi ahli dalam kasus dugaan korupsi dana penyertaan modal Rp 300 miliar dari APBD Bengkalis Tahun 2012 kepada PT Bumi Laksamana Jaya (BLJ), Selasa (18/8/2015).
Kasus tersebut menjerat dua nama sebagai terdakwa, yaitu Yusrizal Handayani, Direktur Utama PT BLJ, dan terdakwa Aris Surianto, yang saat itu menjabat sebagai Staf Khusus Direktur PT BLJ.
Kedua terdakwa hadir dengan didamping kuasa hukum masing-masing.
Auditor BPKP Perwakilan Riau, Kisyadi (kanan) memberikan kesaksian di persidangan Tipikor Pekanbaru, Selasa (18/8/2015). (Tribun Pekanbaru/David Tobing)
Dalam kesaksiannya, Kisyadi menerangkan, dari audit yang mereka lakukan terhadap dana penyertaan modal senilai Rp 300 miliar dari APBD Bengkalis Tahun 2012 kepada PT BLJ, ditemukan adanya kerugian negara senilai Rp 256 miliar.
Diterangkannya, ada penyimpangan yang dilakukan oleh perusahaan PT BLJ, dengan membentuk dua perusahaan.
Dua perusahaan itu yakni PT Riau Energi Tiga dan PT Sumatera Timur Energi.
Pembentukan dua perusahaan itu menurutnya tidak sesuai.
Pasalnya, dalam peraturan daerah, dana penyertaan modal dikucurkan untuk membangun PLTU, bukan untuk pembentukan dua perusahaan.
Selain itu, BPKP juga menemukan adanya penyimpangan dalam setoran modal untuk dua perusahaan itu.
Pertama, adanya kerja sama yang dilakukan PT BLJ dengan PT ZUB dengan membentuk perusahaan PT STE.
Dari akta pendirian notaris, PT BLJ hanya memiliki kewajiban untuk menyetorkan modal senilai 40 persen, dari modal Rp 100 miliar.
Faktanya, PT BLJ justru menyetorkan modal Rp 200 miliar.
Kelebihan modal yang disetorkan senilai Rp 160 miliar, oleh terdakwa Yusrizal dilakukan dengan menerbitkan surat pengakuan utang.
Tidak jauh berbeda, PT BLJ kembali melakukan kerja sama dengan mendirikan perusahaan PT RTE, dan PT BLJ hanya memiliki kewajiban setoran modal awal senilai Rp 35 miliar.
Faktanya, PT BLJ justru menyetorkan dana melebihi dari kewajibannya, yakni sebesar Rp 100 miliar.
Sementara itu, kelebihan setoran modal Rp 65 miliar dijadikan sebagai kelebihan utang afilasi.
Audit BPKP Perwakilan Riau menemukan kerugian negara dari kegiatan itu.
Hanya saja, BPKP Riau tidak dapat menjelaskan secara rinci kemana saja aliran dana dari modal yang disetorkan masing-masing Rp 160 miliar dan Rp 65 miliar untuk dua perusahaan yang dibentuk oleh PT BLJ itu.(*)