Warga Miskin Kota Bayar Mahal Listrik Prabayar
Mafia pulsa listrik yang ditudingkan Menko Kemaritiman diakui masyarakat sangat menyusahkan
Editor: Bian Harnansa
TRIBUNNEWS.COM - Mafia pulsa listrik yang ditudingkan Menko Kemaritiman dan ESDM Rizal Ramli diakui masyarakat sangat menyusahkan.
Apalagi, kelompok masyarakat kecil yang selama ini terdampak kenaikan tarif listrik.
Setiap hari, Nasiun harus rutin memeriksa "meteran" token miliknya, agar listrik bisa terus mengalir.
Untuk keperluan listrik ini, warga di kawasan Berdikari, Rawabelong, Jakarta Barat, harus merogoh kocek cukup dalam.
Di rumah mungilnya, sebenarnya Nasiun tidak banyak menggunakan peralatan elektronik.
Kipas angin untuk mencegah anak bayinya kegerahan, memang kerap menyala.
Sebagai hiburan, televisi berlayar kecil terkadang menyala.
Untuk keperluan dapurnya, sang istri pun menggunakan kulkas dan penanak nasi elektronik.
Namun, dengan biaya yang dikeluarkannya saat ini, biaya listrik sangat memberatkan.
'Token lebih boros'
Kebijakan PLN yang mewajibkan para pelanggannya untuk menggunakan pulsa listrik sebagai metode pembayaran hanya membuat repot dan merugikan warga.
Pasalnya warga harus mengeluarkan dana lebih dari apa yang diperoleh.
Pelanggan hanya mendapatkan Rp 35 ribu dari pulsa listrik senilai Rp 50 ribu.
Begitupun halnya ketika membeli pulsa listrik Rp 100 ribu, pelanggan hanya memperoleh Rp 85 ribu.
Salah seorang pengguna pulsa listrik, Fandi (34) mengaku sistem tersebut menyusahkan.
Namun ia tidak mempunyai pilihan lain dan terpaksa menggunakan metode pembayaran demikian.
"Rugi banyak, kalau beli di PLN masih bagus tapi kalau di konter bisa turun lagi sampai ada yang Rp 34 ribu. Dulu sebenarnya pakai listrik biasa cuma karena pindah rumah jadi pasang baru," katanya, Selasa (8/9/2015).
Warga Ciracas tersebut mengungkapkan dirinya sudah hampir setahun belakangan menggunakan pulsa listrik.
Sayangnya metode itu dinilai Fandi lebih boros daripada biasanya.
"Kalau pakai pulsa Rp 50 ribu bisa tiga hari pakai, kalau pulsa Rp 100 ribu kadang bisa seminggu kadang bisa lima hari. Dulu kalau pakai bulanan, sebulan cuma habis Rp 300 ribu tapi sekarang bisa Rp 400 ribu," katanya.
Listrik di rumah Fandi sendiri memiliki daya 1.300 watt.
Sementara perabotan rumah tangga di rumahnya yang menggunakan daya listrik ada banyak mulai dari kulkas, televisi dua unit, mesin cuci, magic jar, kipas angin, hingga AC setengah pk.
Fandi menginginkan kedepannya metode pembayaran dengan pulsa listrik dihapuskan atau paling tidak masyarakat diberikan pilihan apakah ingin memakai sistem yang baru atau yang lama.
"Maunya balikin ke yang dulu lagi, soalnya rugi kalau yang sekarang. Sebenarnya kalau beli pulsanya enggak sulit, gampang, cuma banyak pengurangannya," katanya.
Ini kata PLN
Pernyataan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Rizal Ramli tentang pulsa (token) listrik prabayar, Senin (7/9/2015), menimbulkan tanda tanya di benak publik akan keabsahan pulsa listrik yang selama ini dibayar.
Apalagi Rizal ‘membumbui’ pernyataannya dengan menuding adanya ‘provider setengah mafia’.
Sejumlah pihak pun mendesak PT PLN (Persero) untuk memberikan klarifikasi.
Dihubungi Kompas.com pada Selasa (8/9/2015) Kepala Divisi Niaga PLN Benny Marbun menjelaskan rincian pembelian token. Benny mencontohkan, pembelian pulsa listrik untuk rumah tangga dengan daya 1.300 Volt Ampere (VA).
“Ada konsumen rumah tangga daya 1.300 VA membeli token Rp 100.000. Apa saja yang diperhitungkan dalam pembelian token tersebut?” kata Benny.
Pertama, biaya administrasi bank Rp 1.600, tergantung bank yang diakses.
Ada yang mengendakan sampai Rp 2.000.
Kedua, biaya materai Rp 0 karena transaksinya hanya Rp 100.000.
Ketiga, pajak penerangan jalan (PPJ) dengan contoh DKI sebesar 2,4 persen dari tagihan listrik, berarti Rp 2.306.
“Ini yang membedarkan beli pulsa telpon dan beli pulsa listrik. Beli pulsa listrik ada PPJ,” kata Benny.
(Baca Juga: Faisal Basri Menduga Rizal Ramli Keliru soal Tudingan Mafia Listrik)
Dari ketiga komponen tersebut maka nominal yang diterima pelanggan sebesar Rp 96.094.
Dengan harga listrik Rp 1.352 per kilowatt hour (kWh), maka pelanggan tersebut memperoleh listrik sebesar 71,08 kWh.
(Baca Juga: PLN Benarkan Perhitungan Faisal Basri soal Listrik Prabayar)
“Jadi, ketika membeli listrik Rp 100.000, dapatnya 71,08 kWh. Besaran kWh inilah yang dimasukkan ke meter. Bukan (berarti) Rp 71.000,” ucap Benny.