Ketika Dapur Nagara Bersaing dengan Kompor Gas
Menurut Salmah, sejak program konversi minyak tanah ke gas, berdampak besar pada produk unggulan, yaitu dapur.
Editor: Mohamad Yoenus
Perajin gerabah lainnya, Salmah. Bersama suaminya Supian dia membuat aneka produk gerabah.
Seperti halnya pembuat gerabah lain, sehari dia menghasilkan 100 produk.
Beda dengan Ida, yang tak lagi membuat dapur dengan alasaan peminatnya mulai berkurang, Salmah membuat berbagai produk inovasi.
Seperti celengan, guci, miniatur. Celengan dibentuk dengan aneka buah-buahan dan boneka tokoh animasi atau karton.
Misalnya, hello Kitty, spongebob dan angry bird, sebagai cindera mata.
Menurut Salmah, sejak program konversi minyak tanah ke gas, berdampak besar pada produk unggulan, yaitu dapur.
"Sekarang, permintaan dapur jauh menurun drastis. Dulu waktu harga minyak tanah mahal, dan program pembagian kompor gas belum ada, permintaan sempat naik,” tuturnya.
Penggunaan kompor gas, setelah konvensi tersebut berdampak pada kejayaan produk gerabah di Desa Bayanan yang dulunya terkenal dengan Kampung Padapuran tersebut.
Jika dulunya hampir semua warga menggeluti usaha itu, kini bisa dihitung dengan jari.
“Sekarang unit usahanya tak sampai 10 orang lagi,”tutur Jam’ah, perajin gerabah lainnya.
Untuk bisa bertahan dan eksis dengan usaha gerabahnya itu, inovasi produk seperti dilakukan Salmah pun di lakukan perajin lainnya.
Selain membuat celengan buah, panai dan boneka karakter film animasi, mereka pun berupaya memenuhi selera pasar.
“Misalnya membuat semacam kendi, untuk merebus resep tradisional. Pemesan bilang, merebus ramuan tradisional lebih aman menggunakan alat dari tanah ketimbang di panci aluminium. Akhirnya kami produksi juga. Alhamdulillah, mulai laku,” kata Jam’ah.
Menurut para perajin, kunci agar tetap eksis di dunia usaha, adalah melakukan inovasi produk. Sebagian warga Bayanan, sepertinya memahami hal tersebut.