Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Masjid Jami Matraman, Tempat Soekarno Salat Jumat Seusai Membacakan Proklamasi Kemerdekaan

Selain usianya yang sudah ratusan tahun, Masjid Jami Matraman juga menyimpan sejarah penting perjalanan Indonesia.

Penulis: Eri Komar Sinaga
Editor: Mohamad Yoenus

Laporan Wartawan Tribunnews, Eri Komar Sinaga

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Selain usianya yang sudah ratusan tahun, Masjid Jami Matraman juga menyimpan sejarah penting perjalanan Indonesia.

Masjid ini menjadi tempat salat Jumat pertama bagi pemimpin bangsa ini usai Proklamasi Kemerdekaan RI 17 Agustus 1945.

Waktu itu, Presiden Soekarno membacakan proklamasi di Jalan Pegangsaan Timur 56 Jakarta sekitar pukul sepuluh pagi. 

Satu jam kemudian, Bung Karno dan para pemimpin bangsa langsung menuju Masjid yang berjarak tidak sampai satu kilometer itu untuk menunaikan salat Jumat pertama ketika RI terbentuk.

"Langsung beliau-beliau jalan kaki kemari untuk salat Jumat pertama Republik berdiri. Termasuk Soekarno, Bung Hatta dan juga pimpinan-pimpinan bangsa yang lain yang Islam kemari semua," kata Ketua Yayasan Mesid Jami Matraman, Surahman Yusuf saat ditemui Tribun, Jakarta, Sabtu (11/6/2016).

Masjid Jami memang menyimpan segudang cerita bernilai sejarah tinggi.

Berita Rekomendasi

Yusuf membeberkan, masjid ini pembangunannya dimulai tahun 1820 atau zaman Belanda masih berkuasa di Nusantara.

Saat itu, Masjid Jami belumlah disebut sebagai masjid, namun hanya sebagai sebuah musala.

Musala tersebut dibangun oleh prajurit Mataram yang dikirim oleh Sultan Agung Hanyokrokusumo yang berupaya merebut Batavia (Jakarta) dari tangan Belanda.

Serangan yang dilancarkan tersebut ternyata kalah dan banyak dari para pejuang yang memutuskan tinggal menetap dan menjadi pendakwah.

"Pembangunan diawali oleh salah satu tentara Mataram kiriman dari Sulta Agung yaitu Pangeran Juned (Djonet Dipomenggolo bin Pangeran Diponegoro dari Jogyakarta) yang dibangun di awal di tahun 1820. Mulanya musala kemudian berkembang jadi masjid," kata Yusuf.

Musala tersebut kemudian berkembang seiring dengan pewakafan tanah di sekilingnya dari orang Belanda menjadi islam dan menikah dengan perempuan Matraman Dalam.

Masjid tersebut kemudian dibangun besar dan mencontoh arsitektur Masjidil Haram dan Taj Mahal di India.

"Makanya masjid ini menjadi lebih besar karena ada wakaf itu dan seperti sekarang berkembang dan terus berkembang," kata dia.

Yayasan Ingin Perbesar Masjid Jami

Mengingat sejarah dan perkembangan ke depan, Yusuf mengatakan pihak yayasan ingin memperbesar dan menjadi masjid tiga lantai.

Lantai satu dan dua akan digunakan untuk kegiatan salat sementara lantai tiga akan digunakan untuk perpustakaan dan sekolah.

"Karena sekarang masjid ada sekolah makanya kita ingin rapikan. Yayasan dibentuk untuk merapikan, untuk meningkatkan juga membangun daripada kegiatan masjid supaya lebih baik dan lebih besar dan lebih berkembang tujuannya," kata dia.

Yusuf mengakui dana yang dibutuhkan sangat besar yakni Rp 23 miliar.

Walau demikian, Yusuf mengatakan pembangunan yang akan dilaksanakan dalam beberapa tahun ke depan akan terlaksana dan tanpa merusak nilai estetika sejarah masjid.

Yusuf mengakui pihaknya tidak bisa mengumpulkan dana Rp 23 miliar sekaligus.

Untuk itu, pembangunan memang dilaksanakan bertahap.

Di era kepengurusan yang dia pimpin selama dua tahun ini, sejumlah perbaikan dan penambahan fasilitas sudah dilakukan.

Interior diperindah, lantai diganti marmer dan toilet diperbanyak.

Penambahan fasilitas dan perbaikan tersebut, kata Yusuf, memang selaras dengan perkembangan masjid-masjid tua yang kini sedang berbenah.

"Rencana awal sudah kita perbaharui lantainya, interiornya dipercantik. Untuk membangun ini sekitar Rp 23 miliar. Pembangunannnya kita bertahap," ujar Yusuf. (*)

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas