Kisah Adang Muhidin, Lulusan Master Jerman yang Banting Setir Bangun Usaha Bambu Virage Awie
Bilah bambu mungkin dipandang sebelah mata bagi banyak orang. Namun tidak untuk Adang Muhidin.
Penulis: Alfarizy Ajie Fadhillah
Editor: Muhammad Barir
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Alfarizy AF
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Bilah bambu mungkin dipandang sebelah mata bagi banyak orang. Namun tidak untuk Adang Muhidin.
Pria kelahiran Bandung, 21 Februari 1974 itu melihat bambu sebagai sesuatu yang bernilai ekonomis.
Adang Muhidin mengatakan jika perjalanan panjang membangun bisnis bambu itu dimulai pada tahun 2011 silam.
Ide untuk membangun bisnis bambu itu tercetus dalam benak Adang saat merenung di sebuah malam 30 April 2011.
Tentu hal ini berbanding terbalik dengan jurusan saat Adang mengenyam pendidikan strata satu (S1) dan strata dua (S2) miliknya.
Adang lulus tahun 1998 dari Universitas Jenderal Achmad Yani (Unjani) lewat jurusan Teknik Metalurgi.
Sementara itu, gelar master Adang didapatkan dalam waktu 1 tahun 3 bulan dengan konsentrasi Teknik Perlindungan Korosi.
"Kebetulan waktu itu saya diam di masjid malam-malam melihat bambu tahun 2011, saya ingat 30 April 2011 saya melihat bambu," kata Adang, saat ditemui di tempat usahanya, kawasan Ngamprah, Bandung Barat, Jawa Barat.
"Dari situ saya berpikir apa sih harus saya lakukan dengan bambu dan kemudian hari berikutnya saya melihat salah satu televisi, ada namanya orkestra, yang pertama dilihat itu biola dan dari situlah saya mau membuat biola dari bambu," imbuhnya.
Adang mengatakan, proses membangun usahanya itu tidak semudah membalikkan telapak tangan. Jalan terjal dalam proses penelitian produknya berlangsung dalam waktu yang cukup lama.
Titik terang usaha Adang terjadi pada saat dia berkesempatan untuk menampilkan produknya di sebuah festival musik, Java Jazz 2013.
Sempat pesimis produknya tidak dilirik, rupanya karya tangan dingin Adang justru mendulang banyak perhatian.
Bahkan, setelah Java Jazz, Adang sempat diundang ke Filipina. Sayang, hal tersebut gagal terealisasi karena dia tidak memiliki uang untuk sekadar membuat paspor.