Lindungi industri kecil dan menengah dalam negeri, pemerintah melalui Bea Cukai mengubah aturan terkait impor barang kiriman lewat e-commerce.
Melalui Peraturan Menteri Keuangan nomor 112/PMK.04/2018, pemerintah melakukan penyesuaian nilai pembebasan (de minimis value) bea masuk dan pajak dalam rangka impor (PDRI) atas barang kiriman dari sebelumnya USD 100 menjadi USD 75 per orang per hari.
Direktur Jenderal Bea Cukai, Heru Pambudi mengungkapkan bahwa kebijakan ini diambil untuk menciptakan level playing field antara hasil produksi dalam negeri yang produknya mayoritas berasal dari IKM yang membayar pajak dengan produk-produk impor melalui barang kiriman serta impor distributor melalui kargo umum yang masih banyak beredar di pasaran.
“Pertimbangan ini diambil berangkat dari masukan beberapa asosiasi IKM, Kementerian Perindustrian, asosiasi forwarder (ALFI), dan pengusaha retail atau distributor offline,” ujar Heru.
Dengan diperbaruinya aturan barang kiriman ini, yang patut ditegaskan adalah pemerintah tidak melarang masyarakat untuk membeli atau membawa barang dari luar negeri, namun yang lebih ditekankan adalah untuk menghindari penyalahgunaan fasilitas de minimis value untuk tujuan komersial.
“Pemerintah ingin masyarakat dapat memanfaatkan pembebasan bea masuk dan PDRI untuk barang kiriman yang memang ditujukan untuk keperluan pribadi. Selain itu pemerintah tentu ingin mendorong produksi lokal, dan mendorong penggunaan produk-produk dalam negeri,” tambah Heru.
Penyesuaian de minimis value ini juga merupakan rekomendasi dari World Customs Organization di mana hasil studi tentang perkembangan e-commerce menunjukkan bahwa praktik under-declaration, under-valuation, misdeclaration, splitting barang kiriman kian marak. Studi ini juga didukung oleh data penindakan yang telah dilakukan oleh Bea Cukai, khususnya di mana terdapat importir yang melakukan 400 kali impor dalam satu hari dengan nilai rata-rata per invoice-nya sekitar USD 75.
“Hal ini merupakan modus yang berhasil diendus Bea Cukai agar importir terbebas dari pengenaan bea masuk dan PDRI. Dari 400 kegiatan tersebut barang-barang yang diimpor terdiri dari jam tangan, tas, baju, kacamata, dan sarung telepon genggam,” ungkap Heru.
Yang lebih mengejutkan, praktik tersebut dilakukan dari satu supplier di luar negeri dengan nilai USD 20.300 dalam satu hari.
Hal ini tentu menyebabkan terganggunya industri dalam negeri dan produksi lokal, di samping hilangnya potensi penerimaan negara, oleh karena itu WCO merekomendasikan de minimis value sebesar USD 75.
Nilai ini masih lebih tinggi jika dibandingkan negara Thailand yang hanya memberikan nilai pembebasan sebesar USD 28, dan Kanada sebesar USD 15.
Untuk mendukung penegakan perubahan aturan ini, Bea Cukai juga telah menerapkan smart system berupa sistem validasi dan verifikasi anti splitting dalam aplikasi impor barang kiriman dengan menggunakan algoritma khusus.
“Bea Cukai juga akan mengintegrasikan sistem aplikasi barang kiriman dengan aplikasi lain terkait dengan prosedur penutupan manifes, sistem keberatan dan banding, serta pembetulan penetapan Pejabat Bea Cukai,” ujar Heru.
Sementara itu, Wakil Ketua Umum Asosiasi Peritel Indonesia (Aprindo), Tutum Rahanta menyatakan bahwa dengan diterapkannya perubahan aturan ini akan menciptakan persaingan usaha yang sehat bagi para pelaku industri negeri.
“Penerapan aturan baru ini akan dapat menciptakan persaingan yang sehat tidak hanya untuk para retailer offline, namun juga retailer online yang menjual produk dalam negeri. Selain itu PMK ini ditujukan untuk menekan modus importasi barang yang tidak membayar Bea Masuk dan PDRI, menciptakan persaingan sehat antara retailer offline dan retailer online, mendorong penggunaan produk dalam negeri, dan menciptakan keadilan sesama pelaku usaha,” ungkap Tutum.
Heru menegaskan bahwa dalam menyusun perubahan aturan ini, Bea Cukai telah melibatkan berbagai pihak untuk menciptakan peraturan yang inklusif serta menjunjung tinggi keadilan dalam berusaha.
“Perubahan aturan ini merupakan upaya nyata Bea Cukai untuk mengakomodir masukan dari para pelaku industri dalam negeri khususnya IKM, untuk mengeliminasi kesenjangan antara produk dalam negeri yang membayar pajak dengan produk impor yang masih membanjiri pasaran Indonesia. Sehingga diharapkan dengan adanya aturan ini, fasilitas de minimis value benar-benar dapat dimanfaatkan untuk keperluan pribadi dan dapat mendorong masyarakat untuk lebih menggunakan produk dalam negeri,” pungkas Heru. (*)