Richard Susilo *)
TRIBUNNEWS.COM - Sampai dengan detik ini masih ada saja pembajakan di Indonesia. Tulisan seseorang dibajak orang lain. Mengambil tulisan yang pernah dimuat di suatu media tahun 2005 oleh seorang ahli pendidikan, lalu dibajak seorang elite yang berkedudukan Direktur Jenderal bergelar Master Pendidikan. Lalu juga dibajak orang lain lagi.
Sangat menarik sekali fenomena ini dijadikan bahan perenungan kita semua, atau bahkan dapat dibuatkan seminar khusus yang pasti menarik diperdebatkan. Mengapa sampai orang yang berkualitas pendidikan tinggi sekalipun, ternyata ikut-ikutan membajak tulisan pula.
Termasuk tulisan saya pun pernah muncul di sebuah surat kabar daerah, kaget juga, untung ada yang memberitahukan dan akhirnya menyadarkan, ada pembajak tulisan saya mengenai Jepang.
Lingkungan Pendidikan yang bagaimana sebenarnya sedang kita hadapi saat ini di Indonesia, hingga dengan gampang seseorang, termasuk orang elite berpendidikan tinggi pula ikut membajak tulisan sebangsa dan setanah air.
Sebenarnya, daripada pusing membajak sesama bangsa kita, yang akhirnya toh hanya soal waktu pasti ketahuan juga, lebih baik membajak karya orang asing, di mana penulisan asli pasti dalam bahasa asing. Bukan menyarankan, hanya bicara realitas yang ada di masyarakat.
Banyak keuntungan bila membajak tulisan orang asing. Pertama, kita semua bisa mengerti mudah tulisan itu karena tulisan bajakan ditulis dalam bahasa Indonesia. Berarti, akan menambah khasanah bacaan bagi kita semua karena mudah dicerna dalam bahasa ibu kita sendiri.
Kedua, kita dapat ide baru, ilmu dan pengetahuan yang baru dari orang asing itu. Karena itu saat membajak tulisan sang orang asing, bisa dikembangkan lebih lanjut sesuai situasi kondisi Indonesia.
Hal ini serupa dengan pembajakan dan atau pengkopian tidak legal Software asing oleh banyak bangsa. Di Jepang, satu software dijual dengan harga sekitar Rp 4 juta. Kalau pelajar dikenakan harga separuh, berarti sekitar Rp 2 juta. Bagi orang Indonesia harga Rp 2 juta sangat besar sekali. Jangankan pelajar, orang biasa saja yang kerja biasa mungkin tidak akan bisa atau tidak mau membeli software tersebut.
Padahal software tersebut sangat penting bagi pengembangan ilmu dan pengetahuan kita. Wajarlah kalau dibajak, dijual di Glodok atau Mangga Dua dengan harga hanya sekitar Rp 15 ribu. Jauh lebih banyak manfaat daripada kerugian di pihak Indonesia. Sekali lagi bukan menyarankan dan bukan mendukung pembajakan software, tetapi lebih melihat realitas yang ada di masyarakat.
Hal-hal seperti demikian mungkin bisa kita tolerir karena memang untuk kepentingan positif yang jauh lebih luas, apalagi bagi dunia pendidikan, bagi ilmu dan pengetahuan kita semua. Tetapi ingatlah, jangan lakukan hal serupa apabila sumber asli dari Indonesia. Justru angkatlah sesama bangsa kita karena pada akhirnya kita semualah yang akan merasakan kebahagiaan ini bersama. Lebih terus terang, jangan makan keluarga sendirilah!
Ini pemikiran yang realistis. Mungkin ada yang berpendapat, Pembajakan tetap Pembajakan, tidak pandang bulu, sikat semua yang ikut membajak.
Betul saya setuju sikat semua yang ikut membajak, asalkan, yang kita sikat itu terutama dan sangat diprioritaskan, adalah pembajak Indonesia terhadap karya atau produk Indonesia sendiri. Pembajak ini dapat dikatakan pengkhianat bangsa, lebih kejam dari penjahat dan hukumannya mati. Karena itu kita pun janganlah membeli produk bajakan bangsa sendiri. Apabila hal ini dilakukan, penjual pun tidak akan ada, dan mereka akan mati sendiri.
Negara mana yang tak pernah melakukan pembajakan?