TRIBUNNEWS.COM JAKARTA – Pemerintah diminta untuk membatalkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No 78 Tahun 2013 tentang Penetapan Golongan dan Tarif Cukai Hasil Tembakau terhadap Pengusaha Pabrik Hasil Tembakau yang Memiliki Hubungan Keterkaitan karena cacat hukum.
Hal ini dikemukakan Anggota Komisi XI DPR dari Fraksi Partai Golkar Nusron Wahid Rabu (5/6/2013). “Tidak ada di dalam UU Cukai yang mengatur tentang klausul adanya hubungan spesifikasi (hubungan afiliasi) sebagaimana dalam PMK ini,” tegas Nusron .
Nusron menegaskan, pada poin (b) konsideran Menimbang, kata kuncinya adalah “dalam rangka mewujudkan iklim usaha industri hasil tembakau yang kondusif dan mengamankan penerimaan negara dari upaya penghindaran tarif cukai”.
Menurut dia, Undang-Undang yang mengatur kalimat tentang “iklim usaha yang kondusif” bukan di UU Cukai. Berarti kalau konsiderannya adalah dalam rangka menciptakan iklim usaha yang kondusif, dalam rangka menciptakan usaha yang sehat dan kompetitif dan penghindaran dari praktek-praktek monopoli.
“Itu rezimnya bukan UU Cukai tetapi rezimnya UU No 5 tahun 1999 tentang Persaingan Usaha yang Sehat dan Praktek Anti Monopoli,” tegas Politisi Partai Golkar ini.
Dia menjelaskan, kalau Bea Cukai kemudian urus persaingan usaha, jelas bukan domainnya. “Sudah pasti satu hal tidak bisa dilakukan. Belum lagi dampak sosialnya. Jadi, kebijakan ini batal dan tidak bisa dilakukan,” tandas Ketua GP Ansor ini.
Filosofi PMK 78 sebagaimana yang disebutkan, adalah dalam rangka upaya penetrasi market yang itu akan berdampak pada dominasi market dari pengusaha besar terhadap pengusaha kecil.Kalau yang dimaksud dalam rangka ingin supaya pengusaha besar tidak masuk dominasi market, PMK bukan jalan keluarnya.
“PMK ini sama saja membunuh pengusaha yang besar dan pengusaha yang kecil. Dua-duanya terbunuh!,” tegasnya.