TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Nilai tukar rupiah yang terus melemah terhadap dolar Amerika Serikat (AS), menguntungkan bagi sebagian orang yang berinvestasi di pasar uang. Namun, merugikan orang kebanyakan di sektor UMKM.
"Ini sangat tidak adil, rakyat kecil dan warga Indonesia umumnya dirugikan," kata anggota Komisi XI DPR dari Fraksi PDIP Maruarar Sirait, dalam diskusi di Gedung DPR, Jakarta, Kamis (5/9/2013).
Menurutnya, operasi moneter yang dilakukan tidak efektif, dan cenderung hanya untuk pertolongan jangka pendek.
"Harus ada kebijakan pemerintah yang efektif, misalnya mewajibkan semua transaksi dalam negeri dalam bentuk rupiah, jangan pakai dolar AS lagi," tutur Maruarar.
Di beberapa negara, menurut Maruarar, penerapan kebijakan itu cukup efektif, seperti di Thailand.
"Bagaimana transaksi harus dikonversi dalam Bath Thailand. Intinya, semua negara pentingkan kepentingan nasional, dan Indonesia harusnya dari dulu seperti itu," paparnya.
Menurut Maruarar, jika kebijakan itu diberlakukan, maka ada sanksi yang diberikan kepada siapapun warga Indonesia yang kedapatan melakukan transaksi dalam mata uang asing.
"Diberikan sanksi keras," ucapnya.
Di tempat yang sama, politisi Partai Hanura Fuad Bawazier menilai kebijakan pemerintah untuk menanggulangi pelemahan nilai tukar, tidak efektif.
"Policy pemerintah sesaat dan sesat," ujarnya.
Fuad mencontohkan anjloknya Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia (BEI), justru menggunakan 'subsidi' dari Jamsostek dan dana BUMN.
"Memang bursa efek sedikit jadi bagus, tapi itu kan di pasar modal untuk kapitalisasi asing, bukan buat rakyat kecil. Yang ada di BUMN itu kan uang rakyat. Itu bahaya, ganti rezim pemerintah bisa diusut itu," cetus mantan Dirjen Pajak. (*)