Ia tak pernah membayangkan, Kepmen LH 128/2003 yang digodoknya sepuluh tahun lalu bersama sejumlah pakar termasuk Udiharto, di ulang tahunnya yang kesepuluh tahun ini justru mendapat “kado” kasus bioremediasi.
Menurut Renni, Kepmen LH 128/2003 hadir, dengan semangat memberikan “pagar” dan “rambu-rambu” agar teknologi bioremediasi bisa dilakukan dengan benar di Indonesia. Semua ilmuan termasuk Edison Effendi berhak melakukan penelitian bioremediasi dengan caranya sendiri. Namun ketika masuk dalam ranah menerapkan bioremediasi di lapangan, harus tunduk pada aturan teknis yang tertuang dalam Kepmen LH 128/2003.
“Tidak boleh seorang ahli bioremediasi memberikan keterangan hanya berdasarkan pengalaman pribadinya,” jelas Renni.
Bukan cuma itu. Edison juga mengatakan, tanah dari lapangan Minas yang diambil sebagai sampel dengan TPH 1,7 persen, setelah didiamkan selama 14 hari TPH-nya menjadi nol persen. Hal itu kemudian menjadi kesimpulan penyidik dan Jaksa Penuntut Umum (JPU) bahwa selama ini kegiatan bioremediasi CPI fiktif.
“Istilah nol persen ini tidak dikenal dalam kaidah penelitian maupun keilmuan. Selama ini istilah yang digunakan adalah “not detected”,” jelasnya.
Tentang laboratorium yang digunakan Edison menguji sampel tanah dari lapangan CPI. Edison mengatakan seluruh alatnya adalah alat yang canggih, meski tidak terakreditasi berdasarkan Peraturan Menteri (Permen) LH Nomor 06 Tahun 2009.
“Keterangan Edison ini tidak bisa dipertanggungjawabkan. Karena laboratorium yang digunakan untuk menguji sampel untuk kepentingan pembuktian di pengadilan, mutlak harus terakreditasi dan tersertifikasi sesuai Permen LH 06/2009,” katanya.