TRIBUNNEWS.COM JAKARTA. Sebaiknya pemerintah berpikir ulang, sebelum berambisi meratifikasi FCTC. Pasalnya, meneken FCTC hanya menghitung dampak buruk terhadap kesehatan perokok namun melupakan sisi dari kesejahteraan masyarakat terutama petan tembakau.
Kehadiran produk hukum hasil ratifikasi belum tentu efektif menekan jumlah perokok. Pasalnya, aturan-aturan yang sudah berlaku sebelumnya saja belum dipatuhi. Contoh, PP No. 109 Tahun 2012, kemudian produk turunannya Permenkes No. 28 Tahun 2013 dan No 40 Tahun 2013.
Hal ini diutarakan Direktur Industri Minuman dan Tembakau Kementrian Perindustrian (Kemenperin) Enny Ratnaningtyas dalam diskusi publik berjudul "Urgensi Ratifikasi Pengendalian Produk Tembakau/Kerangka Kerja Pengendalian Tembakau, atau Framework Convention on Tobacco Control (FCTC)".
"Iklan juga sudah diatur melalui UU Penyiaran, kemudian aturan cukai yang terus meningkat. Lewat aturan ini saja pelaku industri tembakau sudah tertekan,” ujar Enny.
Pembatasan produk tembakau lewat berbagai aturan terbukti bisa menimbulkan dampak buruk bagi seluruh rakyat. Pasalnya, mengacu rasio data Badan Pusat Statistik (BPS), hidup tiga penduduk RI bergantung dari keberlangsungan satu petani tembakau.
“Rasio ketergantungan (Defendency Ratio) BPS, terdapat 3 orang yang menggantungkan diri dari 1 petani. Jadi harus dipikirkan lebih dalam soal pengaruh ekonomi sosial,” kata Enny
Enny mengartikan, rasio itu adalah gambaran efek beruntun jika satu petani tembakau enggan menanam lagi. Dampaknya akan meluas ke pencari kerja lain seperi produsen, pengecer hingga pedagang asongan. Jelas, akan berujung lebih banyak pengangguran di negeri ini.
Eva Kusuma Sundari dari Komisi III DPR RI menegaskan, FCTC merupakan agenda asing yang ingin dipaksakan berlaku di Indonesia. Jika ratifikasi terealisasi, maka pemerintah bakal memiliki kewajiban untuk melapor perkembangan penerapan kerangka kerja tersebut. Jika dianggap gagal, pemerintah dapat dikenakan denda dari WHO.
Sementara pada kesempatan yang sama , anggota Komisi XI DPR RI Poempida Hidayatullah mengatakan pemerintah harus bersikap cerdas dalam hal ini. Jangan terkesan tergesa-gesa, justru hal itu menimbulkan dugaan kuat adanya intervensi asing
Sedang Guru Besar Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Indonesia menambahkan, industri rokok dipaksa menyesuaikan diri untuk memenuhi seluruh kewajiban yang diatur dalam hukum internasional. Langkah bisnis industri rokok akan berat jika pemerintah aturan yang kental dengan kepentingan asing.
Ia yakin aksesi ini akan dapat merugikan. Apalagi negara lain seperti Australia yang mendukung kerangka kerja ini, karena industri rokok dalam negerinya kecil. “Pemerintah harus cerdik melihat siapa dan apa kepentingan dibalik FCTC yang digagas oleh WHO. Aturan internasional sebenarnya dapat dilihat sebagai bentuk kolonialisme baru," ujarnya.