News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Hikmahanto: FCTC Diteken, Indonesia Dikuasai Asing

Penulis: Adiatmaputra Fajar Pratama
Editor: Sanusi
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Direktur Industri Minuman dan Tembakau Kementerian Perindustrian, Enny Ratnaningtyas berfoto bersama Guru Besar Hukum International UI Hikmanto Juwana, Ekonom IPB Iman Sugema, Wapimred LKBN Antara Erafzon Saptiyuda, Ketua FORWIN M Ridwan, dan Direktur Tanaman Semusim Kementan Nurnowo Paridjo usai seminar Dampak Aksesi FCTC Bagi Industri Hasil Tembakau di Jakarta, Selasa, 24 Desember 2014.

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pemerintah Indonesia diminta mengkaji kembali untuk meratifikasi konvensi pengendalian tembakau melalui Framework Convention on Tobacco Control (FCTC).

Hikmahanto Juwana, Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia, mengatakan peraturan internasional yang mengikat bisa menjadi kolonialisme gaya baru.

"Asing ingin mengendalikan Indonesia dengan membuat perjanjian internasional. Setelah kita ratifikasi, maka kita wajib menurunkan ke peraturan dalam negeri," katanya dalam seminar bertajuk "Dampak Aksesi FCTC bagi Industri Hasil Tembakau" di Hotel Bidakara, Jakarta Selatan, Selasa (24/12/2013).

Menurut Hikmahanto, Indonesia bisa saja meratifikasi FCTC dengan catatan pemerintah bisa memberikan warna atau punya bargaining power dengan negara lain. "Kalau hanya iya-iya saja jangan mau".

Jika pemerintah meratifikasi FCTC tersebut, maka diyakini juga akan mengancam mata pencaharian petani tembakau dan buruh rokok.

Terkait polemik tersebut, Hikmahanto mengatakan, perjanjian internasional FCTC hanya melihat dari perspektif kesehatan saja, namun tidak melihat berbagai perspektif lainnya, baik dari segi ekonomi, ketenagakerjaan, hukum, dan lain-lain. Menurutnya, hal tersebut dikarenakan organisasi yang memunculkan adanya FCTC adalah World Health Organization (WHO).

"Ada ego sektoral perspektif kesehatan dan di indonesia disuarakan Kemenkes. Tapi kan masalah tembakau harus dilihat dari perspektif yang lebih luas, apa lagi indonesia yang penghasil tembakau dari zaman duhulu," katanya.

Di China keberpihakan pemerintah terhadap pelaku usaha sangat besar. Tapi di indonesia tidak dilihat secara luas dari industri, devisa, dan lain-lain.

Perspektif pemerintah harus holistik. Perjanjian internasional harus hati-hati dilihat kepentingannya, negara mana yang merupakan produsen dan konsumen tembakau. "Dan Indonesia bakal kena kalau ikut perjanjian itu. Kalau hanya untuk pencitraan mending lupakan saja," katanya.

Menurut Hikmahanto, pemerintah hanya bisa ratifikasi tanpa implementasi. "Jika FCTC dipaksakan untuk diratifikasi, tapi ternyata ada yang tidak setuju dan membawa ke MK dan dikabulkan, pemerintah akan seperti apa? Pemerintah harus bertanya siapa konstituennya, siapa yang harus mereka perjuangkan?

Menurut Hikmahanto, harus dilihat terlebih dahulu kepentingan negara atau organisasi inisiator meminta Indonesia meratifikasi FCTC. "Apakah industri dalam negeri harus digoyahkan karena mereka punya kepentingan ekonomi di sini mengingat persaingan binis. Daripada FCTC, lebih baik Kemenkes sosialisasikan PP 109 seperti bahaya rokok."

Enny Ratnaningtyas, Direktur Makanan dan Tembakau Kementerian Perindustrian, mengatakan jika alasan ratifikasi FCTC hanya soal kesehatan, sebenarnya Indonesia sudah terlebih dahulu memiliki aturan serupa yaitu melalui PP No 109 tahun 2012. Bahkan, sejak diluncurkan setahun yang lalu, aturan tersebut belum pernah diimplementasikan.

Enny menuturkan, bagaimana mungkin aturan sendiri yang sudah dibuat tidak diimplementasikan, tapi justru sudah mau memakai aturan internasional.
 
"Aturan dalam FCTC juga dikhawatirkan makin ketat dan dinamis dan rawan paksaan inisiator untuk mengikuti kepentingan mereka (asing)," kata Enny.

Menurut Enny, pada dasarnya Kemenperin mendukung perlindungan kesehatan masyarakat dalam upaya untuk mengatasi dampak negatif rokok. Namun, dikhawatirkan FCTC akan menjadi dasar dalam pembentukan kebijakan terkait industri rokok, meski dalam pasal-pasal FCTC disebutkan tetap mengutamakan hukum nasional dan kondisi masing-masing negara.

"Meski guideline secara hukum tidak wajib dipenuhi anggota, negara maju anggota FCTC bakal mendorong semua anggota untuk mematuhinya. Dalam perjalanannya, negara-negara maju anggota FCTC sering melakukan review terhadap guideline FCTC dengan menambahkan aturan-aturan baru yang ketat dan seluruh anggota wajib mematuhinya,” kata Enny.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini