TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) mendukung keputusan Menteri Perhubungan EE Mangindaan yang akan menaikkan tarif ekonomi kapal laut PT Pelayaran Nasional Indonesia (Pelni) bulan depan.
Alasannya, keberlangsungan usaha Pelni bakal sulit dipertahankan dengan kondisi tarif yang belum pernah dinaikkan selama 7 tahun dan biaya bahan bakar minyak (BBM) menghabiskan 55 persen dari total biaya operasional.
“Dengan 55 persen biaya habis untuk BBM, tampaknya secara rasional, usulan kenaikan tarif ekonomi PT Pelni sudah tidak bisa dihindari,” kata Tulus Abadi, anggota Pengurus Harian YLKI dalam rilis yang diterima Tribunnews.com di Jakarta, Minggu (13/4/2014).
Tulus menambahkan, upaya penyelamatan PT Pelni dari tingginya biaya operasional tidak bisa hanya dilakukan dengan penyesuaian tarif semata. Menurut dia, upaya-upaya lain harus dilakukan melalui kebijakan hulu yang terintegrasi antara transportasi laut dengan moda angkutan lain. “Kalau tidak, Pelni bisa kolaps,” tegas dia.
Langkah lainnya yang dimaksud Tulus adalah penggunaan bahan bakar gas (gasifikasi) sebagai bahan bakar pengganti solar, yang tengah dilakukan manajemen PT Pelni, harus dibantu oleh dua kementerian, yakni ESDM dan BUMN. “Ini suatu keharusan, terutama oleh Pak Dahlan Iskan,” kata Tulus.
Menurut Tulus, ragam upaya penyesuaian tarif dan kebijakan terintegrasi perlu dijalankan segera agar PT Pelni tidak menjadi kenangan. “Jangan sampai Pelni jadi historis karena kalah dengan moda tranportasi lain,” ujar dia.
Tarif ekonomi PT Pelni tercatat sejak 2007 belum pernah dinaikkan. Kenaikan tarif terakhir terjadi pada 2007 sebesar 20 persen dan sesuai peraturan, tarif ditinjau setiap dua tahun sekali. Pada 2009, tarif ekonomi PT Pelni bukannya dinaikkan. Pemerintah malah menurunkan tarif PT Pelni sebesar 10 persen menyusul kebijakan pemerintah yang menurunkan harga BBM bersubsidi ketika itu.
Meski mendukung kenaikan tarif, YLKI meminta agar ada standar minimum pelayanan (SPM) dan diumumkan melalui spanduk di berbagai pelabuhan. “Dengan tarif naik, harus ada spanduk atau banner di pelabuhan yang menginformasikan pelayanan yang diberikan A, B, dan C misalnya,” ujar Tulus Abadi.
Dia menilai setidaknya harus ada tiga SPM yang diberikan kepada penumpang kapal laut atau masyarakat umum. Pertama, SPM sebelum perjalanan, berupa kemudahan mengurus dan mendapatkan tiket.
Kedua, selama perjalanan dan terakhir pascaperjalanan, yakni ketika penumpang turun dari kapal di pelabuhan, regulator atau pemerintah harus memikirkan ketersediaan moda angkutan yang terintegrasi, sehingga penumpang kapal bisa sampai ke rumah dari pelabuhan dengan nyaman.
Ketua YLKI Indah Sukmaningsih terenyuh dengan kondisi yang dialami Pelni, apalagi direksi Pelni tidak pernah merengek-rengek, meski pun tarif kapal laut oleh pemerintah tidak pernah dinaikkan selama tujuh tahun. “Persoalan di Pelni harus jadi persoalan publik,” tegas dia.
Direktur Komersial Pelni Capt Daniel E Bangonan mengatakan, salah satu dampak tidak dinaikkannya tarif selama tujuh tahun, PT Pelni kesulitan membeli kapal. “Pelni belum beli kapal lagi, karena simpanan (cash flow) kami habis untuk biaya bahan bakar,” jelas Daniel.
Sedangkan Direktur Utama Pelni Syahril Japarin menuturkan, kenaikan tarif yang akan disetujui oleh Menhub paling tidak bisa mengurangi kerugian yang diderita Pelni.