TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Muhamad Isnur, Kepala Bidang Penanganan Kasus Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, mengatakan bahwa pemerintah daerah harus bekerjasama dalam mengawasi pemberian Tunjangan Hari Raya (THR) kepada para buruh.
Alhasil, pengawasan ini tidak hanya dilakukan Kementrian Tenaga Kerja (Kementarnekas) dan pengawas lainnya seperti Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM).
"Kalau pemerintah daerah seperti Ahok, Rano Karno dan Ganjar Pranowo mensosialisasikan akan lebih baik lagi, jadi tekanan ke pengusaha akan lebih keras," kata Muhamad Isnur di kantor Lembaga Bantuan Hukum Jakarta, Minggu (13/7/2014).
Pengawasan terhadap pemberian THR selama ini hanya dilakukan Dinas Kementrian Tenaga Kerja (Disnakertrans) dan LSM. Dari pengawasannya selama ini Isnur mengatakan bahwa banyak pengusaha yang berpura-pura tidak mampu memberikan THR kepada buruhnya.
Bahkan ada perusahaan yang memecat buruh pada 10 hari jelang hari raya dan kemudian mengontrak kembali setelah hari raya usai untuk menghindari pembayaran THR.
"Ada juga yang membayar setengah dari upah, padahal kewajibannya membayar satu kali gaji, ini tertuang dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja No 04 tahun 1994," katanya.
Ia menjelaskan bahwa banyak perusahaan yang memang tidak mau membayar THR kepada buruhnya. Ia menuturkan bahwa ada 1.785 buruh yang tidak menerima Tunjangan Hari Raaya (THR) dari pengusaha pada 2013. Angka ini meningkat 400 persen ketimbang tahun sebelumnya.
Dari jumlah tersebut perusahaan Garmen kerap tidak memberikan THR karena alasan penurunan permintaan. Padahal perusahaan tersebut kerap memaksa para buruh bekerja lembur atau overtime untuk memenuhi permintaan atas produksi garmen yang terus meningkat.
"Padahal permintaan terus naik, tetapi mereka tidak memberikan THR kepada buruhnya, maka kami mengingatkan para pengusaha untuk membayarkan THR ke buruhnya, jika tidak mau maka perusahaan tersebut akan digugat secara pidana atau administratif," katanya.