TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Rencana pemerintah untuk meratifikasi konvensi pengendalian tembakau dunia, Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) dinilai justru menguntungkan industri rokok asing dan merugikan petani cengkeh dan tembakau nasional.
Ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Drajad Wibowo, menilai kerangka FCTC termaktub beberapa ketentuan standar internasional tembakau hingga rokok. Tentu dengan standar ini, petani tembakau Indonesia akan kesulitan memenuhi ketentuan tersebut.
"Dengan FCTC yang diuntungkan adalah produsen rokok putih, produsen rokok putih itu didominasi oleh asing," kata Drajad, Selasa (15/7/2014).
Menurutnya, produsen rokok asing selama ini sudah lama ingin menguasai pasar rokok Tanah Air namun gagal. Penyebabnya, karena kalah bersaing dengan produk rokok nasional berjenis kretek yang sudah lama ada di Indonesia.
"Rokok kretek itu sudah menjadi budaya Indonesia," tambahnya.
Drajad bilang, jika pemerintah ingin mengendalikan rokok dan tembakau dengan alasan kesehatan, jangan sampai aturan tersebut malah menguntungkan pihak asing. Jika ingin mengatur, sebaiknya menegakan aturan yang sudah ada.
Ia berharap masyarakat juga untuk lebih peduli pada nasib petani tembakau. "Saya merasa, nasib petani tembakau dan cengkeh harus dilindungi," tegasnya.
Seperti diketahui, Pemerintah melalui Kementerian Kesehatan (Kemenkes) terus berupaya melakukan adopsi FCTC melalui berbagai aturan UU Kesehatan, Peraturan Pemerintah, dan Peraturan Menteri Kesehatan yang tujuannya untuk menekan kegiatan usaha tembakau pada seluruh tingkatannya.
Terutama petani, banyak kalangan menolak karena skema tata niaga FCTC karena berpotensi menyeragamkan produk tembakau secara global, dengan standar internasional (rokok putih, low tar, low nicotine) yang secara langsung mengancam rokok kretek dan petani tembakau.