TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -- Beberapa pekan terakhir, virus Ebola kembali mengintai keselamatan masyarakat dunia. Puncaknya, Jumat (9/8/2014), Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menetapkan status darurat kesehatan internasional terkait penyebaran virus mematikan ebola yang melanda bagian Barat Afrika.
Status darurat diambil lantaran saat ini Ebola sudah menelan hampir 1.000 korban tewas. Status darurat kesehatan pun berlaku bagi negara-negara di Afrika barat yang mengalami kasus kematian terbanyak, semisal Liberia, Guinea, dan Sierra Leone.
Tidak cuma membahayakan nyawa, virus Ebola mengintai pertumbuhan ekonomi. Ambil contoh Liberia. Di awal tahun, Dana Moneter Internasional (IMF) memprediksi, Liberia mampu membukukan pertumbuhan sebesar 5,9%. Namun, sejak Ebola menjangkiti Liberia pada empat bulan lalu, Pemerintah Liberia telah kehilangan 2% dari total pendapatan tahunan negara. "Pertumbuhan ekonomi akan lebih rendah dari estimasi awal. Dampak Ebola sudah terasa," ujar Amara Konneh, Menteri Keuangan Liberia, mengutip Financial Times.
Nasib miris juga dialami Guinea. IMF telah merevisi proyeksi pertumbuhan ekonomi Guinea menjadi 3,5% dari sebelumnya 4,5%. Hingga pekan ini, tercatat 300 warga Guinea telah tewas akibat virus Ebola. Tidak cuma ekonomi negara Afrika Barat yang terimbas negatif Ebola. Ekonomi negara dunia pun kena getahnya. Per 1 Agustus lalu, Uni Emirat Arab (UEA) menghentikan jadwal penerbangan pesawat yang hinggap di bandara Afrika Barat.
Setelah UEA, maskapai lain semisal ASKY, Arik Air dan British Airways menempuh kebijakan sama. Bank Dunia menilai, terhentinya penerbangan internasional semakin menekan aliran dana masuk ke Afrika Barat. Tidak cuma itu, perlambatan aktivitas ekonomi di Afrika Barat turut mengganggu kinerja perusahaan multinasional. Sebagai negara kaya tambang emas dan besi, operasional ArcelorMittal, Hummingbird, Chevron, Exxon dan Total, harus berhenti karena wabah Ebola.
"Jika kondisi ini terus berlanjut, tingkat produksi Afrika Barat akan turun signifikan," demikian laporan Bank Dunia.
Efek mematikan terhadap ekonomi dunia semakin membesar tatkala ketakutan akan penyalahgunaan Ebola. Sejumlah negara adidaya mengkhawatirkan bahwa Ebola akan disebarkan sebagai senjata teror yang menakutkan.
"Militer dan pemerintah melihat peluang Ebola sebagai agen alat teroris. Ketakutan terhadap isu ekonomi lebih besar dibandingkan isu kesehatan," ujar Ian Jones, Profesor University of Reading seperti dikutip CNN. Pekan lalu, Bank Dunia mengucurkan dana bantuan sebesar US$ 200 juta untuk meredam epidemi Ebola. Sebelumnya, di Maret, America's National Institutes of Health memberikan dana riset sebesar US$ 28 juta untuk membuat vaksin Ebola.
Departemen Pertahanan AS pun meneken kontrak senilai US$ 140 juta dengan Tekmira, perusahaan riset di Vancouver, Kanada, untuk mengembangkan obat Ebola. Hingga saat ini, belum ada obat penawar yang bisa menyembuhkan pasien yang terjangkiti oleh virus Ebola. Terbaru, Kent Brantly, relawan dokter AS, disuntik ZMapp. Ini adalah obat Ebola yang baru diuji coba pada hewan. (Dessy Rosalina)