“Kasus IM2 ini sangat khas. Kawan-kawan dituduh memakai frekuensi padahal yang dipakai adalah jaringan. Pada waktu itu dihadapan hakim dan jaksa sudah kami sampaikan secara detil. Bahkan dengan penjelasan ini pula Menteri Tifatul berani pasang badan karena memang tidak ada pelanggaran yang dilakukan IM2,” ujarnya.
Kekhasan lainnya, lanjut Setyanto terkait perhitungan kerugian negara hasil audit BPKP. Dalam kasus Tipikor, putusan MA menetapkan adanya kerugian negara sebesar Rp 1,3 triliun sehingga Indar divonis 8 tahun penjara dan IM2 dihukum harus membayar ganti rugi sebesar Rp 1,3 triliun.
Namun, dalam ranah TUN, MA justru memperkuat putusan PTUN Jakarta pada tingkat kasasi yang memutuskan bahwa audit BPKP yang menjadi dasar perhitungan kerugian negara sebesar Rp 1,3 triliun tidak sah dan memerintahkan BPKP untuk mencabutnya.
“Sungguh ironis, jika Indar dihukum berdasarkan bukti yang tidak sah dan IM2 pun dihukum sebelum didakwa dan diadili. Seharusnya jika tidak ada kerugian negara Indar bisa bebas demi hukum. Kami mohon agar kasus ini mendapat perhatian dari anggota Komisi I,” kata Setyanto.
Setyanto menegaskan, “Terkait kasus ini, kami memohon dukungan Komisi I DPR dalam rencana pengajuan PK tersebut agar mantan Dirut IM2 Indar Atmanto dapat memperoleh kebebasannya kembali.”
Seperti yang pernah disampaikan APJII, model kerjasama PT Indosat Tbk dan PT Indosat Mega Media juga digunakan oleh ISP (internet service provider/penyedia jasa internet) sesuai dengan amanat Undang-undang No. 36 tahun 1999, terutama pasal 9 adalah dengan cara kerja sama antara Penyedia Jasa Layanan Internet yang memakai jaringan dari perusahaan Penyelenggara Jaringan.
Ketika dimintai pendapatnya mengenai pernyataan Setyanto pada RDPU Komisi I dengan Mastel, Meutya menyatakan, “Kita punya komitmen untuk membangun industri telekomunikasi yang lebih cepat/progressif ke depan untuk pemerataan informasi dan komunikasi sesuai pasal 28F UUD 1945. Artinya, kita memerlukan industri ini untuk terus berkembang, jangan sampai keputusan yang tergesa-gesa membuat pelaku industri telekomunikasi resah, khawatir, dan lari dari Indonesia.