TRIBUNNEWS,COM, JAKARTA -- Ketua Umum Asosiasi Industri Sabut Kelapa Indonesia (AISKI), Efli Ramli mengajak Menteri Perindustrian (Menperin), Saleh Husin, serta Menteri Koperasi dan UKM, AAGN Puspayoga melakukan blusukan ke sentrasentra industri dan Usaha Kecil Menengah (UKM) berbasis pengolahan sabut kelapa.
Ajakan blusukan ini disampaikan Efli didampingi Ketua Bidang Litbang AISKI, Ady Indra Pawennari di Jakarta seusai meresmikan pengoperasian pabrik pengolahan sabut kelapa di Dusun Pakotan, Desa Sikapak Barat, Kota Pariaman, Sumatera Barat, Sabtu (15/11/2014).
“Ini kan era kabinet kerja, era dimana Menteri tidak hanya menerima laporan, tapi turun langsung ke daerah melihat realitas kehidupan masyarakat. Karena itu, kami mengajak pak Menteri sekali-kali blusukan ke industri pengolahan sabut kelapa,” ajak Efli.
Efli mengaku cukup gembira melihat perkembangan industri sabut kelapa di Sumatera Barat. Hanya dalam kurun waktu dua tahun, industri pengolahan sabut kelapa yang semula hanya ada di Kabupaten Padang Pariaman, kini mulai merambah ke Kota Pariaman.
“Alhamdulillah, saat ini sudah ada tiga industri sabut kelapa yang berdiri di sini. Target kami, tahun depan minimal sudah mencapai sepuluh industri. Saya yakin, kalau pak Menteri juga turun, pasti dampaknya luar biasa,” katanya.
Kurangi Urbanisasi
Menurut Efli, industri pengolahan sabut kelapa yang mayoritas berdiri di daerah pesisir dan perkampungan penduduk memiliki peranan yang sangat signifikan untuk mengurangi pengangguran dan urbanisasi.
“Bayangkan, orang Pariaman yang selama ini dikenal sebagai perantau, kini mulai betah tinggal di kampung karena penghasilannya cukup menjanjikan. Penghasilan dari industri atau UKM berbasis sabut kelapa ini, rata-rata di atas UMP DKI Jakarta,” ungkap pria kelahiran Pariaman ini.
Berdasarkan data Litbang AISKI, Indonesia kehilangan potensi pendapatan dari sabut kelapa mencapai belasan triliun rupiah per tahun. Angka ini diperoleh dari perhitungan jumlah produksi buah kelapa Indonesai yang mencapai 15 miliar butir per tahun dan baru dapat diolah menjadi produk bernilai ekonomi sekitar 480 juta butir atau 3,2 persen per tahun.
Setiap butir sabut kelapa rata-rata menghasilkan serat sabut kelapa atau dalam perdagangan internasional disebut coco fiber sebanyak 0,15 kilogram dan serbuk sabut kelapa atau coco peat sebanyak 0,39 kilogram. Harga penjualan coco fiber di pasar internasional berkisar USD 350 – USD 450 per ton dan coco peat berkisar USD 250 – USD 350 per ton.
“Di negara-negara maju, coco fiber banyak digunakan sebagai pengganti busa dan bahan sintetis lainnya untuk industri spring bed, matras, sofa, bantal, jok mobil, karpet dan tali. Sedangkan coco peat lebih banyak digunakan sebagai media tanam pengganti tanah dan alas tidur hewan ternak,” tambah Ketua Bidang Litbang AISKI, Ady Indra Pawennari.
Ajak Menperin dan Menkop Blusukan ke Industri Sabut Kelapa
Editor: Hendra Gunawan
AA
Text Sizes
Medium
Large
Larger